Tak Berkategori  

Kisah Ummar bin Khattab dan Ibu yang Memasak Batu

Google News
Umar dan Janda Ibu yang memasak Batu
IMG: The Economist

Surau.co – Kisah berkesan yang ada pada Umar bin Khattab ketika diangkat sebagai khalifah adalah pidatonya terkait kepemimpinan. Bahwa nilai-nilai keadilan dan kemausiaan merupakan prinsip utama seorang pemimpin agar rakyat yang dipimpinnya bisa mendapat kesejahteraan, kemakuran, kedamaian, serta kuat (solid).

“Aku abdi kalian, kalian harus mengawasi dan menanyakan segala tindakanku. Salah satu hal yang harus diingat, uang rakyat tidak boleh dihambur-hamburkan. Aku harus bekerja di atas prinsip kesejahteraan dan kemakmuran rakyat,” kata Umar saat pidato kekhalifahan, pengangkatan menggantikan khalifa sebelumnya, Abu Bakar Ash Shiddiq yang meninggal karena sakit.

Ada kisah terkenal Umar bin Khattab dengan ibu yang memasak batu. Saat itu, Tanah Arab tengah mengalami Tahun Abu atau musim di mana paceklik tengah melanda. Ini terjadi akibat kemarau yang panjang dan membuat tanah Arab menjadi kian tandus. Pada suatu sore, Umar dan sahabatnya bernama Aslam melakukan “blusukan” di sebuah kampung yang terpencil, sekitar Madinah. Dalam perjalanannya itu, langkah Umar terhenti ketika ada tangisan gadis kecil di sebuah gubuk yang reot.

Penasaran dengan apa yang terjadi, Umar dan Aslam pun mendekat ke gubuk reot itu hendak mengetahui bagaimana keadaan penghuninya. Umar mengucapkan salam dan bertemu dengan seorang ibu yang duduk di depan perapian tengah mengaduk bejana. Umar kemudian bertanya pada ibu tersebut.

“Siapakah yang menangis?” tanya Umar dan perempuan itu menjawab dengan suara ketus, “Anak-anakku!”

Umar bertanya lagi, “Kenapa mereka menangis?”

“Mereka lapar,” jawabnya. Khalifah Umar dan sahabatnya Aslam pun tertegun dan terdiam cukup lama. Sedangkan si ibu terus mengaduk bejana.

“Apa yang ibu masak? Kenapa tak kunjung matang?” Umar penasaran.

“Batu-batu kumasak untuk menghibur anakku.” Khalifah Umar bin Khattab tak mau melihat kebutuhan rakyatnya yang menderita. “Aku janda, dan kami belum makan apa-apa. Aku meminta anak-anakku untuk puasa dengan harapan akan dapat rezeki saat berbuka, tapi ternyata tidak. Lalu aku mengumpulkan batu untuk kumasak dan membohongi anak-anakku, tapi dia tetap menangis dan minta makan,” perempuan itu sedih. Dia tidak mengetahui jika Khalifah Umar-lah yang tengah ada di hadapannya.

“Apa dayaku? Umar bin Khattab tak layak jadi pemimpin karena dia tak bisa menjamin kebutuhan rakyatnya,” lanjut si ibu. Aslam hendak menegur tapi dicegah oleh Umar. Sang khalifah pun langsung menitikkan air mata, dia bangkit mengajak Aslam ke Madinah. Umar kemudian pergi ke Baitul Mal untuk mengambil gandum satu karung dan mengangkut gandum itu di pinggangnya. Aslam ingin memikul gandum itu tapi dicegah Umar. Bahkan Umar marah dan wajahnya merah padam, “Aslam, apa kau mau menggantikan aku pada Hari Pembalasan kelak? Jangan jerumuskan aku ke neraka!”

Umar kemudian mengantar gandum tersebut dengan langkah terseok-seok. Sampai di gubuk reot itu, Umar membantu memasak dan menyiapkan makanan bersama Aslam. Umar pun tenang setelah melihat ibu dan anak-anak itu makan, lalu pamit dan meminta perempuan itu untuk menemui Khalifah Umar keesokan harinya agar Umar mencukupi kebutuhannya.

Ketika perempuan itu datang ke kediaman Umar, dia sangat kaget. Perempuan itu meminta maaf karena telah menyumpahi Umar dengan kata-kata kasar dan dzalim. Dia juga siap untuk dihukum. Namun Umar mengatakan:

“Ibu, akulah yang bersalah karena berdosa membiarkan ibu dan anak-anaknya kelaparan di wilayah kepemimpinanku. Maafkan aku Ibu, bagaimana aku akan mempertanggungjawabkan ini kepada Allah?”

Kisah ini menjadi bukti bagaimana sosok kepemimpinan Umar yang memiliki sikap peduli yang teramat besar pada rakyatnya.

Selain keteladanan terkait kepemimpinan tersebut, meski telah meninggal, Umar meninggalkan banyak suri tauladan dan pesan-pesan berharga bagi generasi setelahnya. Beberapa di antaranya: (1) Ketika seseorang hendak mencela orang lain, hendaknya seseorang itu mencela dirinya sendiri dahulu karena celanya lebih banyak; (2) Ketika seseorang hendak memusuhi orang lain, musuhi perut dahulu karena musuh yang paling bahaya adalah perut; (3) Ketika seseorang hendak memuji orang lain, hendaknya seseorang itu memuji Allah karena Allah-lah yang paling banyak memberi; (4) Ketika seseorang hendak meninggalkan sesuatu hal, hendaknya seseorang itu lebih dulu meninggalkan kesenangan dunia karena hal itu lebih terpuji; (5) Ketika seseorang hendak bersiap-siap akan suatu hal, hendaklah seseorang itu bersiap terlebih dulu untuk mati agar tak menderita, rugi, dan menyesal; (6) Ketika seseorang hendak menuntut, hendaklah seseorang itu menuntut akhirat yang diperoleh dengan mencari melalui jalan-jalan Allah.

Baca juga: Umar bin Khattab, Preman yang Luluh Mendengar Ayat Al-Qur’an

Pewarta: Nurul HidayatEditor: Nurul
Nurul Hidayat
Mau tulisan kamu dimuat di Surau.co seperti ? Kirim Tulisan Kamu