Surau.co
Menu Menu

Kisah

Surau Surau
3 minggu yang lalu

SURAU.CO. Dzun Nun al Misri dikenal sebagai salah satu Sufi besar dalam sejarah Islam. Ajarannya tentang cinta dan ketaatan kepada Allah masih menjadi rujukan bagi para pencari kebenaran hingga hari ini. Selain itu, kisah-kisah hidupnya sering kali menyimpan hikmah yang mendalam, salah satunya adalah pertemuannya dengan seorang perempuan yang oleh masyarakat dijuluki "gila."

Suatu ketika, Dzun Nun tengah berjalan menyusuri lorong-lorong kota Anatiokia. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang perempuan yang mengenakan jubah bulu. Perempuan ini dianggap "gila" oleh orang-orang di sekitarnya. berikut kisahnya yang berdasar dari buku Tokoh-Tokoh Gila yang Paling Waras atau Uqala' al Majanin.

Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Saat berpapasan, perempuan itu tiba-tiba berkata, "Bukankah kamu dzun nun?"

Dzun Nun terkejut mendengar namanya disebut. Dengan rasa penasaran, ia bertanya, "Bagaimana kamu bisa mengenalku?"

Dengan tenang, perempuan itu menjawab, "Cinta telah membuka hati kita berdua, sehingga aku mengenalmu."

Jawaban itu membuat Dzun Nun terdiam sejenak. Tak lama kemudian, mereka pun terlibat dalam percakapan yang penuh makna. Tiba-tiba, perempuan itu menengadah ke langit dan berkata, "Sesungguhnya, hati para kekasih selalu merindu kepada Allah. Hati mereka terikat oleh tali kegembiraan, dan mereka memandang-Nya dengan mata hati yang penuh pengetahuan."

Kata-kata itu begitu indah dan menyentuh, membuat Dzun Nun takjub. Suasana menjadi hening, namun perempuan itu melanjutkan dengan sebuah pertanyaan, "Apa arti kedermawanan menurutmu?"

Dzun Nun menjawab singkat, "Memberikan sesuatu."

Perempuan itu lalu bertanya lagi, "Itu hanya kedermawanan di dunia. Lalu, apa itu kedermawanan dalam agama?"

Dzun Nun menjawab, "Segera melaksanakan ketaatan kepada Allah."

Dialog mereka belum selesai. Perempuan itu kembali bertanya, "Jika kamu bersegera dalam ketaatan, apakah kamu mengharapkan sesuatu dari Allah?"

"Ya," jawab Dzun Nun, "Aku berharap satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat."

Mendengar itu, perempuan tersebut menegur dengan lembut, "Jangan begitu, wahai yang lalai. Itu bukan sikap yang baik dalam agama. Bersegera dalam kebaikan sejatinya adalah ketika hatimu tulus, tanpa mengharapkan imbalan apa pun atas perbuatanmu."

Ia melanjutkan, "Dulu, selama dua puluh tahun, aku juga pernah mengharapkan balasan dari amal baikku. Tapi kemudian aku merasa malu kepada Allah. Aku takut menjadi seperti pekerja yang hanya mengejar upah. Tidak, aku tidak seperti itu. Aku beramal hanya untuk mengagungkan nama-Nya."

 

Surau Surau
3 minggu yang lalu

SURAU.CO. Keteladanan sahabat Nabi Muhammad SAW bisa contoh bagaimana sebaiknya menjaga akhlak. Salah satunya adalah kisah antara sahabat Abu Dzar al Ghifari dan Bilal bin Rabah. Perilaku kedua sahabat utama Rasulullah saw ini Kisah keduanya mencerminkan saling respek satu sama lain. Mereka berdua sangat menghargai satu sama lain.

Dalam kitab Risalah Qusyairiyah mengisahkan bahwa Abu Dzar dan Bilal pernah saling berbantah-bantahan. Hal tersebut terjadi dalam sebuah majelis. Tampak hadir sahabat senior di antaranya Khalid bin Al-Walid, Abdurrahman bin Auf dan lain sebagainya. Kedua sahabat itu kemudian saling beradu argumen tentang suatu masalah.
Yang terjadi perdebatan semakin panas hingga Abu Dzar kemudian mencela sahabat Bilal dengan perkataan yang sedikit rasis. Abu Dzar menyebut sahabat ibu sahabat Bilal dengan kata “hitam.”

Selain itu para sahabat berkumpul di suatu majlis yang tidak dihadiri Rasulullah SAW. Di majlis tersebut ada beberapa . perkataan itu menyinggung Bilal dan kemudian mengadukannya kepada Rasulullah SAW.
Perkataan itu sampai ke Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw kemudian berkata,” Wahai Abu Dzar di dalam hatimu masih terdapat sifat sombong seperti kesombongan orang-orang jahiliah.”

Mendengar sabda Rasulullah SAW tersebut, Abu Dzar langsung merasa berdosa kepada Bilal dan kemudian dirinya bersumpah untuk tidak mengangkat kepalanya sebelum Bilal menginjak pipinya dengan telapak kakinya. Abu Dzar bahkan tidak akan mengangkat kepalanya sehingga Bilal melaksanakan apa yang diinginkannya.

Nilai Ketawadukan

Itulah kisah dua sahabat Rasulullah SAW yang di dalamnya terkandung nilai-nilai ketawadukan. Para sufi menempatkan sikap tawaduk dalam kesehariannya. Salah satu sufi masyhur Junaid Al Baghdadi pernah ditanya tentang apa itu tawaduk. Maka ia kemudian menjawab,” Merendahkan lambung ke orang lain dan bersikap lemah lembut kepada mereka.”

Sementara itu Abu Yazid al-Busthomi pernah ditanya:” Kapan orang itu tawaduk? Maka Beliau menjawab “Jika sudah tidak merasa ada kedudukan dan kemuliaan pada dirinya, dan dia tidak melihat makhluk (orang) lain itu lebih jelek/hina daripada dirinya.” (dari berbagai sumber)

Surau Surau
3 minggu yang lalu

 

SURAU.CO. Syekh Abu Hasan Asy Syadzili adalah ulama masyhur pelopor tarekat Syadziliyah. Banyak kisah dan nasehat beliau tentang menempuh jalan Sufi. Salah satunya adalah tentang sikap Zuhud. Menurut beliau orang yang zuhud memiliki nilai tambah.

“Kebiasaan mereka (orang zuhud) adalah berpikir,” kata Asy Syadzili dikutip dari buku Risalah al-Amin: Wejangan yang Mengantarkan Kita Sampai Kepada-Nya terbitan Turos Pustaka. Tentang zuhud ini Syekh Abu Hasan asy Syadzili mempunyai kisah menarik.

Suatu hari dalam sebuah pengajian Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili r.a. menerangkan tentang zuhud. Dalam majelis ilmu tersebut terdapat seorang fakir yang berpakaian seadanya. Sedang waktu itu Syekh Abul Hasan asy Syadzili berpakaian serba bagus.

Lalu dalam hati orang fakir tadi berkata, “Bagaimana mungkin Syekh Abul Hasan Asy Syadzili r.a. berbicara tentang zuhud sedang beliau sendiri pakaiannya bagus-bagus.

Yang bisa dikatakan lebih zuhud adalah aku karena pakaianku jelek-jelek”. Kemudian Syekh Abu Hasan menoleh kepada orang itu dan berkata, “Pakaianmu yang seperti itu adalah pakaian yang mengundang senang dunia karena dengan pakaian itu kamu merasa dipandang orang sebagai orang zuhud. Kalau pakaianku ini mengundang orang menamakanku orang kaya dan orang tidak menganggap aku sebagai orang zuhud, karena zuhud itu adalah maqom dan kedudukan yang tinggi”.

Orang fakir tadi lalu berdiri dan berkata, “Demi Allah, memang hatiku berkata aku adalah orang yang zuhud. Aku sekarang minta ampun kepada Allah dan bertobat”

Menurut beliau zuhud adalah meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan berlebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

 

Surau Surau
4 minggu yang lalu

 

SURAU.CO. Rabiah Adawiyah adalah salah satu Sufi perempuan yang masyhur. Dengan konsep mahabahnya, sufi ini mempunyai banyak pengikut. Kisah-kisah Rabiah juga populer tidak hanya bagi kaum muslimin saja tetapi juga para pencinta dunia sufisme.

Selain pemikirannya, Rabiah juga terkenal dengan sikap zuhudnya. Salah satu kisah kazuhudan Rabiah adalah ketika dirinya sedang tertimpa sakit. Ia hanya beralaskan tikar yang lusuh dan berbantal batu bata.

Adapun kisah lengkapnya adalah ketika suatu hari Rabiah sakit keras. Sahabat-sahabatnya banyak yang menjenguk.

Salah satunya adalah Malik bin Dinar yang juga seorang sufi yang terkenal. Saat dia menjenguk, Malik terlihat trenyuh. Beliau melihat Rabiah sedang tidur dengan tikar yang lusuh serta batu bata sebagai bantalnya. Pemandangan ini membuat Malik bin Dinar iba dan ingin membantunya. Malik kemudian berkata,” Aku memiliki teman-teman yang kaya jika engkau membutuhkan bantuan aku akan meminta kepada mereka.”

“Wahai Malik engkau salah besar. Bukanlah yang memberi makan mereka dan aku adalah sama?” jawab Rabiah.

“Ya, memang sama,” kata Malik bin Dinar.

Lantas Rabiah berkata lagi,” Apakah Allah SWT akan lupa kepada hamba Nya yang miskin dikarenakan kemiskinannya.
Apakah Dia ingat kepada hamba Nya dikarenakan kekayaannya.”

Malik bin Dinar spontan menyahut,” Tidak!”

“Karena Dia mengetahui keadaan ku, mengapa aku harus mengingatkannya. Apa yang diinginkan Nya maka kita harus menerimanya,” jawab Rabiah.

Jawaban tersebut membuat Malik bin Dinar termenung.

Kisah lainnya ketika Rabiah sorang bernama Jahiz yang menawarinya seorang budak oleh. Namun Rabiah menolaknya. “Sungguh aku sangat malu meminta kebutuhan duniawi kepada Pemilik dunia ini. Bagaimana aku harus meminta kepada yang bukan pemilik dunia,” ujar Rabiah.

Setelah berkata tiba-tiba ada suara,” Jika engkau menginginkan dunia ini, maka akan Aku berikan semua dan Aku berkahi. Tetapi Aku akan menyingkir dalam kalbu mu, sebab aku tidak mungkin berada dalam kalbu yang memiliki dunia ini. Wahai Rabiah, Aku mempunyai Kehendak dan begitu juga denganmu. Aku tidak mungkin menggabungkan dua kehendak itu di dalam satu kalbu.”

Itulah Rabiah Adawiyah. Kisah-kisahnya syarat akan hikmah dan teladan semua orang. Totalitasnya menjadi hamba Allah SWT menjadikan dirinya waliyullah yang penuh dengan mahabbah. Wallahu A’lam Bishowab

 

Nurul Hidayat S.Ag Nurul Hidayat S.Ag
10 bulan yang lalu

Di sebuah desa yang sunyi, terdapat seorang anak yang dipenuhi dengan kebaikan. Ia tak pernah lelah berbakti kepada kedua orang tuanya.
Karena kasih dan pengabdian yang ia tunjukkan, orang tua anak tersebut selalu mendoakan kebaikan baginya.

"Ya Allah," doa mereka, "jadikanlah anak kami sebagai teman Nabi Musa di Surga kelak."

Doa itu tak berlalu begitu saja. Allah merencanakan sesuatu yang tak terduga. Tiba-tiba, Nabi Musa pun memohon petunjuk dari Allah untuk mengetahui siapakah temannya kelak di Surga.

"Allahku, berikanlah petunjuk kepada hamba-Mu. Tunjukkanlah siapa yang akan menjadi temanku di Surga," pinta Nabi Musa dengan tulus.

Allah pun memberikan jawaban, "Wahai Musa, jika itu keinginanmu, pergilah ke pasar. Di sana, engkau akan menemukan seorang laki-laki yang kelak akan menjadi temanmu di surga."

Dengan hati yang penuh rasa ingin tahu, Nabi Musa segera melangkah menuju pasar tersebut. Di sana, ia menemukan seorang laki-laki yang sedang sibuk membeli daging. Tanpa ragu, setelah laki-laki itu selesai berbelanja, Nabi Musa mendekatinya.

"Saya baru saja melihat Anda, tetapi hati saya ingin lebih mengenal Anda. Apakah Anda bersedia jika saya mengunjungi rumah Anda?" tawar Nabi Musa.

Lelaki itu tersenyum ramah, "Tentu saja, itu adalah suatu kehormatan bagi saya. Mari, silahkan berkunjung ke rumah saya."

Mereka berdua berjalan dengan langkah mantap, menyusuri jalan yang berliku menuju rumah sang lelaki. Setibanya di sana, Nabi Musa dengan penuh perhatian mengamati setiap gerakan yang dilakukan oleh lelaki tersebut.
Awalnya, lelaki itu sibuk memasak daging yang baru saja dibelinya di pasar. Kemudian, dengan penuh kelembutan, ia mencampurkan daging tersebut dengan kuah yang melimpah.
Setelah masakan itu siap disajikan, lelaki itu membawa sebuah karung besar yang ternyata berisi seorang perempuan tua yang lemah tak berdaya. Tanpa ragu, perempuan itu diangkat dari dalam karung, kemudian disuapinya dengan lembut hingga kenyang.
Setelah itu, tubuhnya dibersihkan dan pakaiannya diganti dengan yang baru dan bersih. Akhirnya, perempuan itu dibiarkan untuk beristirahat. Tak lama kemudian, dari bibirnya terdengar doa yang tulus, "Ya Allah, jadikanlah anak lelakiku sebagai teman Nabi Musa di Surga."

Kisah Teman Nabi Musa di Surga : Ilustrasi AI
Kisah Teman Nabi Musa di Surga : Ilustrasi AI

Nabi Musa, yang sejak awal telah memperhatikan dengan seksama, merasakan hatinya tersentuh oleh kebaikan lelaki itu. Dengan lembut, ia bertanya, "Wahai saudaraku, apa yang telah engkau lakukan sejak tadi?"

Dengan penuh kerendahan hati, lelaki itu menjawab, "Perempuan tua itu adalah ibuku, yang telah mengidap penyakit selama bertahun-tahun. Kekuatan tubuhnya telah terkikis, namun hatinya penuh kesabaran dan iman kepada Allah. Mengapa aku meletakkannya dalam karung setiap aku pergi? Karena aku ingin dia aman dan selalu dalam lindunganku. Aku sangat mengkhawatirkan keselamatannya."

Setelah mendengar penjelasan itu, Nabi Musa mengangguk mengerti. "Wahai sahabat, engkau telah melakukan perbuatan yang mulia di sisi Allah. Doa ibumu telah dikabulkan, dan kelak engkau akan menjadi temanku di Surga. Ketahuilah, saya adalah Nabi Musa."

Mendengar kata-kata Nabi Musa, lelaki itu dipenuhi oleh kebahagiaan yang tak terkira. Ia berdoa semoga tetap bisa berbakti kepada orang tuanya dengan tulus.

Nurul Hidayat S.Ag Nurul Hidayat S.Ag
1 bulan yang lalu

Surau.co - Sekira empat bulan setelah perang Uhud, di awal-awal tahun ke empat hijriyyah, Rasulullah SAW mengutus satu pasukan kecil yang terdiri dari 70 sahabat pilihan. Seluruhnya adalah sahabat qurra’ yang ahli dalam Al Quran. Rasulullah SAW menjadikan Al Mundzir sebagai pemimpin pasukan kecil ini.

Peristiwa ini bermula saat Abu Bara’, Amir bin Malik bin Ja’far, datang menemui Rasulullah SAW di Madinah. Rasulullah SAW mengajaknya masuk Islam dan mendakwahinya. Saat itu ia menolak namun ia mengatakan, “Wahai Muhammad, bagaimana kalau engkau mengirimkan beberapa orang sahabatmu kepada penduduk Nejed untuk mengajak mereka kepada agamamu. Aku berharap mereka memenuhi ajakanmu. Rasulullah SAW bersabda, “Aku khawatir penduduk Nejed akan mencelakakan sahabat-sahabatku.”

Abu Bara’ berkata, “Aku yang akan menjadi pelindung mereka, silakan engkau kirim mereka untuk mengajak manusia kepada agamamu.”
Rasulullah SAW mengirim Al Mundzir bin Amr
Kemudian Rasulullah SAW mengirim Al Mundzir bin Amr bersama sahabat-sahabatnya yang merupakan orang-orang pilihan kaum muslimin. Di antara yang diutus Al Harits bin Ash-Shimmah, Haram bin Milhan, ‘Urwah bin Asma’, Nafi’ bin Budail bin Warqa’, Amir bin Fuhairah seorang bekas budak Abu Bakar ash-Shiddiq dan sahabat-sahabat pilihan lainnya.

Mereka dikenal sebagai para sahabat yang ahli membaca Al-Qur’an, rajin salat tahajjud serta suka bekerja keras lalu hasilnya diinfakkan untuk para sahabat Rasulullah SAW yang bertempat tinggal di shuffah (serambi Masjid Nabawi). Al Mundzir pun ditugasi menjadi pemimpin rombongan mulia tersebut.

Para utusan lalu berjalan hingga tiba di Bi’r Ma’unah yang terletak di antara wilayah Bani Amir dan wilayah Bani Sulaim. Sesampainya di Bi’r Ma’unah, mereka mengutus Haram bin Milhan untuk mengantar surat Rasulullah SAW kepada Amir bin Ath-Thufail, sepupu dari Al Bara’. Ketika Haram tiba di tempat Amir bin Ath-Thufail, ia tidak membaca surat Rasulullah SAW, justru memerintah para pengikutnya untuk menikam Haram bin Milhan dari arah belakang.

Amir bin ath-Thufail lalu mengajak kaumnya (Bani ‘Amir) menyerang para utusan Rasululla SAW tersebut. Mereka menolak memenuhi seruan Rasulullah SAW. Mereka berkata, “Kami tidak akan melanggar perjanjian Abu Bara’!” Amir bin ath-Thufail tidak menyerah begitu saja. Ia menyeru dan mengajak kabilah-kabilah Bani Sulaim untuk menyerang utusan itu. Seruan ini pun disambut oleh kabilah ‘Ushaiyyah, Ri’lan, dan Dzakwan. Terbunuhlah seluruh pasukan kecuali Ka’ab bin Zaid dan Amr bin Umayyah.

Adapun Ka’ab, maka kabilah-kabilah tersebut membiarkannya hidup dalam keadaan terluka parah. Namun ia masih bertahan hidup dan gugur sebagai syahid dalam perang Khandaq. Sedangkan Amr, mereka tawan. Kemudian mereka bebaskan setelah meminta tebusan

Nurul Hidayat S.Ag Nurul Hidayat S.Ag
1 bulan yang lalu

Surau.co - Di dalam kesyahduan yang menceritakan kisah kejahilan Nuaiman, terhampar keamanahan Suwaibith yang mulia ketika menjaga makanan.

Wahyu cerita ini turun dari lisan Ibnu Majah. Pada suatu masa yang lalu, Abu Bakar Ash-Shiddiq mengajak Nuaiman serta sahabat terpilih untuk berdagang. Di antara sahabat yang ikut adalah Suwaibith bin Harmalah.

Menuju ke Syam, wilayah yang kala itu tumbuh maju, tiga sahabat tersebut berangkat. Seiring hari yang merambat siang, tugas menjaga makanan dititipkan pada Suwaibith.

Namun Nuaiman, yang terasa lapar, mendekati Suwaibith dan memohon sepotong roti untuknya. Sayang, amanah menjaga makanan telah tersemat kuat di hati Suwaibith, ia menolak permintaan Nuaiman. Lalu Nuaiman berkata, "Jika demikian, maka setuju pulalah aku untuk berbuat nakal."

Nuaiman pun mengembara merencanakan aksi dengan hati jahatnya. Dalam pasar yang rame, di tempat tempat hamba sahaya berdatangan, ia berkeliling.

Dengan lihai, ia mengumbar kabar bahwa dirinya memiliki seorang hamba sahaya yang dijualnya dengan harga sangat murah.

Tapi ia menambahkan satu catatan, bahwa sang hamba selalu mengaku sebagai orang merdeka, bukan hamba sahaya. Mendengar tawaran yang terlalu menggoda, orang-orang pun berkerumun ingin melihat hamba sahaya itu.

"Tuan-tuan, itulah hamba sahaya saya yang menjaga makanan," seru Nuaiman pada mereka. Uang pun bertukar tangan dan mereka pun berduyun-duyun menghampiri Suwaibith untuk dibawa pergi.

Tentu saja Suwaibith, yang kaget bukan main, menyangkal keras-keras bahwa ia adalah hamba sahaya. Namun karena ucapan Nuaiman sebelumnya, orang-orang yang membeli hanya menertawakannya, menganggapnya sebagai gurauan semata, dan terus membawa Suwaibith.

Abu Bakar Akhirnya Menyelamatkan Suwaibith dari Penjualan

Beberapa waktu setelah kejadian itu, Abu Bakar Ash Shiddiq kembali mencari Suwaibith yang tak terlihat. Lantas, Nuaiman berkata, "Sudah kusampaikan, wahai Abu Bakar, bahwa dia sudah kubeli."

Nuaiman menceritakan semua kejadian itu dengan tulus dan jujur pada Abu Bakar. Hatinya bergetar ketika menceritakan kejadian tragis itu.

Tidak tahan melihat sahabatnya berada dalam penderitaan, Abu Bakar pun membebaskan Suwaibith dari belenggu penjualan orang-orang di Syam.

Ironisnya, cerita kejadian lucu ini sampai juga di telinga Rasulullah. Beliau tertawa sampai terlihat gigi gerahamnya, ceria di hadapan para sahabat.

Hingga satu tahun berlalu, Rasulullah masih mengenang cerita kocak Nuaiman dan Suwaibith ini dan cerita itu terus diceritakannya kepada tamu-tamu yang datang mengunjunginya. (Wallahu a'lam)

Enol Writer Enol Writer
1 bulan yang lalu

Surau.co - Ammar bin Yasir adalah anak dari Sumayyah binti Khayyat dan Yasir bin Amir, yang merupakan salah satu dari orang yang terawal dalam memeluk agama Islam, sebagaimana halnya orang shalih yang diberi petunjuk oleh Allah.

Mereka cukup menderita karena siksaan dan kekejaman Quraisy. Mengenai penyiksaan mereka, kaum kafir Quraisy menyerahkan kepada Bani Makhzum.

Setiap hari Yasir, Sumayyah dan Ammar bin Yasir dibawa kepadang pasir Makkah yang sangat panas, lalu didera dengan berbagai azab dan siksa.

Pengorbanan-pengorbanan mulia yang dahsyat ini tak ubahnya dengan tumbal yang akan menjamin kelangsungan bagi agama dan aqidah sebagai sebuah keteguhan yang takkan lapuk.

Sumayyah telah menunjukkan sikap dan pendirian yang tangguh. Suatu sikap yang telah menjadikannya sebagai seorang wanita yang menjadi contoh teladan bagi orang-orang mukmin di setiap zaman. Penderitaan dan pengalaman Sumayyah dari siksaan ini sangat menakutkan.

Maka Sumayyah, Yasir dan Ammar termasuk di antara golongan luar biasa yang memperoleh berkah ini. Dengan pengorbanan, ketekunan dan keuletan mereka itu dapat memperteguh kebesaran dan keabadian Islam.

Rasulullah SAW tiap hari berkunjung ketempat disiksanya keluarga Ammar bin Yasir, mengagumi ketabahan dan kepahlawanannya. Pada suatu hari saat Rasulullah SAW, mengunjungi mereka, Ammar memanggilnya dan berkata, “Wahai Rasulullah, azab yang kami derita telah sampai ke puncak. Maka seru Rasulullah.

Artinya: “Bersabarlah wahai kelurga Yasir karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga.”

Sabda itu disampaikannya bukan hanya sebagai hiburan belaka, tetapi benar-benar mengakui kenyataan yang diketahuinya dan menguatkan fakta yang dilihatnya dan disaksikannya.24 Ada apa sebenarnya rahasia dari keluarga Ammar bin Yasir sehingga Allah dan Rasulnya sangat memperhatikannya dan menjanjikannya surga.

Biografi Ammar bin Yasir

Ammar bin Yasir bin Amir adalah seorang sahabat Nabi yang berasal dari suku Madzhaji keturunan Bani Unsi. Ayahnya bernama Yasir bin Amir bin Malik bin Kinanah dan ibunya bernama Sumayyah binti Khayath, syahidah pertama dalam Islam. Amar dipanggil dengan sebutan Abu al-Yaqzhan.

Abu Al Yaqdzan Al-Anasi Al-Makki dikenal sebagai seorang imam besar, yang juga merupakan pembantu bani Makhzum. Ia orang yang pertama kali masuk Islam dan pemimpin dalam perang Badar.

Ibnu Sa'ad berkata, “Orang tua Ammar, yakni Yasir bin Amir dan kedua saudaranya yang bernama Al-Harits dan Malik datang dari Yaman ke Makkah untuk mencari saudara mereka. Setelah itu, Kedua saudaranya pulang ke Yaman, tetapi Yasir tetap tinggal.

Yasir lalu mengabdi kepada Abu Hudzaifah bin Al- Mughirah bin Abdullah bin Amr bin Makhzum, lantas Abu Hudzaifah menikahkan ia dengan Sumayyah binti Khayath yang merupakan seorang budak miliknya.

Tak lama setelah memerdekakannya, Abu Hudzaidah meninggal dunia. Yasir pun dikaruniai seorang putra bernama Ammar dan ketika Allah menurunkan agama Islam, Ammar beserta kedua orang tua dan saudaranya, Abdullah, memeluk Islam.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Salimah, dia berkata “Aku melihat Ammar bin Yasir pada waktu perang shiffin, ia tampak seperti seorang syaikh yang tenang dan bertubuh tinggi.

Ia juga membawa tombak di tangan yang akan digunakan untuk menyerang. Ammar bin Yasir berkata, "Sumpah, aku telah menggunakan tombak ini untuk berperang bersama Rasulullah sebanyak tiga kali dan ini yang keempat. Jika mereka menyerang kami hingga memporak porandakan barisan kami, maka kami sadar bahwa kami berada di jalan yang benar dan mereka berada di jalan yang salah.”

Dari riwayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Ammar bin Yasir memiliki postur yang tinggi dan mempunyai watak yang tenang.

Diriwayatkan dari Abu Al-Ghadiyah, dia berkata, “Aku pernah mendengar Ammar bin Yasir mencela Utsman, maka aku mengancamnya akan membunuhnya. Ketika ia memimpin pasukan Islam di perang shiffin, kemudian ada yang mengatakan bahwa ini adalah Ammar, maka aku menusuknya di bagian lututnya hingga ia terjatuh, lalu aku membunuhnya.”

Ada juga yang berpendapat bahwa Ammar bin Yasir mati terbunuh. Ketika Amru bin al-Ash diberitahu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW, bersabda, "pembunuh dan penganiayanya masuk neraka". Ammar meninggal pada usianya yang ke-93 tahun.

Baca Juga: Riwayat Hidup Hudzaifah bin Al Yaman (w. 656 M), Sahabat yang Memegang Rahasia Nabi

Kisa Perjuangan Ammar bin Yasir

Kisah Ammar bin Yasir, dimulai sejak ayah Ammar, meninggalkan negaranya di Yaman untuk mencari dan bertemu dengan salah satu saudaranya. Dia rupanya setuju dan merasa nyaman tinggal di Mekah. Dia menetap di sana dan membuat perjanjian persahabatan dengan Abu Hudzaifah ibnul Mughirah.  

Abu Hudzaifah menikah dengan salah satu sahabatnya bernama Sumayyah binti Khayyath dan dari pernikahan itu pasangan itu dikaruniai seorang putra bernama Ammar.  

Mereka milik kelompok Assabiqunal Awwalun (generasi pertama). Dan seperti orang-orang saleh yang termasuk orang pertama yang masuk Islam, mereka cukup menderita dari siksaan dan kekejaman orang Quraisy.  

Kaum Quraisy melakukan penyelidikan terhadap kaum Muslimin sesuai dengan situasi dan keadaan. Jika orang-orang ini mulia dan berpengaruh, mereka menghadapi ancaman dan gertakan. Dan setelah itu mereka memulai perang saraf yang sangat sengit melawannya.  

Dan jika seorang mukmin berstatus rendah dan miskin di antara penduduk Mekah atau dari golongan budak, dia akan dipukul dan dibakar.  

Oleh karena itu keluarga Yasir termasuk dalam kelompok kedua ini. Dan urusan menyiksa mereka diserahkan kepada Bani Makhzum. Setiap hari, Sumayyah dan Ammar bin Yasir dibawa ke padang gurun Makkah yang begitu panas, kemudian mereka dianiaya dengan berbagai hukuman dan siksaan.  

Penderitaan Sumayyah dan pengalaman siksaan yang mengerikan dan mengerikan, tetapi Sumayyah  menunjukkan sikap dan sikap yang keras dari awal sampai akhir, menunjukkan kepada kemanusiaan suatu kehormatan yang tidak pernah pudar dan kehormatan yang gengsinya tidak pernah pudar.  

Nabi SAW selalu mengunjungi tempat-tempat yang dikenalnya sebagai tempat penyiksaan dari keluarga Yasir. Saat itu, dia tidak harus menghadapi bahaya dan membela diri.  

Pengorbanan mulia yang besar ini seperti pengorbanan yang menjamin keamanan yang tak tergoyahkan bagi agama dan keyakinan. Dia juga seorang teladan yang mengisi hati orang-orang beriman dengan rahmat, kebanggaan dan kasih sayang. Ini adalah menara yang membimbing generasi mendatang untuk mencapai esensi agama, kebenaran dan kebesarannya.

Demikian juga dengan firman Allah dalam Al-Qur'an kepada Kaum Muslimin bukan hanya pada satu atau dua ayat.

Firman Allah SWT: "Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman” padahal mereka belum lagi diuji?" (QS Al-Ankabut: 2)

"Apakah kalian mengira akan dapat masuk surga, padahal belum lagi terbukti bagi Allah orang-orang yang berjuang di antara kalian, begitu pun orang-orang yang tabah?" (QS Ali Imran: 142)

"Sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, hingga terbuktilah bagi Allah orang-orang yang benar dan terbukti pula orang-orang yang dusta." (QS Al-Ankabut: 3)

Padahal, Al-Qur'an mengajarkan pengikutnya bahwa pengorbanan adalah inti dari iman. Dan kepahlawanan dalam menghadapi kekejaman dan kekerasan ini diimbangi dengan ketekunan, ketabahan dan ketekunan.

Jadi Sumayyah, Yasir dan Amar adalah orang-orang luar biasa yang memiliki berkah ini. Ketika Rasulullah SAW mengunjungi mereka suatu hari, Amarr berkata, Nabi SAW bersabda:

"Sabarlah, wahai Abal Yaqdhan! Sabarlah wahai keluarga Yasir, tempat yang dijanjikan bagi kalian ialah surga!"

Penyiksaan Ammar bin Yasir digambarkan dalam beberapa cerita oleh teman-temannya. Amar bin Hakam berkata: "Ammar disiksa sampai dia tidak mengerti apa yang dia katakan."

Ammar bin Maimun menggambarkan kisah tersebut bahwa: "Orang-orang musyrik membakar Ammar bin Yasir dengan api. Kemudian Rasulullah melewatinya sambil memegang kepalanya dan berkata: "Wahai api, jadilah dingin dan dingin di tubuh Amar, seperti sebelumnya kamu kedinginan dan kedinginan di tubuh Ibrahim!  

Semua bencana ini tidak dapat mencekik jiwa Ammar, meskipun mereka membebani punggungnya dan melemahkan energinya. Dia merasa benar-benar sengsara hanya ketika suatu hari cambuk dan para penganiayanya menggunakan segala cara untuk melepaskan kezaliman dan kengeriannya, dari hukuman dibakar dengan besi panas, disalibkan di atas pasir panas dengan batu seperti bara merah, hingga disiram air sampai dia tercekik dan mengelupas kulitnya dengan penuh luka.

Pada kesempatan yang lain, ia kehilangan kesadaran karena penderitaan yang begitu parah, orang-orang berkata kepadanya: "Sembahlah tuhan-tuhan kami!"  

Ammar bin Yasir mengikuti perintah mereka tanpa memahami apa yang keluar dari bibirnya. Setelah sadar sejenak karena berhentinya siksaan, tiba-tiba dia menyadari apa yang telah dia katakan, menyebabkan dia kehilangan akal dan membayangkan betapa besar kesalahan yang telah dia lakukan, dosa besar yang tidak bisa ditebus dan diampuni lagi. .

Ketika Rasulullah (SAW) bertemu temannya, dia menemukannya dalam keadaan menangis, jadi dia menyeka air matanya dengan tangannya dan berkata: "Orang-orang kafir ini menyiksamu dan menenggelamkanmu sampai kamu mengatakan ini dan itu?"

“Benar, wahai RasuIullah," ujar Ammar bin Yasir.

Rasulullah tersenyum berkata, “Jika mereka memaksaimu lagi, tidak apa, ucapkanlah seperti apa yang kamu katakan tadi!”

Lalu dibacakan Rasulullah kepadanya ayat mulia berikut ini: "Kecuali orang yang dipaksa, sedang hatinya tetap teguh dalam keimanan..." (QS An-Nahl: 106)

Kembalilah Ammar diliputi oleh ketenangan dan dera yang menimpa tubuhnya. Ia tak lagi merasakan sakit. Jiwanya tenang. Ia menghadapi cobaan dan siksaan itu dengan ketabahan luar biasa, hingga pendera-penderanya merasa lelah dan menjadi lemah, bertekuk lutut di hadapan tembok keimanan yang begitu kokoh.

Setelah Rasulullah SAW ke Madinah, kaum Muslimin tinggal bersama beliau bermukim di sana, secepatnya masyarakat Islam terbentuk dan menyempurnakan barisannya. Maka di tengah-tengah masyarakat Islam yang beriman ini, Ammar bin Yasir pun mendapatkan kedudukan yang tinggi. Rasulullah amat sayang kepadanya, dan beliau sering membanggakan keimanan dan ketakwaan Ammar bin Yasir kepada para shahabat.

Rasulullah bersabda: "Ammar penuh iman sampai ke punggungnya!"

 Dan ketika terjadi perselisihan antara Khalid bin Walid dan Ammar, Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang memusuhi Amar, maka ia adalah musuh terhadap Allah. Dan barang siapa  membenci Amar, maka Allah membencinya!"  

Jadi prajurit Khalid bin Walid tidak punya pilihan selain segera pergi ke Ammar bin Yasir untuk mengakui kesalahannya dan meminta pengampunan.  

Jika Nabi SAW telah mengungkapkan cintanya kepada seorang Muslim dengan cara ini, iman, cinta, dan pengabdiannya kepada Islam, kebesaran jiwa dan keikhlasan hati, dan keluhuran akhlak akan mencapai batas dan puncak kesempurnaan.  

Itulah kisah Ammar bin Yasir, karenanya, Allah memberi Ammar pahala yang layak atas berkat dan bimbingannya dan sepenuhnya menghargai kebaikannya. Karena tingkat kepemimpinan dan iman yang dia capai, Nabi menyatakan kemurnian imannya dan menjadikan dirinya sebagai contoh  bagi para sahabat.

Dia berkata: "Ikutilah teladan dan ikutilah setelah kematianku nanti, Abu Bakar dan Umar. Dan ikutilah petunjuk-petunjuk yang diberikan Ammar bin Yasir kepadamu!"

Ketika Nabi dan kaum Muslimin membangun sebuah masjid di Madinah, beliau ikut serta dalam mengangkat batu dan melakukan pekerjaan yang paling sulit. Ammar bin Yasir terlihat mengangkat sebuah batu besar di tengah keramaian yang bergerak hilir mudik.

Rasulullah pun melihat Amar dan segera mendatanginya. Saat dia mendekat, dia mengipasi debu yang menutupi kepala Ammar dengan tangannya. lalu berkata di depan semua sahabatnya: "Sayangnya, Ibn Sumayyah membunuhnya dari kalangan orang-orang yang durhaka!"  

Utusan Allah mengulangi kata-kata ini sekali lagi, sementara Ammar bekerja menghancurkan tembok sampai beberapa temannya mengira dia sudah mati, dan karena itu Rasulullah meratapi kematiannya.  

Para sahabat terkejut dan khawatir dengan hal ini, tetapi Rasulullah menjelaskan dengan suara tenang dan percaya diri: "Tidak, Ammar baik-baik saja. Hanya dengan begitu kelompok pembangkang akan membunuhnya!"  

Ammar mendengarkan ramalan dan percaya pada kebenaran wahyu Nabi. Namun ia tidak takut karena setelah masuk Islam ia harus menghadapi kematian dan kesyahidan setiap saat, siang dan malam.  

Ammar selalu bergabung dengan Nabi dalam semua pertempuran dan konflik bersenjata dan di Badar, Uhud, Khandaq dan Tabuk. Dan ketika Nabi wafat, perjuangan Ammar tidak berhenti. Ia terus berjuang dan berusaha membela agama Tuhan.  

Ketika konflik muncul antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, Ammar berdiri di samping menantu Nabi. Bukan karena fanatisme atau memihak, tapi untuk taat pada kebenaran dan menepati janji! Ali bin Abi Thalib adalah khalifah umat Islam dan berhak mengambil sumpah setia sebagai pemimpin bangsa.

Ketika perang Shiffin yang mengerikan dimulai, Ammar ikut. Padahal saat itu usianya mencapai 93 tahun. Orang-orang di pihak Muawiyah berusaha sekuat tenaga untuk menghindari Amar, agar pedang mereka tidak menyebabkan kematiannya sebelum dia menjadi kelompok yang durhaka.  

Tetapi kepahlawanan Ammar, yang bertempur seperti tentara, mengambil keputusan dan kehati-hatian mereka. Jadi beberapa anak buah Muawiyah menunggu kesempatan untuk mengalahkannya. Hingga kesempatan terbuka, mereka membunuh Ammar.

Jadi sekarang beri tahu orang-orang siapa kelompok pembangkang ini, yaitu. kelompok yang membunuh Ammar, yang tidak lain adalah pihak Muawiyah!  

Jenazah Ammar bin Yassir kemudian dibaringkan di pangkuan Khalifah Ali, dibawa ke suatu tempat shalat bersama kaum muslimin, kemudian dikuburkan dengan pakaiannya.  

Setelah itu teman-teman berkumpul dan berbicara. Salah satu dari mereka berkata: "Apakah Anda ingat sore itu di Madinah ketika kami sedang duduk dengan Rasulullah, saw, dan tiba-tiba wajahnya bersinar dan dia berkata:

"Langit merindukan Amaran?"

 "Memang," jawab yang lain

 "Dan saat itu dia memanggil nama lain termasuk Ali, Salman dan Bilal." kata yang lain.  

Jika demikian, surga benar-benar merindukan Ammar. Dan jika demikian, langit merindukannya, sementara kerinduannya tertunda, menunggu Ammar bin Yasir memenuhi tugas dan tanggung jawabnya. Dan dia telah memenuhi tugas dan memenuhinya dengan hati yang gembira. Wallahua'lam!

Enol Writer Enol Writer
1 bulan yang lalu

Surau.co - Hamzah bin Abdul Muthalib dengan gelar Asadullah, Asadur-Rasulullah dan Sayidu Martir adalah paman Nabi dan salah satu syuhada dalam Perang Uhud.

Hamzah bin Abdul Muthalib adalah pendukung utama dakwah Nabi, bahkan dikabarkan bahwa meskipun ia tidak masuk Islam, ia selalu melindungi Nabi SAW dari campur tangan kaum musyrik.  

Ia termasuk pejabat danjuga petinggi dari suku Quraisy. Dengan demikian, setelah Hamzah masuk Islam, kerusuhan atas Nabi Muhammad SAW yang dilancarkan oleh kaum musyrik mereda.  

Setelah masuk Islam, Hamzah bin Abdul Muthalib juga ikut berperang dan menjadi syahid dalam Perang Uhud. Nabi Muhammad SAW menangis ketika melihat Hamzah dalam keadaan yang sangat sedih.

Sejak saat itu, setiap kali wanita Ansar ingin meratapi seseorang yang telah meninggal, mereka akan menangis di hadapan Hamzah. Nabi SAW memasukkan Hamzah di antara tujuh orang terbaik Bani Hasyim dan menempatkannya sebagai syuhada terbaik.

Sementara itu, Gelar Hamzah bin Abdul Muthalib adalah Abu ‘Amarah dan Abu Ya’la. Ibunya Halah binti Uhaib (Wuhaib) bin Abdul Manaf bin Zuhrah.

Selain itu, sebagaiamana disebutkan dia atasa, bahwa Ia juga dijuluki dengan Asadullah atau Asadur-Rasulullah. Berdasarkan hadis dari Nabi Muhammad Saw, gelar ini mendapat sokongan Ilahi meskipun setelah zaman kesyahidannya dan ia terkenal dengan julukan sayidus syuhada, atau orang yang pemahamannya tajam, dirinya mengartikannya sebagai singa.

Kelahiran

Berdasarkan catatan yang ada, disebutkan bahwa Tsuwaibah adalah budak Abu Lahab yang merokok Nabi Muhammad dan Hamzah bin Abdul Muthalib, serta konfirmasi Nabi  bahwa Hamzah adalah saudara angkatnya. Hamzah paling tua 2 tahun dari usia Nabi Muhammad.

Ada yang mengatakan bahwa perbedaan usia ini hingga 4 tahun berdasarkan kecurigaan peneliti terhadap ibu yang menyusui mereka, Tsuwaibah, bahwa itu adalah Nabi Muhammad, bahkan mungkin lebih tua 2 sampai 4 tahun dan dilahirkan sekitar empat tahun sebelum tahun Gajah (lahirnya Nabi).

Sebelum Masuk Islam

Hamzah bin Abdul Muthalib mengambil bagian dalam perang di Fihar dan Hilf al-Fudhul. Dia, Abu Thalib dan paman Nabi lainnya juga hadir pada pertunangan Khadijah. Bahkan beberapa sumber menyebutkan, meski perbedaan usia dengan Nabi tidak lama dan akad pranikah dibacakan oleh Abu Thalib, pernikahan tersebut hanya menyebut nama Hamzah.  

Tahun Quraisy mengalami kekeringan yang sangat menindas, dan atas tawaran Nabi Muhammad untuk membantu Abu Thalib yang memiliki banyak anak, Hamzah bin Abdul Muthalib setuju untuk menjadi orang tua angkat Ja'far. Tabari menyebut nama Abbas bukan Hamzah.

Hamzah bin Abdul Muthalib adalah pemburu yang rajin, pada masa Jahiliyyah, dia adalah salah satu putra Abdul Muthalib, kepala suku Quraisy dan memiliki status yang sangat tinggi, sehingga beberapa orang mengingkari janji kepadanya.

Setelah Masuk Islam

Suatu hari ketika Nabi mengajak keluarga dekatnya untuk masuk Islam di Yaumu Indzar, Hamzah bin Abdul Muthalib juga hadir.  

Karena Hamzah bin Abdul Muthalib belum masuk Islam, dia, seperti Abu Thalib, selalu melindungi Nabi Muhammad dari gangguan kaum musyrik Quraisy. Berdasarkan beberapa kutipan sejarah, Hamzah menanggapi hinaan Abu Lahab kepada Nabi Muhammad.  

riwayat lain menyebutkan bahwa, suatu hari, Abu Jahal berada di dekat Gunung Shafa dan bertemu Nabi Muhammad SAW, lalu mengucapkan kata-kata buruk kepadanya. Namun sang Nabi tidak sedikitpu menggubris penyataannya itu, pada waktu itu, seorang pelayan ada di sana dan melihat apa yang terjadi.

Segera setelah itu, Hamzah bin Abdul Muthalib pergi untuk melihat Mekah setelah kembali dari berburu. Kebiasaan Hamzah adalah menyebut Ka'bah saat kembali ke Makkah. Kemudian dia mendekati kelompok Quraisy dan berbicara kepada mereka. Quraisy mencintai Hamzah karena dia seorang ksatria.  

Ketika Hamzah bin Abdul Muthalibpergi menemui orang-orang yang dikenalnya, pelayannya mendekatinya dan berkata: Tuhan, ketika Engkau tidak ada di sana, tahukah Anda apa yang dikatakan Abu Jahal kepada keponakannya? Hamzah mendekati Abu Jahal yang sedang duduk bersama beberapa pemimpin Quraisy.

Hamzah bin Abdul Muthalib menembakkan panahnya ke Abu Jahal, melukai kepala Abu Jahal hingga darah mengalir dari kepalanya. Maka Hamzah berkata: Kamu mengutuk Muhammad, apakah kamu tidak tahu bahwa aku menerima agama yang dibawa Muhammad? Saya mengatakan semua yang dia katakan.

Bani Mahzum berdiri untuk membantu Abu Jahal tetapi Abu Jahal berkata: Tinggalkan Hamzah, karena aku telah mengutuk keponakannya. Hal inilah yang mendorong Hamzah masuk Islam.

Setelah mengetahui bahwa Muhammad memiliki pelindung yang kuat dan akan melindunginya dari kejahatan seperti Hamzah bin Abdul Muthalib, kaum Quraisy tidak lagi mengganggu Nabi.

Menurut Imam Sajad As, yang membuat Hamzah bin Abdul Muthalib masuk Islam adalah nafsunya ketika melihat orang-orang musyrik melemparkan perut unta ke kepala Muhammad. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa Islamnya Hamzah sejak awal Islam datang dan didasarkan pada ilmu dan hikmahnya.

Dia masuk Islam pada tahun ke-2 atau ke-6 Bi'tzah dan sebelum Abu Dzar masuk Islam. Keislaman Hamzah bin Abdul Muthalib ternyata mampu meberi berpengaruh positif bagi keluarga Bani Hasyim. Pengetahuan kita tentang Hamzah setelah dia masuk Islam sampai membaca hijrah tidak banyak.

Setelah Nabi Muhammad SAW mulai berdakwah di depan umum, Hamzah bin Abdul Muthalib juga berdakwah di depan umum. Dia tinggal bersama Nabi dalam berbagai kesempatan, seperti ketika Nabi tidak pindah ke Abyssinia.

Selama dua atau tiga tahun, kaum Musyrikin mengepung Bani Muthalib dan Bani Hasyim di Shi'b Abu Thalib, Hamzah bin Abdul Muthalib bersama Muslim lainnya. Dalam janji kedua Aqabah, tahun ke-12 Bi'tzah, ketika penduduk Madinah membuat perjanjian dengan Nabi Muhammad SAW, Hamzah bersama Ali bin Abi Thalib menjaga Nabi SAW, dari orang-orang musyrik.

Baca Juga: Riwayat Hidup Sa’id bin Amr (601 M), Sahabat yang Gajinya Diberikan Kepada Orang Miskin

Hijrah ke Madinah

Hamzah bin Abdul Muthalib bergabung dengan perjanjian persaudaraan Muslim di Mekah, menghubungkan persaudaraan dengan Zaid bin Haritsah dan hari Uhud Zaid dinamai washi-nya.

Dalam Perjanjian Medina, sebelum Perang Badar, dia menandatangani perjanjian persaudaraan dengan Kultsum bin Hadam. Nabi Muhammad memberikan bendera perang pertama di bulan Ramadhan tahun pertama Hijrah kepada Hamzah di Suriah.  

Dia memimpin tim memerangi kafilah dagang Quraisy dari Syria ke Mekah. Hamzah dan 30  Muhajirin mencapai'Aish melalui laut dan menghadapi 300 penunggang kuda yang dipimpin oleh Abu Jahl.  

Dengan mediasi Muhammad bin Amru dan Juhani, yang mencapai kesepakatan damai, perang berhenti dan kedua belah pihak kembali ke tempat masing-masing.  

Hamzah bin Abdul Muthalib juga berperan sebagai Pembawa Panji Perang dalam Perang Abwa atau Waddan, Dzul 'Usyairah dan Bani Qainuqa'. Selama Perang Badar, Hamzah adalah garda paling depan melawan pasukan Musyrikin.  

Nabi Muhammad SAW mengutus Hamzah, Ali bin Abi Thalib As, Ubaidah bin Harist bin Abdul Muthalib untuk berduel dengan para pemimpin kaum musyrik. Berdasarkan berbagai riwayat, Utaibah bin Rabi'ah atau Syaibah tewas dalam duel dengan Hamzah.

Dalam Sadd Abwab, nama Hamzah juga disebutkan. Seolah-olah Hamzah-lah yang membuka pintu  masjid Nabawi. Nabi memerintahkan semua rumah dikunci kecuali rumah Ali, Hamzah bertanya mengapa dan Nabi Muhammad menjawab bahwa itu adalah perintah Allah.  

Meskipun dipahami dari beberapa kisah bahwa peristiwa ini terkait dengan periode setelah Fathu Mekah, kisah pertama lebih kuat.

Menjelang perang Uhud  tahun ke-3 Hijriah, Hamzah adalah salah satu orang yang menyarankan agar perang dilakukan di luar Madinah sehingga dia bersumpah untuk tidak  makan apa pun sampai dia dikalahkan oleh pihak lawan di luar Madinah. Dia bertanggung jawab atas inti pasukan Muslim, dia bertarung dengan  dua pedang dan menunjukkan keberanian yang luar biasa.

Syahid

Perang Uhud pecah pada hari Sabtu, pertengahan bulan Syawal tahun 3 H. Dalam pertempuran ini, Hamzah bin Abdul Muthalib syahid di tangan Wahsyi bin Harb, anak laki-laki Abyssinian, putri Harits bin Amar bin Naufal atau Ghulam Jubair bin Muth'im.  

Berdasarkan satu cerita, putri Harits menjanjikan kebebasan Wahsyi, ingin dia membalaskan dendam ayahnya, yang tewas dalam Pertempuran Badar. Harits dibunuh oleh Nabi Saw atau Ali As atau Hamzah.  

Berdasarkan catatan lain, Jubair bin Muth'im, untuk membalas pamannya Thu'amah, yang terbunuh di Badar, berjanji kepada Wahsyi untuk membebaskannya.  

Tetapi tidak diragukan lagi bahwa Hindun, putri Utaibah dan istri Abu Sufyan, yang mendorong Wahsy untuk membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib lebih daripada karena unsur Jubair atau putri Harits. Hindun ingin membalas dendam karena ayah, saudara laki-laki dan pamannya terbunuh dalam Perang Badar.  

Berdasarkan beberapa kutipan, dari awal Hindun menjanjikan kekayaan kepada Wahsyi, dia mendorongnya untuk membunuh Hamzah.

Menurut cerita dari Hindun itu bersumpah bahwa dia bisa memakan hati Hamzah. Wahsyi awalnya berjanji akan membunuh Ali As, namun di medan perang ia membunuh Hamzah dan memberikan hati Hamzah kepada Hindun tersebut.

Hindun memberikan pakaian dan perhiasan mereka kepada Wahsyi dan berjanji akan memberikan dinar di Mekah. Maka Hindun mendatangi tubuh Hamzah dan memotong tubuh Hamzah menjadi beberapa bagian.

Dari tubuh Hamzah, ia kemudian menciptakan anting-anting, gelang dan kalung. Kemudian berikan hati Hamzah ke Makkah.  

Dikisahan juga bahwa Muawiyah bin Mughairah dan Abu Sufyan juga terlibat dalam pembusukan atau pemotongan tubuh Hamzah. Karena tubuh Hamzah begitu mengenaskan, beberapa teman bersumpah akan menebas musuhnya selama 30 atau lebih.  

Tetapi pada saat itu, turunlah surah al-Nahl ayat 126 yang mengungkapkan bahwa bahkan jika mereka diizinkan untuk membalas dengan tindakan yang tepat, jika mereka bersabar, itu akan menjadi tindakan yang lebih baik.

Hamzah adalah syahid perang Uhud yang disolati oleh Nabi Muhammad Saw, kemudian syahid-syahid yang lainnya dibawa kehadapan Nabi beberapa kali untuk disalatkan dan meletakkan para syahid itu didekat jasad Hamzah, sehingga Nabi mensalati mayat-mayat mereka dan mayat Hamzah.

Dengan demikian kira-kira Hamzah disalati sebanyak 70 kali baik secara sendiri maupun bersamaan dengan jenazah-jenazah yang lainnya. Hamzah diletakkan dalam kain kafan yang dibawakan oleh saudarinya, Shafiyah karena kaum Musyrikin membiarkan Hamzah dalam keadaan telanjang.

Kuburan Hamzah

Dikatakan bahwa Sayidah Fatimah As pergi berziarah ke makam Hamzah bin Abdul Muthalib dan meletakkan sebuah batu di kuburannya. Bani Umayyah, karena permusuhan mereka dengan Nabi Muhammad SAW, bertindak kasar terhadap pemakaman Hamzah dan kuburan lainnya.  

Diriwayatkan juga bahwa Abu Sufyan, pada masa pemerintahan Utsman, menendang kuburan Hamzah dan mengatakan kepadanya bahwa, apa yang Anda simpan di masa lalu hingga berperang dengan kami, kini telah menjadi objek permainan bagi anak-anak kami yang masih kecil.

Setelah 40 tahun pecahnya Perang Uhud, Muawyah dengan tujuan mengeringkan sungai dan kanal Uhud, dan tampaknya karena permusuhan dengan keluarga Nabi, memerintahkan pembongkaran Uhud. Makam para syuhada Uhud termasuk makam Hamzah memindahkan kuburan mereka ke tempat lain.  

Rupanya beberapa kuburan para syuhada, termasuk kuburan Hamzah, telah dipindahkan. Sejak zaman dahulu, sudah ada masjid dan kubah di atas makam Hamzah. Namun, setelah Wahabi menguasai Kerajaan Arab Saudi di Hijaz, kubah yang menampung makam Hamzah dihancurkan pada 1344.

Demikian pula Masjid Hamzah, masjid lain yang dikenal sebagai Masjid Uhud, Masjid Ali dan Masjid Hamzah juga dibangun di sebelah barat. sisi Makam Syuhada Uhud. Makam Hazah memang sudah lama menjadi incaran para peziarah, khususnya jamaah Syiah, termasuk warga Iran yang menunaikan ibadah haji ke Madinah.

Contoh pengaruh mendalam dari kepribadian Hamzah dan kecintaannya terhadap Hamzah adalah setelah ia syahid sebagian sahabat-sahabat memberikan nama anaknya dengan nama Hamzah.

Itu dia beberapa riwayt tentang Hamzah bin Abdul Muthalib semoga kita bisa mengambil pelajaran darinya agar mejadi manusia yang lebih baik kedepan. Wallahua’lam!

Enol Writer Enol Writer
1 bulan yang lalu

Surau.co - Rasuna Said lahir pada tanggal 14 September 1910, di Panyinggahan, sebuah desa tidak jauh dari Maninjau, lahirlah seorang perempuan yang beranam Rasuna Said, putri dari H. Mahmud Said.

Sedangkan "Rangkayo" adalah gelar bangsawan yang diberikan setelah pernikahan Rasuna Said.

Diketahui bersama, bahwa keluarga besar Haji Said adalah keluarga yang cukup terkenal di masyarakat, dikenal beragama Islam yang kuat dan sangat menyayangi anak-anaknya (Kamajaya, 1984:75).

Pendidikan Rasuna Said

Pada umumnya anak-anak dari keluarga Haji Said semuanya bersekolah di sekolah umum yang didirikan oleh Belanda. Namun demikian, berbeda dengan Rasuna Said, ia lebih memilih sekolah agama di dekat rumahnya.

Ayah Rasuna Said adalah seorang pengusaha yang sibuk, yang membuatnya tidak punya waktu untuk mengurus putrinya, jadi sejak kecil, Rasuna Said dibesarkan oleh keluarga kakak laki-laki ayahnya, yang bernama Bachtaruddin (Esti, 2017:6).

Rasuna mengenyam pendidikan dasar di sekolah agama, sepulang sekolah ia bersekolah di Pesantren Ar-Rasyidiyah yang dikelola oleh Syekh Abdul Rasyid. Dan di pesantren inilah, Rasuna Said adalah satu-satunya siswi, ia mempelajari berbagai ilmu keislaman seperti tauhid, fiqh, hadits dan bahasa Arab sampai mahir.

Sayangnya, belum puas menimba ilmu dari sang guru, Syekh Abdul Rasyid telah berpulang. Rasuna Said kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Diniyah Putri Padang Panjang yang dikelola oleh Zainuddin Labai El-Yunusi.  

Rasuna Said dididik sebentar oleh Zainuddin, setelah kematian Zainuddin sekolah Diniyah Putri dijalankan oleh saudara perempuan Zainuddin, Rahmah.

Di sekolah inilah Rasuna Said dan Rahmah pertama kali bertemu, kedua wanita ini adalah orang paling terkenal di Minangkabau. Rasuna dapat menyelesaikan studinya dengan lancar, ketika di kelas 5 dan 6, Rasuna ditugaskan untuk mengajar kelas bawah (Jahroni, 2002: 71).  

Pada tanggal 28 Juni 1926, terjadi bencana alam di Padang Panjang yang memulangkan para siswa ke kampung halamannya. Rasuna Said juga sempat bersekolah di sekolah yang dikelola Haji Abdul Majid.

Setelah itu, Rasuna melanjutkan pendidikannya di sekolah putri (Meisjessschool) untuk belajar keterampilan memasak, menjahit dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Perjalanan pendidikan Rasuna cukup panjang dan pengalaman bagi kaum perempuan saat itu.

Bakat dan kecerdasan Rasuna Said membantunya masuk ke dalam gerakan kerakyatan, Rasuna memiliki sifat yang jujur ​​sehingga memenuhi syarat sebagai pemimpin gerakan kerakyatan. Pada tahun 1926, Rasuna bergabung dengan perkumpulan "Sarikat Rakyat" (SR) dan kemudian berubah menjadi (Partai Persatuan Islam Indonesia).

Rasuna Said juga menjadi anggota PERMI (Persatuan Muslim Indonesia), tetapi Rasuna lebih memilih PERMI karena PERMI berhasil memperluas pengaruhnya di Sumatera Barat, karena PERMI memiliki pejuang perintis di Sumatera Barat.

Perjuangan Politik Hj. Rangkayo Rasuna Said

Setelah Rasuna Said keluar dari Diniyah Putri, dia sibuk belajar agama dari para pembaharu di Minangkabau. Dengan bimbingan Haji Rasul, pikiran Rasuna menjadi lebih terbuka.

Hingga setelah beberapa tahun belajar dengan Haji Rasul dan menghadiri Sekolah Meijes pada tahun 1926, terjadi bencana alam di Padang Panjang, memaksa Rasuna harus kembali ke kampung halamannya di Maninjau.

Setelah kembali ke kampung halamannya, Rasuna Said bersekolah di sekolah yang dikelola oleh H. Abdul Majid dari kelompok "Orang Tua", tetapi di sana Rasuna merasa tidak betah dan merasa kurang cocok. Rasuna kemudian bergabung dengan sekolah Thawalib yang didirikan oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya Kaum Muda.

Di sekolah inilah kepribadian dan karakter Rasuna Said dibentuk sebagai  calon pejuang. Rasuna yang belajar menjadi orator ulung untuk menyampaikan aspirasinya dalam pidato-pidatonya (Martamine, 1977: 139).

Rasuna Said bergabung dengan Persatuan Rakyat sebagai pengurus, penulis dan juga sekretaris. Organisasi ini memobilisasi kekuatan masyarakat untuk melawan penjajahan Belanda di Hindia Timur. Namun, Datuk Ibrahim Tan Malaka, yang saat itu seorang propagandis komunis dari Payakumbuh, menggunakan Sarikat Rakyat untuk kepentingan politik.

Maka pada tahun 1927 terjadilah pemberontakan komunis di Siluggkang, karena peristiwa ini hanya sedikit orang yang menjadi korban. Akhirnya pada tahun 1930, Persatuan Rakyat secara resmi menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII).

Pada saat yang sama Perhimpunan Thawalib Sumatera, dalam konferensinya pada tanggal 22-27 Mei 1930, mengumumkan bahwa mereka telah mendirikan sebuah partai politik yang disebut Persatuan Muslim Indonesia (PERMI).

Karena PERMI telah menjadi partai politik dan PSII juga merupakan partai politik di mana Rasuna Said juga menjadi anggota kedua partai dan tunduk pada disiplin yang ditentukan oleh PSII yang ditetapkan dalam kongres tahunan 1921, yang menyatakan bahwa setiap anggota partai politik dilarang merangkap jabatan.

Rasuna Said mau tidak mau harus mematuhi peraturan tersebut, dan pada akhirnya, Rasuna memantapkan pilhannya untuk memilih PERMI sebagai tempat ia berproses, sehingga Rasuna keluar dari PSII dan tetap menjadi anggota PERMI.

Pada tahun 1932, PERMI resmi menjadi partai politik yang tidak terpisahkan dari tiga anak Minang, Haji Ilyas Yakub, Haji Mukhtar Lutfhi dan Haji Jalaluddin Thaib.

Partai PERMI yang berlandaskan Islam dan kebangsaan dengan cepat merebut hati masyarakat, yang tidak hanya berasal dari Sumatera Barat, tetapi pengaruhnya sampai ke wilayah Tapanuli, Bengkulu, Palembang, dan Lampung.

Peran Rasuna Said sangat penting di dalam tubuh PERMI, begitu juga dengan kelincahannya yang sudah teruji. Memang Rasuna pernah mengajar mata kuliah yang memuat pelajaran alokasi dan debat sebagai latihan mengasah pikiran para pengurus PERMI, dimana ia pernah mengajar kepada anggota PERMI dengan memberikan pidato publik yang menjelaskan prinsip dan tujuan partainya nasionalisme dengan semangat Islam dan condong ke arah non-koperasi untuk mewujudkan Indonesia merdeka (Putra, 2019:41).  

Rasuna Said, sebagai pembicara ahli dari partai PERMI, belajar banyak  dari dua pemimpin besar saat itu, Bung Karno dan Bung Hatta, melalui surat menyurat. Saat itu, Rasuna Said merasa mendapat nasehat langsung dari kedua pimpinan untuk melanjutkan perjuangannya.   

Rasuna Menunjukkan kemampuan berbicara yang diperolehnya dari gurunya H. Udin Rahmani, saat belajar di Sumatera Thawalib, dan hal itu terbukti sangat berguna dalam kegiatan propaganda partai politiknya.

Kemampuan Rasuna Said dalam berpidato mampu menarik simpati dari orang-orang yang memadati kuliah politiknya, bahkan agen PID tetap mengincar dan melacak gerak-geriknya, bahkan di tengah-tengah pidatonya, Rasuna sempat diiberhentikan dan dipaksa turun dari podium.

Karena keberaniannya mengkritik pemerintah Hindia Belanda, banyak orang menjulukinya sebagai "singa betina". Setelah Rasuna Said memberikan pidato yang sangat kuat mengkritik pemerintah Hindia Belanda di Payakumbuh, sehari setelah itu, ia ditangkap dan diasingkan oleh penjajah.  

Selama menjalani hukumannya, Rasuna Said terkena Delik Spreek oleh otoritas Hindia Belanda. (Sally 2013: 108). Setelah  Rasuna Said ditangkap, pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan pengawasan yang sangat ketat terhadap segala bentuk publikasi, pidato dan ceramah di masjid-masjid, serta mengawasi para aktivis PERMI.

Dan pada gilirannya, para tokoh PERMI bernasib sama dengan Rasuna Rasimah Ismail, seorang propagandis PERMI, dan siswa Rasuna yang juga dianiaya oleh Spreek di Sungai Puar Bukittinggi, kemudian guru Rasuna di Sumatera Thawalib, yaitu Zainal Abidin Ahmad dan Duski Samad dihukum berhenti mengajar di Sumatera Thawalib.

Sementara trio PERMI 1934 juga ditangkap, Muchtar Luthfi diasingkan ke Makassar sementara Ilyas Yakub dan Jalaludin Thaib diasingkan ke Digul (Sally, 2013:111).

Pada tahun 1935, setelah masa tahanannya selesai, Rasuna Said kembali ke kampung halamannya, di Kota Padang. Kemudian Rasuna Said melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Agama Islam yang dipimpin oleh K.H. Mochtar Jahja dan Dr. Kusuma Atmaja menjalankan, di lembaga pendidikan ini ia mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan.

Pada tahun yang sama, nama Rasuna Said juga selalu nongol di koran, bahkan ia sempat menjadi pimpinan redaksi di salah satu korang yang bernama “Raya” koran yang sangat nasionalis dan radikal.

Dan dari koran ini lah, perjuangan dan juga perlawanan terus mengalir dan berkobar bagi kebangkitan pergerakan nasionalis rakyat di Sumatera Barat. Hingga akhirnya, PID atau polisi pemerintah Hindia Belanda mempersempit ruang gerak media koran tersebut.

Namun perjuangn yang dilakukan oleh Rasuna Said lewat PERMI, terpaksa harus terhenti setelah 18 Oktober 1937, PERMI membubarkan diri dari medan perjuangan.

Bubarnya PERMI merupakan pukulan keras bagi Rasuna Said, ia tidak setuju atas pembubaran partainya. Dengan bubarnya PERMI Rasuna Said pergi meninggalkan tanah kelahirannya.

Kemudian ia pindah ke Kota Medan, Sumatera Utara dan di kota itulah Rasuna Said meneruskan perjuangannya dengan cara yang lain tetapi tujuan tetap sama yaitu Kemerdekaan Indonesia.

Di Kota Medan, pergerakan yang Rasuna Said lakukan berjalan pada dua aspek, pertama dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan khusus untuk kaum wanita dan yang kedua, ia menerbitkan sebuah majalah (Kamajaya, 1984:80).

Baca Juga: Biografi Abdul Muis (1886), Tokoh Pahlawan Nasional Pertama Indonesia

H.J. Rangkayo Rasuna dalam kemerdekaan Indonesia

Berkat kecerdasannya dan sifatnya yang jujur ​​dan tulus, ia memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin gerakan massa dengan sikap radikal dan tanpa kompromi berdasarkan sifat konsesi, hak komersial, baik dengan saingan maupun teman, yang membawanya untuk memimpinnya ke dalam masyarakat sipil.

Rasuna Said bergabung dengan Sarikat Rakyat pada tahun 1926 tidak hanya sebagai anggota tetapi juga sebagai sekretaris, tetapi sekaligus menjadi anggota PERMI partai politik  yang dibentuk oleh Perhimpunan Thawalib Sumatera.

Rasuna yang mahir orator, membuatnya disebut sebagai orator ulung membuat namanya semakin tersohor dengan semakin menjamurnya partai PERMI di pelosok Sumatera Barat.

Tidak berhenti sampai di situ, Rasuna Said yang mendirikan pendidikan populer sebagai kelas literasi dengan nama sekolah “Penyesalan”, sekolah Thawalib Putri dan kelas putri dimana sekolah tersebut juga dididik oleh kader pihak PERMI.

Atas jasanya dalam pendirian sekolah umum, masyarakat pedesaan mengenal pihak PERMI dengan Rasuna Said-nya. Sekolah dibangun di Bukittinggi yang kemudian menyebar ke Sumatera Barat, bahkan sampai  Tapanuli, Bengkulu dan Lampung.

Pengaruh Rasuna Said beserta kecerdasan dan aktivitasnya membuat pengaruh Rasuna Said semakin besar di kalangan penduduk. Ini menjadikannya target untuk operasi PID. Pada puncaknya, ia ditangkap dan dipenjarakan di Bulu, Semarang, Jawa Tengah.

Setelah bertahun-tahun di penjara pada tahun 1935 dan belajar di Perguruan Tinggi Islam dan menjabat sebagai editor majalah "Raya". Akhirnya, pada tahun 1938, Rasuna meninggalkan tanah kelahirannya, ia tiba di kota Medan di Sumatera Utara, berharap untuk melanjutkan perjuangannya.

Di kota Medan,  Rasuna kembali melanjutkan perjuangannya dengan cara yang berbeda namun dengan tujuan yang sama, yaitu kemerdekaan Indonesia. Rasuna Said memulai jalannya sendiri dengan mendirikan Perguruan Wanita dan  majalah Menara Putri.  

Pada bulan Februari 1942, Jepang mulai menginvasi Sumatera dengan pasukannya di Palembang  untuk menggagalkan rencana Belanda menghancurkan fasilitas minyak.  

Kedatangan Jepang di Indonesia diendus oleh pemerintah Belanda. Tentara Jepang memasuki kota Padang pada tanggal 17 Maret 1942 (Kahin, 2008: 135). Belanda merasa akan ada persaingan yang hebat jika Jepang benar-benar pergi ke Indonesia, untuk mempersiapkan hal tersebut Belanda melakukan latihan militer dimana-mana.

Belanda membentuk pasukan khusus seperti Garda Negara (Stadswacht), Angkatan Pertahanan Udara (Luchtbechermings Dients). Namun, ketika Jepang tiba di Indonesia, Belanda tidak melawan.

Sebelum mendarat, tentara Jepang menghancurkan kota Padang dan pelabuhan Teluk Bayur. Hal ini membuat seluruh tentara Belanda lumpuh total. Sebelum meninggalkan Sumatera Barat, Belanda mengambil taktik dengan menghancurkan jalan, jembatan dan bangunan penting lainnya, dan di beberapa kota seperti Payakumbuh dan Batusangkar terjadi kebakaran  hebat (Jahroni, 2002).  

Tak lama setelah  Jepang datang, Rasuna Said kembali ke Minang untuk mengambil tindakan. Bersama Chotib Sulaiman, Rasuna mendirikan “Pemuda Nippon Raya” untuk mempersatukan pemuda Sumatera Barat.

Pembentukan organisasi ini, mereka bekerja sama dengan pemerintah Jepang, tetapi terutama untuk melatih kader-kader perjuangan kemerdekaan. Sebuah aspirasi terkadang tidak disembunyikan oleh para tokoh pemuda, khususnya Rasuna Said. Setelah mengetahui aspirasi sebenarnya dari "Pemuda Nippon Raya", organisasi tersebut dibubarkan oleh Jepang.

Menyusul berdirinya Heiho dan PETA (Pembela Tanah Air) di Pulau Jawa, para pemimpin gerakan di Sumatera Barat juga mengusulkan kepada pemerintah Jepang pembentukan Gyu Gun.  

Gyu Gun dilatih oleh Kepala Seksi Chotib Sulaeman, sedangkan Rasuna Said diangkat sebagai Kepala Departemen Wanita sebagai "Ibu Pusat Laskar Rakyat".  

Rasuna Said bertanggung jawab atas propaganda organisasi. Rasuna berperan penting dalam menyebarkan Sayap Gyu Gun ke setiap pelosok Sumatera Barat seperti Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh, Sijunjung, Batusangkar, Maninjau, Pariaman, Kerinci dan Panian untuk memperkenalkan organisasi rekrutmen multi-person mungkin.  

Dalam kegiatan dakwahnya, Rasuna Said melatih kader-kader perjuangan bangsa, dan kader-kader yang dilatih tersebut kemudian menjadi tokoh-tokoh  Badan Keamanan Rakyat (BKR), setelah kemudian berganti nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan menjadi Tentara Nasional Indonesia. Tentara Republik (TRI) dan akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Penutup

Rasuna Said lahir pada 14 September 1910, putri dari H. Mahmud Said. Keluarga H. Mahmud Said adalah keluarga yang sangat dihormati saat itu karena menganut ajaran Islam.

H. Mahmud Said adalah seorang ayah yang sangat peduli terhadap pendidikan semua anaknya, yang semuanya bersekolah di sekolah umum yang didirikan oleh Belanda, kecuali Rasuna Said.

Organisasi politik pertama yang diikuti Rasuna Said adalah Sarikat Rakyat dan Sumatera Thawalib, yang keduanya kemudian menjadi partai politik.

Sarikat Rakyat diubah menjadi PSII (Persatuan Islam Indonesia) dan PERMI (Persatuan Muslim Indonesia). Rasuna terlibat dalam perjuangan partai PERMI, salah satunya sebagai alat propaganda antar partai, ketua partai, dan dengan membuka sekolah-sekolah seperti “Pengakuan”, “Thawalib Putri” dan “Putri Kursus”.

Rasuna yang dipenjara karena terkena Spreek Delic menjadi kontributor majalah Raya setelah dibebaskan, dan setelah mengetahui pembubaran PERMI, Rasuna Said terus berjuang di Kota Medan, Sumatera Utara.

Di Kota Medan, ia mendirikan pendidikan "Perguuan Putri" dan majalah "Menara Putri" yang melaluinya ia melanjutkan perjuangannya.