Sejak 2015, Jerman telah menjadi saksi perubahan signifikan dalam komunitas Muslim dan diskursus keislaman, sebagian besar dipicu oleh gelombang Imigran dari Suriah. Krisis perang saudara di Suriah mendorong lebih dari satu juta pengungsi—mayoritas Muslim—memasuki Jerman, terutama melalui kebijakan pintu terbuka Kanselir Angela Merkel. Fenomena ini tidak hanya meningkatkan jumlah umat Muslim di negara ini, tetapi juga membawa dinamika baru dalam praktik keagamaan, identitas komunitas, dan persepsi publik tentang Islam. Artikel ini meneliti bagaimana imigran Suriah membentuk wajah Islam di Jerman, dari kontribusi positif hingga tantangan yang muncul dalam masyarakat multikultural.
Lonjakan Populasi Muslim
Sebelum 2015, populasi Muslim di Jerman sudah signifikan, mencapai sekitar 4,7 juta jiwa, didominasi oleh komunitas Turki. Namun, kedatangan pengungsi Suriah mempercepat pertumbuhan ini. Hingga 2025, jumlah Muslim diperkirakan melampaui 5,5 juta, dengan imigran Suriah menjadi salah satu kelompok terbesar setelah Turki. Banyak dari mereka menetap di kota-kota besar seperti Berlin, Hamburg, dan Munich, membentuk komunitas kecil yang memperkaya keragaman Islam lokal. Tidak seperti migran Turki yang datang sebagai pekerja pada 1960-an, pengungsi Suriah tiba dalam kondisi krisis, membawa serta pengalaman trauma, tetapi juga semangat untuk memulai hidup baru.
Kehadiran mereka meningkatkan visibilitas Islam di ruang publik. Masjid-masjid yang sebelumnya didominasi oleh komunitas Turki kini mulai merangkul jemaah Suriah, dengan khutbah dan kegiatan yang lebih beragam secara bahasa dan budaya. Di beberapa daerah, masjid sementara atau ruang shalat didirikan untuk mengakomodasi kebutuhan spiritual pengungsi, sering kali dengan dukungan organisasi lokal atau donasi komunitas.
Pengaruh pada Praktik Keislaman
Imigran Suriah membawa tradisi keislaman yang berbeda dari komunitas Turki yang cenderung konservatif dan terorganisir di bawah naungan DITIB. Banyak pengungsi Suriah menganut Islam Sunni dengan pengaruh budaya Levantin yang lebih fleksibel, sering kali mencerminkan pengalaman hidup di tengah masyarakat multireligi di Suriah sebelum perang. Hal ini terlihat dalam kegiatan komunal seperti perayaan Ramadan, di mana hidangan Suriah seperti fatayer atau kibbeh menjadi bagian dari buka puasa bersama, menambah warna pada tradisi lokal.
Selain itu, beberapa imigran Suriah membawa pendekatan yang lebih personal terhadap agama, dipengaruhi oleh kondisi perang yang membuat mereka fokus pada esensi spiritual ketimbang formalitas ritual. Misalnya, kelompok kecil di Berlin mengadakan diskusi keislaman informal yang membahas topik seperti ketahanan iman di masa sulit—sebuah refleksi dari pengalaman mereka. Pendekatan ini kadang kontras dengan struktur keagamaan Turki yang lebih hierarkis, memicu dialog tentang bagaimana Islam dapat dijalankan di Jerman modern.
Diskursus Keislaman: Tantangan dan Peluang
Kedatangan imigran Suriah juga memengaruhi diskursus keislaman di Jerman, baik secara positif maupun negatif. Di satu sisi, mereka memperkuat narasi Islam sebagai agama damai melalui kontribusi sosial. Banyak pengungsi terlibat dalam kegiatan sukarela, seperti mendistribusikan makanan atau mengajar bahasa Arab kepada anak-anak Muslim, menunjukkan sisi kemanusiaan yang sering terabaikan di tengah stereotip. Inisiatif seperti “iftar terbuka” di taman-taman publik menjadi cara untuk membangun hubungan dengan warga Jerman non-Muslim, memperluas pemahaman tentang Islam.
Namun, gelombang ini juga memicu ketegangan. Krisis pengungsi 2015 memicu gelombang islamofobia, terutama setelah serangan teroris di Eropa yang dikaitkan dengan kelompok ekstrem seperti ISIS—meskipun mayoritas pengungsi Suriah justru melarikan diri dari kelompok tersebut. Partai sayap kanan seperti AfD memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat narasi anti-imigran, menuding pengungsi sebagai ancaman terhadap identitas Jerman. Insiden seperti serangan pisau di Solingen pada 2024 oleh seorang pelaku asal Suriah semakin memperkeruh diskursus, meskipun kasus ini adalah pengecualian, bukan aturan.
Di kalangan Muslim sendiri, kehadiran imigran Suriah memunculkan perdebatan tentang integrasi. Generasi muda Muslim Jerman, yang sudah terbiasa dengan pendekatan lokal, kadang memandang pengungsi sebagai “terlalu tradisional” atau sulit beradaptasi. Sebaliknya, beberapa imigran Suriah merasa komunitas Muslim yang ada—terutama Turki—kurang terbuka terhadap keragaman. Ini mendorong munculnya ruang-ruang baru, seperti kelompok diskusi atau masjid independen, yang mencoba menjembatani perbedaan.
Dampak Sosial dan Budaya
Secara sosial, imigran Suriah berkontribusi pada ekonomi dan budaya Jerman. Banyak yang membuka usaha kecil seperti restoran atau toko kelontong, memperkenalkan kuliner Suriah yang kini populer di kalangan warga lokal. Di bidang pendidikan, para profesional Suriah—dokter, insinyur, atau akademisi—berusaha masuk pasar kerja, meski sering terhambat oleh birokrasi pengakuan kualifikasi. Anak-anak pengungsi, yang kini bersekolah di Jerman, menjadi jembatan generasi yang membawa harapan integrasi jangka panjang.
Namun, tantangan integrasi tetap ada. Banyak pengungsi menghadapi diskriminasi, kesulitan bahasa, dan trauma perang, yang memperlambat proses adaptasi. Di sisi lain, kehadiran mereka memaksa Jerman menghadapi pertanyaan besar: bagaimana mendefinisikan identitas nasional di era multikulturalisme? Diskursus tentang hijab, pendidikan agama Islam di sekolah, dan ruang ibadah semakin intens seiring meningkatnya kebutuhan komunitas Muslim yang kini lebih beragam.
Menuju Wajah Islam yang Baru
Pengaruh imigran Suriah terhadap Islam di Jerman adalah kisah tentang transformasi. Mereka tidak hanya menambah jumlah, tetapi juga membawa perspektif baru yang memperkaya keislaman lokal. Dari masjid yang lebih inklusif hingga diskusi tentang makna Islam di Barat, kontribusi mereka membentuk wajah Islam yang lebih dinamis. Namun, tantangan seperti islamofobia dan integrasi menunjukkan bahwa perjalanan ini belum selesai.
Di tengah gelombang perubahan ini, Islam di Jerman kini berdiri di persimpangan: antara menjadi kekuatan yang menyatukan keragaman atau terus dipandang sebagai “orang asing.” Imigran Suriah, dengan ketahanan dan semangat mereka, telah menorehkan jejak yang tak terhapuskan—mengajak Jerman, dan dunia, untuk melihat Islam melalui lensa yang lebih luas dan manusiawi.
Ka’bah, bangunan suci yang berdiri di tengah Masjidil Haram, Mekah, adalah simbol kesatuan umat Islam di seluruh dunia. Sebagai kiblat bagi jutaan Muslim yang melaksanakan salat setiap hari, Ka’bah tidak hanya menjadi pusat ibadah, tetapi juga cerminan sejarah panjang keimanan manusia kepada Allah SWT. Artikel ini akan mengulas asal-usul pembangunan Ka’bah, perkembangannya dalam sejarah, serta peran krusialnya dalam ibadah haji yang menjadi salah satu rukun Islam.
Asal-Usul Ka’bah dalam Tradisi Islam
Menurut ajaran Islam, Ka’bah pertama kali dibangun oleh Nabi Adam AS sebagai tempat ibadah kepada Allah. Al-Qur’an dalam Surah Ali Imran (3:96) menyebutkan bahwa "Sesungguhnya rumah yang pertama kali dibangun untuk (tempat ibadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah)." Meski demikian, bangunan awal ini diyakini hancur akibat banjir besar pada masa Nabi Nuh AS. Tradisi Islam kemudian mencatat bahwa Ka’bah dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim AS bersama putranya, Nabi Ismail AS, atas perintah langsung dari Allah.
Kisah pembangunan ini diabadikan dalam Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah (2:127): "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membangun) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): 'Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.'" Nabi Ibrahim dan Ismail mendirikan Ka’bah dengan batu-batu dari lima bukit di sekitar Mekah, termasuk Hajar Aswad, batu suci yang diyakini berasal dari surga. Proses ini tidak hanya menandai pembangunan fisik, tetapi juga simbolisasi ketaatan kepada Allah.
Ka’bah di Era Jahiliah
Setelah masa Nabi Ibrahim, Ka’bah tetap menjadi pusat spiritual, namun fungsinya berubah seiring waktu. Pada masa jahiliah, sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, Ka’bah dikelilingi oleh ratusan berhala yang disembah oleh suku-suku Arab. Meski demikian, masyarakat Arab tetap menghormati Ka’bah sebagai warisan Nabi Ibrahim, dan mereka melakukan tawaf sebagai tradisi turun-temurun, meskipun telah bercampur dengan praktik syirik.
Pada periode ini, Ka’bah beberapa kali mengalami kerusakan akibat banjir dan konflik antarsuku. Salah satu rekonstruksi penting terjadi pada tahun 605 M, beberapa tahun sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW. Suku Quraisy, yang saat itu bertanggung jawab atas pemeliharaan Ka’bah, sepakat untuk membangun ulang bangunan yang rusak akibat banjir. Nabi Muhammad, yang saat itu belum diutus sebagai rasul, turut membantu dengan menempatkan Hajar Aswad kembali ke posisinya, menyelesaikan sengketa antarsuku dengan bijaksana.
Ka’bah di Masa Islam
Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dan memulai dakwahnya, Ka’bah menjadi salah satu fokus utama untuk dikembalikan ke fungsi aslinya: tempat ibadah kepada Allah semata. Pada tahun 630 M, saat Fathu Makkah (Pembebasan Mekah), Nabi Muhammad menghancurkan semua berhala di sekitar Ka’bah dan menyucikannya dari praktik syirik. Peristiwa ini menandai titik balik penting, menegaskan kembali Ka’bah sebagai simbol tauhid.
Sejak itu, Ka’bah terus dirawat dan diperbaiki oleh berbagai kekhalifahan Islam, mulai dari masa Khulafaur Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, hingga kekuasaan Dinasti Saudi modern. Setiap renovasi dilakukan dengan hati-hati untuk mempertahankan bentuk aslinya, termasuk penggunaan Kiswah, kain penutup Ka’bah yang diganti setiap tahun sebagai bagian dari tradisi.
Peran Ka’bah dalam Ibadah Haji
Ka’bah memiliki peran sentral dalam ibadah haji, salah satu dari lima rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mampu. Setiap tahun, jutaan jemaah dari seluruh dunia berkumpul di Mekah untuk menjalankan rangkaian ibadah haji, yang mencakup tawaf, sai, dan wukuf, dengan Ka’bah sebagai poros utamanya.
Tawaf: Ritual mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali adalah salah satu puncak ibadah haji dan umrah. Tawaf melambangkan kesatuan umat Islam dalam mengorbit pada satu titik spiritual, serupa dengan malaikat yang mengelilingi Arsy Allah. Jemaah biasanya berusaha mencium atau menyentuh Hajar Aswad sebagai bentuk penghormatan, mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW.
Kiblat Salat: Selama haji, jemaah melaksanakan salat menghadap Ka’bah, mengingatkan mereka pada perintah Allah dalam Surah Al-Baqarah (2:144) untuk menjadikan Ka’bah sebagai arah kiblat. Ini juga berlaku bagi umat Islam di seluruh dunia, menjadikan Ka’bah sebagai simbol persatuan global.
Makna Spiritual: Ka’bah bukan sekadar bangunan fisik, tetapi representasi hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Dalam wukuf di Arafah, meski jemaah tidak berada di dekat Ka’bah, kesadaran akan keberadaannya tetap menguatkan dimensi spiritual ibadah haji.
Ka’bah di Era Modern
Di bawah pemerintahan Kerajaan Arab Saudi, Ka’bah dan Masjidil Haram terus mengalami perluasan untuk menampung jumlah jemaah yang kian meningkat. Proyek-proyek seperti penambahan fasilitas dan teknologi modern untuk pengelolaan haji menunjukkan upaya menjaga relevansi Ka’bah di tengah tantangan zaman. Namun, esensi spiritualnya tetap terjaga, sebagaimana doa Nabi Ibrahim yang abadi: “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus…” (QS Al-Hajj: 27).
Sejarah pembangunan Ka’bah adalah cerminan perjalanan panjang keimanan manusia, dari Nabi Adam hingga masa kini. Dari struktur sederhana yang didirikan Nabi Ibrahim hingga menjadi pusat spiritual umat Islam global, Ka’bah tidak hanya menyimpan nilai historis, tetapi juga makna mendalam dalam ibadah haji. Sebagai lambang tauhid dan kesatuan, Ka’bah terus menginspirasi jutaan Muslim untuk mendekat kepada Allah, menjadikannya lebih dari sekadar bangunan—ia adalah jantungan spiritual umat Islam di seluruh dunia.
Haji, salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat Muslim yang mampu, telah menjadi perjalanan spiritual yang monumental selama berabad-abad. Setiap tahun, jutaan jemaah dari seluruh dunia berkumpul di Mekah, Arab Saudi, untuk menunaikan ibadah ini. Namun, di balik kesucian ritual tersebut, tantangan logistik dan pengelolaan menjadi semakin kompleks seiring bertambahnya jumlah jemaah. Di era digital, Arab Saudi telah memanfaatkan teknologi mutakhir untuk mentransformasi pengelolaan haji dan umrah, mempermudah perjalanan ibadah, meningkatkan keamanan, dan memberikan pengalaman yang lebih baik bagi para tamu Allah. Artikel ini akan membahas bagaimana teknologi menjadi tulang punggung revolusi ini, khususnya dalam konteks haji dan umrah.
Tantangan Tradisional dalam Pengelolaan Haji
Sebelum era digital, pengelolaan haji menghadapi banyak kendala. Jutaan jemaah yang tiba dalam waktu singkat—biasanya antara 8 hingga 13 Zulhijah—menyebabkan kepadatan luar biasa di Mekah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan Muzdalifah. Masalah seperti kemacetan transportasi, risiko kesehatan, dan kesulitan koordinasi antarlembaga sering kali muncul. Selain itu, proses manual seperti pendaftaran, visa, dan pengecekan identitas memakan waktu dan rentan terhadap kesalahan manusia. Bagi jemaah, tantangan ini sering kali mengurangi kekhusyukan ibadah mereka.
Arab Saudi, sebagai penjaga dua masjid suci, menyadari bahwa pendekatan tradisional tidak lagi cukup. Dengan ambisi besar melalui Saudi Vision 2030, pemerintah kerajaan bertekad meningkatkan kapasitas haji hingga 30 juta jemaah per tahun pada 2030. Untuk mencapai target ini, transformasi digital menjadi keharusan, dan teknologi pun diadopsi secara masif.
Digitalisasi Proses Pra-Keberangkatan
Salah satu langkah awal dalam transformasi ini adalah digitalisasi proses pra-keberangkatan. Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi meluncurkan platform Nusuk, sebuah portal daring yang memungkinkan jemaah dari seluruh dunia mendaftar, mengajukan visa, dan memesan layanan seperti akomodasi serta transportasi. Tersedia dalam sembilan bahasa, Nusuk mempersingkat waktu pengurusan visa elektronik (e-visa) menjadi kurang dari 24 jam, sebuah lompatan besar dari proses manual yang bisa memakan mingguan.
Selain itu, teknologi biometrik kini digunakan untuk verifikasi identitas. Jemaah yang tiba di bandara, seperti Bandara Internasional King Abdulaziz di Jeddah, dapat memindai sidik jari atau wajah mereka melalui sistem yang terhubung dengan data imigrasi. Ini tidak hanya mempercepat proses masuk, tetapi juga meningkatkan keamanan dengan mencegah penyalahgunaan identitas.
Teknologi di Lapangan: Smart ID dan Aplikasi Pendukung
Selama pelaksanaan haji, Arab Saudi memperkenalkan Hajj Smart ID, sebuah kartu pintar yang dilengkapi kode batang dan teknologi RFID (Radio Frequency Identification). Kartu ini menyimpan informasi penting jemaah, seperti data medis, lokasi penginapan, dan kontak kelompok haji. Dengan Smart ID, petugas dapat dengan cepat mengidentifikasi jemaah yang tersesat atau membutuhkan bantuan, terutama di tengah kerumunan besar seperti saat wukuf di Arafah atau lempar jumrah di Mina.
Aplikasi pendamping seperti Hajj Staff dan Hajj Organizer juga diperkenalkan. Aplikasi ini memungkinkan petugas haji memantau lokasi jemaah secara real-time, berkomunikasi langsung dengan mereka, dan mengelola data kelompok. Bagi jemaah, aplikasi seperti Manasik menyediakan panduan ritual, peta digital, dan layanan darurat dalam berbagai bahasa. Robot pemandu yang dilengkapi kecerdasan buatan (AI) bahkan dikerahkan di Masjidil Haram untuk menjelaskan tata cara ibadah dalam 11 bahasa, membantu jemaah dari latar belakang beragam.
Pengelolaan Kerumunan dan Keamanan
Salah satu tantangan terbesar haji adalah pengelolaan kerumunan (crowd management). Teknologi telah menjadi solusi kunci di sini. Kamera CCTV dengan analitik AI dipasang di seluruh lokasi suci untuk memantau kepadatan jemaah secara real-time. Sistem ini memungkinkan otoritas mengalihkan arus jemaah jika suatu area terlalu penuh, mencegah insiden seperti desak-desakan yang pernah terjadi di masa lalu.
Internet of Things (IoT) juga dimanfaatkan melalui gelang pintar (e-bracelet) yang dikenakan jemaah. Gelang ini tidak hanya melacak lokasi, tetapi juga memantau tanda vital seperti detak jantung dan suhu tubuh, memberikan peringatan dini jika jemaah mengalami heatstroke—masalah umum di tengah cuaca panas Mekah. Data dari gelang ini terintegrasi dengan pusat kontrol elektronik Kementerian Haji dan Umrah, memungkinkan respons cepat dalam situasi darurat.
Transportasi dan Logistik Digital
Transportasi adalah tulang punggung haji, dan Arab Saudi telah mengoptimalkannya dengan teknologi. Kereta cepat Haramain, yang menghubungkan Jeddah, Mekah, dan Madinah, dilengkapi sistem tiket digital yang terintegrasi dengan Nusuk. Dengan kecepatan hingga 300 km/jam, kereta ini mengangkut ribuan jemaah setiap hari, mengurangi kemacetan jalan raya. Armada 15.000 bus haji juga dikelola melalui sistem GPS terpusat, memastikan distribusi jemaah ke lokasi ritual berjalan lancar.
Logistik lainnya, seperti distribusi air Zamzam dan makanan, kini menggunakan platform berbasis cloud. Teknologi ini memungkinkan otoritas melacak kebutuhan jemaah secara real-time, meminimalkan pemborosan dan memastikan ketersediaan yang merata.
Dampak pada Pengalaman Jemaah
Transformasi digital ini membawa dampak besar pada pengalaman jemaah. Proses yang dulunya memakan waktu dan melelahkan kini menjadi lebih efisien, memungkinkan jemaah fokus pada ibadah mereka. Layanan kesehatan, yang didukung data dari Smart ID dan gelang pintar, menjadi lebih responsif, menyelamatkan nyawa dalam kasus darurat seperti serangan panas atau penyakit menular. Jemaah dari negara non-Arab, yang sering kesulitan dengan bahasa, kini mendapat bantuan dari aplikasi dan robot multibahasa.
Selain itu, digitalisasi meningkatkan inklusivitas. Jemaah lansia atau penyandang disabilitas mendapat perhatian khusus melalui teknologi pelacakan dan prioritas layanan, memastikan mereka dapat menjalankan ibadah dengan nyaman.
Tantangan dan Masa Depan
Meski sukses, transformasi ini tidak tanpa tantangan. Infrastruktur teknologi membutuhkan investasi besar—lebih dari $100 miliar telah dikeluarkan sejak 1950-an—dan pemeliharaan yang berkelanjutan. Selain itu, tidak semua jemaah akrab dengan teknologi, terutama dari negara berkembang, sehingga edukasi digital menjadi kebutuhan mendesak. Keamanan data juga menjadi isu, mengingat informasi sensitif jemaah tersimpan dalam sistem digital.
Ke depan, Arab Saudi berencana memperluas penggunaan AI dan blockchain. AI dapat memprediksi pola kerumunan dan kebutuhan logistik, sementara blockchain bisa menjamin transparansi dalam pengelolaan dana haji. Dengan target 30 juta jemaah pada 2030, inovasi ini akan menjadi kunci untuk menjaga kualitas layanan.
Haji di era digital menunjukkan bagaimana Arab Saudi memadukan tradisi suci dengan teknologi modern. Dari Nusuk hingga Smart ID, transformasi ini telah merevolusi pengelolaan jemaah, menjadikan haji dan umrah lebih mudah, aman, dan inklusif. Di tengah tantangan abad ke-21, teknologi tidak hanya mempermudah logistik, tetapi juga memperkaya pengalaman spiritual jemaah. Dengan komitmen kuat melalui Saudi Vision 2030, Arab Saudi terus membuktikan bahwa mereka bukan hanya penjaga tanah suci, tetapi juga pelopor inovasi dalam melayani tamu Allah.
SURAU.CO. Israel kembali berulah. Ditengah upaya perundingan gencatan senjata, Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu memerintahkan serangan udara di basis strategis Hamas. Akibatnya ratsuan warga sipil diberitakan meninggal dunia. Anehnya Amerika Serikat mendukung serangan ini dan menyalahkan Hamas. Akibat serangan pada Selasa dini hari itu menghancurkan masa yang relatif tenang selama bulan suci Ramadan.
Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan sedikitnya 310 warga Palestina tewas. Jumlah korban tewas diperkirakan akan terus meningkat sejak dimulainya serangan semalam, yang bertepatan dengan hari ke-18 bulan suci Ramadan. Sementara laman arabnews.com yang melansir pernyataan pejabat Palestina ada 200 yang meninggal dunia dalam peristiwa tersebut.
Netanyahu beralasan bahwa serangan tersebut karena tidak ada tidak adanya kemajuan dalam perundingan untuk memperpanjang gencatan senjata. “Israel, mulai sekarang, akan bertindak melawan Hamas dengan meningkatkan kekuatan militernya,” kata kantor Netanyahu. Bahkan para pejabat Israel mengatakan serangan terhadap Gaza tersebut tidak terbatas bahkan dapat meluas. Mereka juga menyebut Gedung Putih mengatakan telah diajak berkonsultasi dan menyatakan dukungannya terhadap tindakan Israel ini.
Akibat serangan mendadak ini Hamas menuduh Netanyahu mengingkari perjanjian gencatan senjata. Selain itu juga menempatkan para sandera "dalam situasi yang tidak diketahui.” Hamas dalam sebuah pernyataannya meminta para mediator untuk meminta Israel bertanggung jawab penuh atas pelanggaran dan pembatalan perjanjian tersebut. Mengutip laman arabnews.com warga Palestina memang telah memperkirakan perang akan terjadi lagi. Hal ini dapat dilihat saat perundingan mengenai gencatan senjata tahap kedua molor tidak sesuai jadwal pada awal Februari. Bahkan Israel menerima usulan alternatif dan menghentikan semua pengiriman makanan, bahan bakar, dan bantuan lainnya kepada 2 juta warga Palestina.
Serangan tersebut mengakhiri dua bulan setelah gencatan senjata yang menghentikan perang. Dalam enam minggu, Hamas membebaskan 25 sandera Israel dan delapan jenazah lainnya sebagai ganti hampir 2.000 tahanan Palestina dalam fase pertama gencatan senjata. Namun kedua belah pihak belum dapat menyetujui cara untuk maju dengan fase kedua yang bertujuan membebaskan 59 sandera yang tersisa, 35 di antaranya diyakini telah tewas, dan mengakhiri perang sepenuhnya. Hamas menuntut diakhirinya perang dan penarikan penuh pasukan Israel sebagai imbalan atas pembebasan sandera yang tersisa. Israel mengatakan tidak akan mengakhiri perang sampai menghancurkan kemampuan pemerintahan dan militer Hamas serta membebaskan semua sandera.
SURAU.CO. Selama bulan Ramadhan 1446 H, Kementerian Agama telah mengirim 1000 dai ke wilayah terluar, terdepan dan tertinggal. Dari jumlah tersebut sebanyak 213 merupakan daiyah atau dai perempuan. Pengiriman ini merupakan bagian dari program penguatan peran perempuan dalam dakwah.
Para daiyah ini menurut Ahmad Zayadi, Direktur Penerangan Agama Islam Kemenag, tidak hanya menyampaikan ajaran agama saja. Namun, lanjutnya juga berperan dalam memberdayakan perempuan. “Daiyah tidak hanya menyampaikan ajaran Islam, tetapi juga berperan dalam pemberdayaan perempuan, pendidikan keagamaan anak-anak, serta memperkuat ketahanan sosial di masyarakat. Kehadiran mereka sangat dibutuhkan, terutama di daerah yang selama ini memiliki keterbatasan akses terhadap layanan keagamaan,” ujarnya, Minggu (9/3).
Pelibatan para daiyah, menurut Zayadi menjadi bagian dari strategi penguatan peran perempuan dalam dakwah Islam yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Kemudian dirinya juga berharap program pengiriman dai ini bermanfaat untuk masyarakat di wilayah 3T. Selain itu juga tahun depan semakin banyak daiyah yang terlibat . “Kami ingin memastikan bahwa dakwah di Indonesia semakin inklusif dan bisa menyentuh semua lapisan masyarakat. Peran perempuan dalam dakwah harus terus diperkuat agar semakin banyak komunitas yang mendapatkan manfaatnya,” jelasnya.
Menjawab Persoalan Fiqih Perempuan
Sementara itu Analis Kebijakan Ahli Muda pada Subdirektorat Dakwah dan Hari Besar Islam, Kemenag, Subhan Nur menyebut peran daiyah sangat strategis. Menurutnya hal penting peran daiyah itu adalah memberi pemahaman agama dekat dengan kehidupan keseharian. Bagi Subhan, peran kunci daiyah adalah memberi bimbingan dan konsultasi keagamaan terkait permasalahan fikih wanita. Padahal hal inilah yang sering menjadi kendala bagi perempuan utamanya daerah terpencil.
“Kehadiran daiyah sangat penting, terutama untuk menjawab berbagai persoalan fikih wanita yang sering kali sulit dibahas secara terbuka di masyarakat. Dengan pendekatan yang lebih personal, mereka dapat menjadi tempat konsultasi bagi para ibu dan remaja perempuan dalam memahami hukum Islam terkait haid, nifas, pernikahan, serta peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat,” jelasnya.
Selain memberi ceramah dan mengajar mengaji, para daiyah juga terlibat dalam berbagai program sosial. Program tersebut antara lain adalah pemberdayaan ekonomi perempuan, edukasi kesehatan keluarga, hingga pembinaan akhlak generasi muda.
SURAU.CO. Jika ingin mendapatkan bantuan untuk Masjid atau musala tahun 2025, Kementerian Agama telah membuka pendaftaran. Bantuan Kemenag ini dapat membantu pembangunan fisik dan sarana prasarana masjid dan musala. Ada empat kategori nominal bantuan.
Menurut Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Abu Rokhmad, bantuan pemerintah ini menjadi prioritas nasional untuk mendukung pengelolaan masjid dan musala. Dirinya kemudian menjelaskan bantuan tersebut terbagi dalam empat kategori nominal. Pertama, bantuan senilai Rp50 juta untuk pembangunan atau rehabilitasi masjid. Kedua, bantuan sebesar Rp 35 juta untuk pembangunan atau rehabilitasi musala. Ketiga, bantuan senilai Rp 15 juta untuk operasional rintisan masjid ramah. Dan keempat adalah bantuan sebesar Rp 10 juta untuk operasional rintisan musala ramah.
“Bantuan ini bersifat stimulan, artinya bukan untuk menanggung seluruh biaya pembangunan atau rehabilitasi, melainkan sebagai dorongan atau ajakan bagi jemaah dan masyarakat untuk ikut membangun dan meramahkan masjidnya,” tambah Rokhmad. Kemudian Rokhmad menjelaskan bahwa perawatan rumah ibadah menjadi program prioritas presiden dan wakil presiden. “Bantuan ini diharapkan tidak hanya membantu pembangunan fisik dan sarana prasarana masjid dan musala, tetapi juga memperkuat fungsinya sebagai pusat kegiatan keagamaan, sosial, dan pemberdayaan masyarakat,” ujarnya di Jakarta, Kamis (6/3).
Syarat Mendapatkan Bantuan
Sekedar informasi Kemenag juga membuka bantuan pembangunan dan rehabilitasi masjid/musala dan rintisan masjid/musala ramah lingkungan tahun ini. Bantuan tersebut bagian dari arahan Menteri Agama terkait eco-theology sebagai implementasi spirit Deklarasi Istiqlal. Seperti diketahui deklarasi itu menyebut pentingnya merintis masjid ramah lingkungan. "Kami minta masjid dan musala menanam pohon dan memperbaiki sanitasinya,” tambah Abu.
Sejak 2024 Kemenag telah memperkenalkan konsep “Masjid Ramah”, yakni masjid dan musala yang mengedepankan nilai inklusivitas bagi anak, perempuan, penyandang disabilitas, serta lansia. Selain itu, konsep ini juga menekankan aspek keberlanjutan lingkungan, keragaman, serta keberpihakan pada kalangan duafa. “Pada 2025, program ini tidak hanya melanjutkan skema yang sudah berjalan, tetapi juga memperkuat dukungan bagi pengelolaan masjid dan musala yang lebih profesional, transparan, dan berdampak luas bagi masyarakat sekitar,” ungkapnya.
Sementara itu Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Kemenag, Arsad Hidayat mengatakan, ada beberapa syarat untuk mendapatkan bantuan ini. Pertama, masjid atau musala terdaftar di Sistem Informasi Masjid (SIMAS) Kemenag. Kedua, memiliki rekening bank atas nama masjid atau musala, Ketiga, mengajukan proposal bantuan secara online melalui aplikasi PUSAKA atau laman https://simas.kemenag.go.id.
Kemudian pemohon juga harus melengkapi beberapa dokumen pendukung, yaitu:
- Surat rekomendasi dari Kemenag setempat (KUA Kecamatan, Kemenag kab/kota, atau Kanwil Kemenag provinsi);
- Fotokopi SK Pengurus;
- Rencana Anggaran Biaya (RAB);
- Foto kondisi bangunan;
- Fotokopi surat keterangan status tanah;
- Fotokopi buku rekening bank atas nama masjid/musala; dan
- Surat pernyataan kebenaran dokumen, bermaterai Rp10.000 yang ditandatangani ketua pengurus.
*Jadwal Pendaftaran dan Proses Seleksi*
Adapun proses pengajuan bantuan ini dilakukan dalam beberapa tahap, sebagai berikut:
- 8-19 Maret – Penerimaan permohonan bantuan secara online
- 24 Maret – Penetapan calon penerima bantuan
- 25 Maret – Proses verifikasi hingga pencairan dana (bertahap)
Untuk pengajuan bantuan ini dapat melakukannya secara daring melalui aplikasi PUSAKA yang tersedia di Google Play Store dan App Store, atau melalui laman https://simas.kemenag.go.id. Bagi pengelola masjid dan musala yang membutuhkan referensi dokumen persyaratan, contohnya dapat dilihat di: bit.ly/Contoh-Dokumen-Persyaratan.
SURAU.CO. Kementerian Agama menerbitkan aturan tentang pelaksanaan taaruf santri baru di pesantren. Aturan tersebut bertujuan menjadikan masa taaruf tidak hanya bersifat seremonial saja, tetapi juga menjadi fase penting dalam menyiapkan mental santri baru.
Menurut Direktur Pesantren Kemenag, Basnang Said awal kedatangan santri baru ke pesantren merupakan fase yang sangat krusial. Fase ini penting tidak hanya bagi santri tapi bagi keluarga santri. “Bagi santri seakan-akan memasuki dunia baru. Awalnya dunia yang penuh kasih sayang dari orang tua dan anggota keluarga menuju dunia baru dengan orang tua dan anggota keluarga yang baru. Oleh karena itu perlu ada pengaturan pelaksanaan masa taaruf santri yang dapat mengenalkan dunia pesantren yang lebih indah dari dunia santri sebelum masuk pesantren,” ungkapnya.
Sementara itu Kasubdit Pesantren Salafiyah dan Kajian Kitab Kuning Yusi Damayanti menyebut beberapa petunjuk juknis perihal aturan masa taaruf santri ini. Untuk point tentang aturan baru ini adalah sebagai berikut :
Pertama, mengenalkan lingkungan pesantren, yaitu santri baru dapat memahami lingkungan pesantren, seperti asrama, masjid, ruang kelas, dapur, dan fasilitas lainnya. Hal ini membantu mereka merasa nyaman dan tahu di mana harus beraktivitas.
Kedua, mengenalkan nila-nilai moderasi beragama, menumbuhkan budaya dan jiwa inklusif, ramah, anti kekerasan dan perundungan, anti pelecehan seksual, dan menghargai harkat-martabat kemanusiaan.
Ketiga, mengenalkan pola kebiasaan hidup bersih, sehat dan halal di lingkungan pesantren, menumbuhkan sikap disiplin dan tanggungjawab, serta mental mandiri berprestasi.
Keempat, menumbuhkan rasa bangga para mahasantri/santri baru terhadap pesantren, menanamkan pemahaman nilai-nilai pesantren, sehingga santri mencintai dan menjaga nama baik pesantrennya.
Dan kelima, memperkenalkan metode pembelajaran. Sistem pembelajaran di pesantren berbeda dengan sekolah umum. Ada sistem sorogan, bandongan, dan halaqah yang perlu dipahami santri baru. Masa ta’aruf membantu mereka menyesuaikan diri dengan metode tersebut agar lebih mudah mengikuti pelajaran.
Petunjuk ini akan menjadikan masa taaruf atau masa orientasi santri baru di pesantren memiliki peran dapat membantu santri beradaptasi dengan lingkungan baru. Sekedar Informasi hampir semua pesantren melakukan masa taaruf untuk santri barunya dengan berbagai kegiatan. Hal ini dilakukan untuk memahamkan santrinya tentang pesantren dengan berbagai kegiatan.
SURAU.CO. Durasi waktu dalam menjalankan ibadah Puasa setiap daerah berbeda-beda. Pada bulan Ramadhan tahun ini beberapa negara ada yang menjalankannya dengan durasi yang panjang. Bahkan ada yang melaksanakan puasanya hingga 16 jam.
Bagi kaum muslimin yang ada di negara-negara paling selatan di dunia, seperti Selandia Baru atau Chile durasi berpuasa umat Islam adalah sekitar 13 jam. Sedangkan umat Islam yang ada di negara-negara paling utara, seperti Islandia atau Greenland durasi berpuasa selama 16 jam atau lebih. Hal itu tergantung hari-hari panjang mereka.
Namun tahun ini umat Islam yang berada di belahan Bumi Utara durasi puasanya lebih pendek. Kondisi ini akan terus berkurang hingga tahun 2031. Hal ini karena bulan Ramadan akan mencakup titik balik matahari musim dingin yaitu hari terpendek dalam setahun. Setelah itu, jam puasa akan meningkat di Belahan Bumi Utara hingga titik balik matahari musim panas dimana menjadi hari terpanjang dalam setahun. Namun untuk kaum muslimin bagian selatan khatulistiwa yang terjadi adalah sebaliknya.
Negara yang mempunyai durasi puasa terpanjang di dunia tahun ini adalah Greenland. Menjalankan puasa di negara tersebut akan berlangsung selama 17 jam 52 menit. Kemudian negara-negara Skandinavia menjalankan durasi puasa juga sangat panjang. Di kota Helsinki, Finlandia, umat Muslim berpuasa selama 17 jam 9 menit. Sedangkan kaum muslimin kota Oslo, Norwegia akan berpuasa selama 16 jam 54 menit. Sementara wilayah Eropa Barat, durasi puasa menjadi sedikit lebih pendek dibanding negara-negara Skandinavia.
Kota Madrid, Spanyol, durasi berpuasa mencapai 16 jam. Sedangkan kota Paris, Prancis selama 15 jam. Untuk kota London, Inggris, durasi puasanya sekitar 14 jam 55 menit. Mengutip Al Jazeera, Rabu (5/3) berikut durasi berpuasa dari berbagai kota di sejumlah negara :
Nuuk, Greenland: 16 jam
Reykjavik, Islandia: 16 jam
Helsinki, Finlandia: 15 jam
Oslo, Norwegia: 15 jam
Stockholm, Swedia: 15 jam
Glasgow, Skotlandia: 15 jam
Berlin, Jerman: 14 jam
Dublin, Irlandia: 14 jam
Moskow, Rusia: 14 jam
Amsterdam, Belanda: 14 jam
Warsawa, Polandia: 14 jam
Astana, Kazakhstan: 14 jam
namun ada juga negara - negara yang durasinya pendek. Negara-negara tersebut adalah negara terletak lebih dekat dengan garis khatulistiwa. Indonesia merupakan salah satu negara dengan durasi puasa terpendek, sekitar 13 jam.
Berikut daftar negara dengan durasi puasa terpendek :
1. Christchurch, Selandia Baru - 12 jam
2. Puerto Montt, Chili - 12 jam
3. Buenos Aires, Argentina - 12 jam
4. Jakarta, Indonesia - 13 hours
5. Nairobi, Kenya - 13 jam
6. Karachi, Pakistan - 13 hingga 14 jam
7. New Delhi, India - 13 hingga 14 jam
SURAU.CO. Muadz bin Jabal adalah salah satu Sahabat Rasulullah yang istimewa. Ia masih muda, namun memiliki kecerdasan yang menonjol. Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk mengajarkan agama.
Saat akan berangkat, Rasulullah mengantarkannya dengan berjalan kaki, sementara Muadz menunggang kendaraan. Dalam perjalanan itu, Rasulullah berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku mencintaimu.”
Dalam sebuah riwayat seorang perawi hadis, Abu Idris al-Kahulani, pernah menceritakan pengalamannya melihat sosok Muadz. Ketika memasuki masjid Damaskus, ia melihat seorang pemuda berkulit putih dengan wajah berseri, gigi berkilau, dan mata tajam. Banyak orang mengelilinginya, meminta penjelasan saat berselisih pendapat. Ketika Abu Idris bertanya, “Siapa pemuda itu?” orang-orang menjawab, “Itu muadz bin jabal.”
Nama lengkapnya adalah Muadz bin Jabal bin Amr bin Aus al-Khazraji. Ia termasuk generasi pertama yang memeluk Islam (as-Sabiqun al-Awwalun) dan berbaiat kepada Rasulullah sejak awal. Muadz terkenal sebagai cendekiawan dengan pemahaman mendalam tentang fiqih. Rasulullah bahkan memujinya sebagai sahabat yang paling paham tentang halal dan haram. Ia juga menjadi duta besar Islam pertama yang diutus Rasulullah. Selain itu, Muadz dipercaya memberikan fatwa di masa Rasulullah, bersama sahabat seperti Umar bin Khattab, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abu Thalib, dan Usman bin Affan. Ia dijuluki “Abu Abdurrahman.”
Muadz lahir di Madinah dan memeluk Islam pada usia 18 tahun. Ia memiliki fisik yang gagah, kulit putih, tubuh tinggi, rambut pendek ikal, serta gigi putih bersinar. Ia termasuk dalam kelompok 72 orang dari Madinah yang berbaiat kepada Rasulullah. Setelah itu, ia kembali ke Madinah sebagai pendakwah, berhasil mengislamkan tokoh seperti Amru bin al-Jamuh. Rasulullah mempersaudarakannya dengan Ja’far bin Abi Thalib.
Dalam riwayat lain, Rasulullah juga berkata, “Wahai Muadz, bisa jadi setelah dua tahun ini kamu tidak akan bertemu lagi denganku. Mungkin kelak kamu akan melewati masjidku dan kuburanku.” Mendengar ucapan tersebut, Muadz menangis tersedu karena kesedihan. Dan ternyata benar, ia tak lagi bertemu Rasulullah. Ketika Nabi wafat, Muadz masih berada di Yaman menjalankan tugasnya.
Muadz bin Jabal terkenal sebagai sahabat yang cerdas dan berilmu tinggi. Ia adalah ahli fiqih, mujtahid, mujahid, sekaligus mufti. Sahabat Umar bin Khattab pernah berkata, “Seandainya Muadz tidak ada, aku bisa binasa,” menunjukkan betapa besar peran keilmuan Muadz. Seperti Umar, Muadz juga dikenal menjunjung tinggi akal dan berani berijtihad.
Dalam sebuah percakapan, Rasulullah bertanya, “Wahai Muadz, dengan apa kamu menyelesaikan persoalan agama?” Muadz menjawab, “Aku akan merujuk pada Kitab Allah.” Rasulullah melanjutkan, “Jika tidak menemukan jawaban di Kitab Allah?” Muadz menjawab, “Aku akan mencarinya di Sunnah Rasulullah.” Ketika ditanya lagi, “Bagaimana jika tidak ada di Sunnah?” Muadz menegaskan, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku sendiri.” Rasulullah tersenyum cerah dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasul-Nya.”
Muadz wafat pada tahun 18 Hijriah di usia 33 tahun, saat wabah besar melanda Urdun. Saat itu, ia sedang mengajar sebagai utusan Khalifah Umar bin Khattab. Makamnya menjadi saksi perjuangan seorang sahabat yang dicintai Rasulullah.
SURAU.CO. Ramadhan tahun ini Badan amil Zakat Nasional (Baznas) RI menyasar 1,1 juta mustahik di seluruh Indonesia. Pada tahun ini fokus kegiatan Ramadhan tahun ini berfokus pada perbaikan fasilitas dan pelayanan peribadatan. Selain itu juga bantuan bagi mustahik agar siap menjalankan ibadah puasa melalui akses makanan dan pembekalan dan layanan bagi musafir yang ingin mudik
Pimpinan baznas RI Bidang Pendistribusian dan Pendayagunaan Saidah Sakwan menyebut pihaknya telah menyiapkan sebanyak 30 program pada Ramadhan 2025/1446 Hijriah ini. Dengan berbagai program ini, Baznas berharap dapat memberikan dampak luas bagi masyarakat. Selain itu Saidah juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk turut serta menyukseskan berbagai program Ramadhan ini. "Kami ingin memastikan bahwa zakat yang dititipkan kepada Baznas bisa sampai ke yang berhak dan memberikan manfaat sebesar-besarnya," ujarnya.
Dalam keterangan persnya, Saidah menyebut pada kategori Program Nasional Ramadhan, Baznas menghadirkan beberapa inisiatif program. Diantara program tersebut adalah Pos Siaga Mudik, BTB Goes to School Ramadhan, Training Smart Ramadhan. Selain itu juga ada Imam Muda Ramadhan, Pesantren 5.000 Kaum Marjinal, Pesantren 1.000 Cahaya Ramadhan, Penyaluran 50.000 Sarung, dan Vaksinasi Jelang Ramadhan.
Sedangkan pada Program Tematik Pendistribusian Ramadhan, lanjut Saidah akan menyalurkan berbagai bantuan seperti Zakat Fitrah, Hidangan Ramadhan. Kemudian ada Paket Ramadhan Bahagia, Rumah Layak Huni Baznas. Selain itu juga ada Mudik Bahagia Bersama Baznas RI, Masjid dan Mushola Berseri, Gerai Z-Ifthar, dan Zmart Ramadhan. "Selain itu ada juga Gerakan Mata Sehat Bercahaya, Layanan Kesehatan Posko Mudik dan Balik, serta Ramadhan Sehat Bercahaya," tambahnya.
Dalam kategori Program Tematik Pendayagunaan Ramadhan, Saidah menambahkan pihaknya akan melaksanakan berbagai inisiatif untuk memberdayakan masyarakat secara ekonomi. Program ini mencakup Pelatihan dan Inkubasi Pemasaran Berbasis Digital, juga Optimalisasi Pemasaran ZCorner melalui Event Tematik Ramadhan.
"Tidak hanya itu, ada juga program Hampers Produk Mustahik, Santri Memberdayakan Desa, Advokasi dan Fasilitasi Bazar Event Eksternal, serta Sertifikasi Halal untuk Produk UMKM Selama Ramadhan," ujarnya.