Surau.co – Di Andalusia, tepatnya di kota Cordoba, lahirlah seorang filosof Islam terkenal bernama Ibnu Rusyd. Saat itu Andalusia (Spanyol) merupakan salah satu pusat peradaban Islam yang maju, cemerlang dan melahirkan banyak ilmuwan Islam besar seperti Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail.
Di sisi lain, Eropa (baca: masyarakat Kristen Eropa) masih dalam masa kegelapannya, jahil dan terjebak dalam hegemoni kekuasaan gereja (dark century), sehingga kita dapat melihat dalam konteks sejarah bahwa dengan munculnya peradaban Islam di Andalusia, menjadi jembatan bagi Eropa untuk mengenal dan mempelajari ilmu-ilmu, khususnya filsafat. Dengan demikian, dunia Muslim telah memberikan kontribusi besar bagi kemajuan Eropa.
Riwayat Hidup Ibnu Rusyd dan Pendidikannya
Ibnu Rusyd memiliki nama lengkap, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan di Cordoba, sebuah kota di Andalus, tepatnya pada tahun 510 H/126 M, dunia lebih mengenalnya dengan sebutan Ibnu Rusyd, dan orang-orang barat menyebutnya dengan sebuah nama Averrois.
Sebutan ini sebenarnya di ambil dari nama kakeknya yang merupakan keturunan dari keluarga yang alim dan terhormat, bahkan terkenal dengan keluarga yang memiliki banyak keilmuan. Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada tahun 565 H/1169 M diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordoba.
Dalam buku karangan Nurcholis Madjid, dijelaskan tentang penamaan Ibnu Rusyd, bahwa penyebutan Averrios untuk Ibnu Rusyd adalah akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol- Latin. Oleh orang Yahudi, kata Arab Ibnu diucapkan seperti kata Ibrani 9 bahasa Yahudi dengan Aben.
Begitu juga karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, sebagaimana penelitian Syarif M.M. History of Muslim Philosophy, 1963, bahwa pada tahun 1173 M, Ibnu Rusyd dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordoba.
Sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd. Akan tetapi, dalam bahasa Spanyol huruf konsonan ”b” diubah menjadi ”v”, maka Aben menjadi Aven Rochd.
Melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dalam bahasa Arab disebut Idgham kemudian berubah menjadi Averrochd, karena dalam bahasa Latin tidak ada huruf ”sy”, huruf ”sy” dan d dianggap dengan ”s” sehingga menjadi Averriosd.
Kemudian, rentetan ”s” dan ”d” dianggap sulit dalam bahasa Latin, maka huruf ”d” dihilangkan sehingga menjadi Averros. Agar tidak terjadi kekacauan antara huruf ”s” dengan ”s” posesif maka antara ”o” dan ”s” diberi sisipan ”e” sehingga Averroes, dan ”e” sering mendapat tekanan sehingga menjadi Averrois.
Ibnu Rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Hal ini terbukti, Ibnu Rusyd merevisi bersama kitab Al-Muwaththa Imam Malik yang pernah dipelajarinya bersama ayahnya Abu Al-Qasim dan yang dihafalkannya.
Ia juga belajar matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat dan kedokteran. Guru-gurunya dalam ilmu-ilmu ini tidak banyak dikenal, tetapi secara umum Cordoba dikenal sebagai pusat studi filosofis. Sevilla terkenal dengan kegiatan artistiknya. Cordoba kemudian menjadi saingan Damaskus, Bagdad, Kairo dan kota-kota besar lainnya di negara-negara Muslim di Timur
Berasal dari garis keturunan terhormat dan keluarga ulama, terutama ahli hukum, memasuki usinya yang mulai dewasa, Ibnu Rusyd pertama kali memperoleh jabatan hakim pada tahun 565H/1169 M, di Seville.
Kemudian ia kembali ke Kordoba, sepuluh tahun di sana ia diangkat menjadi qhadi, setelah itu ia juga menjadi dokter Istana di Kordoba, dan sebagai seorang filosof dan ahli hukum ia memiliki pengaruh yang besar di kalangan istana, khususnya di masa Sultan Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur (118-99 M).
Namun demikian, karena pengaruhnya di istana yang luar biasa itu, akhirnya membuat Ibnu Rusyd dibenci oleh para ulama dan fuqaha. Ketika pecah perang antara Sultan Abu Yusuf dan orang-orang Kristen, Sultan kemudian lebih mendengarkan kata-kata para ulama dan para fuqaha.
Kemudian situasi berubah, Ibnu Rusyd digulingkan oleh para ulama dan ahli hukum. Dia dituduh membawa aliran filsafat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan Ibn Rusyd akhirnya ditangkap dan diasingkan ke sebuah tempat bernama Lucena di wilayah Cordoba.
Akibat hal itu, akhirnya para filosof menjadi tidak disukai oleh sultan, kemudian muncul pengaruh para ulama dan fuqaha. Ibnu Rusyd sendiri kemudian dipindahkan ke Maroko dan meninggal di sana pada usianya yang ke-72 tahun, tepatnya pada tahun 1198 M.
Pemikiran Ibnu Rusyd
Sebagai komentator Aristoteles, tidak mengherankan jika pemikiran Ibn Rusyd banyak dipengaruhi oleh para filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya membuat syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles dan mencoba mengembalikan pemikiran Aristoteles ke bentuk aslinya.
Di Eropa Latin, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Penafsir (asy-Syarih) atau penafsir Aristoteles. Sebagai seorang penerjemah, martabatnya tidak kalah dengan Alexander dari Aphrodisias (filsuf yang menafsirkan filsafat Aristoteles pada abad ke-2) dan Thamestius.
Dalam beberapa hal, Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan para filosof Islam terdahulu, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles, meskipun dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak dapat memisahkan pendapat dua filosof Islam tersebut.
Menurutnya, pemikiran Aristoteles bercampur dengan unsur-unsur Platonisme yang dibawa oleh para komentator Aleksandria. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dianggap telah memberikan kontribusi yang besar bagi kesempurnaan filsafat Aristoteles. Hal itu juga didorong oleh saran guru Ibnu Thufail, yang memintanya menerjemahkan pemikiran Aristoteles pada masa pemerintahan Muwahhidun tahun 557-559 H.7
Akan tetapi, meskipun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles, bukan berarti dalam filsafatnya ia selalu mengikuti dan meniru filsafat Aristoteles.
Ibn Rusyd juga memiliki pendapatnya sendiri tentang topik-topik filosofis, yang membuatnya menjadi seorang filosof Islam yang besar dan terkenal dari zaman klasik hingga saat ini.
Baca Juga: Biografi Ibnu Batutah 1304-1369 M, Si-Petualang Keilmuan Selama Kurun Waktu 30 Tahun
1. Pemikiran Epistemologi Ibn Rusyd
Dalam bukunya Fash al Maqal, ibn Rusyd berpendapat bahwa studi filsafat dapat dianggap wajib. Hal itu berangkat dar argumentasinya bahwa filsafat itu seperti studi tentang hal-hal yang ada, maka manusia mencoba untuk mengambil pelajaran atau kebijaksanaan atau ibrah darinya, sebagai sarana untuk membuktikan keberadaan Tuhan, Sang Pencipta.
Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang keberadaan atau ciptaan Tuhan, maka semakin dekat seseorang untuk memahami keberadaan Tuhan. Bahkan, dalam banyak ayat-Nya, Allah menganjurkan manusia untuk selalu menggunakan kemampuan nalarnya dalam merenungkan ciptaan-Nya.
Jika kemudian seseorang dalam pikirannya tidak lagi memiliki dasar-dasar syariat atau semakin jauh dari syariat kemungkinan orang tersebut berada pada beberapa hal berikut; Pertama, ia tidak mampu atau tidak cukup memadai untuk masuk ke dalam dunia filsafat.
Kedua, ketidakmampuannya untuk mengendalikan diri dan malah terseret ke dalam hal-hal yang dilarang oleh agama. Dan ketiga, kurangnya mentor atau guru tepercaya yang dapat membimbingnya dalam pemahaman yang benar tentang beberapa objek pemikiran.
Oleh karena itu, mustahil seorang filosof berubah menjadi mujtahid, tidak percaya akan adanya Tuhan atau meragukan keberadaan Tuhan, bahkan ketika seseorang berada dalam keadaan seperti itu pasti pernah mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau ada kombinasi 2 atau 3 faktor dalam dirinya.
Karena kapasitas manusia untuk menerima kebenaran dan tindakan mencari ilmu berbeda. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa ada 3 cara bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan, yaitu:
- Lewat metode al- Khatabiyyah (Retorika)
- lewat metode al-Jadaliyyah (dialektika)
- Lewat metode al-Burhaniyyah (demonstratif)
Pertama, metode Khatabi digunakan oleh orang-orang yang tidak termasuk ahli takwil, yaitu para pemikir retorika yang membentuk mayoritas umat.
Karena tidak ada yang memiliki akal sehat kecuali kelompok orang yang memiliki kriteria pembuktian (khatabi) semacam ini. Kedua, metode Jadali digunakan oleh orang-orang yang ahli dalam dialektika ta’wil. Mereka memiliki kemampuan alami atau tradisional untuk berpikir secara dialektis.
Ketiga, metode Burhani digunakan oleh mereka yang berpengalaman dalam praktik ta’wil yaqini. Mereka memiliki kemampuan alami dari latihannya, yaitu praktik filsafat, sehingga mereka bisa berpikir jernih.
Ta’wil yang dibuat menurut metode Burhani sangat tidak cocok untuk mengajarkan atau mempopulerkan kepada orang-orang dengan pemikiran dialektis, terutama mereka yang berpikir secara flamboyan. Karena jika metode ta’wil Burhani diberikan kepada mereka, justru bisa menimbulkan sikap skeptis.
Alasannya, tujuan ta’wil tidak lain untuk meniadakan pemahaman lahiriah dan membangun pemahaman tafsir batiniah atau ilahiyat.
Salah satu pendekatan, menurut Ibnu Rusyd, yang dapat mendamaikan bunyi literal teks transendental dengan pemikiran rasional-spekulatif manusia adalah aktivitas Ta’wil. Dapat dikatakan bahwa metode ta’wil merupakan isu sentral dari kitabnya, karena dalam Al-Qur’an sekalipun terkadang hanya berkutat tentang objek pengetahuan.
Kemudian ulama melakukan Qiyas (syar’iy) untuk menjelaskan kedudukan objek pemikiran sebagai maksut tersebut. Begitu juga dengan nalar Burhani, yang merupakan metode ta’wil atau qiyas dalam membahas persoalan-persoalan eksistensial yang tidak disinggung oleh Al-Qur’an.
Qiyas burhani digunakan ketika ada kontradiksi antara ide Al-Qur’an dan konsep spekulatif rasional pemikiran manusia. Ibn Rusyd berpendapat bahwa teks Syar’i memiliki makna yang terbatas. Oleh karena itu, jika ada ta’arudl dengan qiyas burhani, maka ta’wil harus dilakukan terhadap makna eksternal teks.
Ta’wil sendiri diartikan sebagai: makna yang diturunkan dari makna lafaz bergerak dari konotasi esensial (nyata) ke konotasi majazi (metaforis) dengan cara yang tidak melanggar tradisi Arab dalam membuat majaz. Misalnya, merujuk pada “sesuatu” dengan judul “beberapa lainnya” karena kesamaan, sebab-akibat, perbandingan, atau faktor lain dapat diterapkan pada objek aslinya.
2. Metafisika
Dalam hal ketuhanan, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa Allah adalah kekuatan pendorong utama (muharrik al-awwal). Sifat-sifat positif yang dapat diberikan kepada Allah adalah “Kebijaksanaan” dan “Maqqul”. Dia adalah bentuk Allah, Satu-Nya. Wujud dan Kesatuan tidak berbeda dengan esensi-Nya.
Konsepsi ketuhanan Ibn Rusyd jelas dipengaruhi oleh Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi dan Ibn Sina, di samping keyakinan agama Islamnya.
Ketentuan Tuhan “Satu” adalah doktrin Islam, tetapi penyebutan Tuhan sebagai Pemrakarsa, tidak pernah ditemukan dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya ditemui dalam filsafat Aristoteles dan Plotinus. , Al-Farabi dan Ibnu Sina.
Dalam membuktikan adanya Tuhan, kelompok Hasywiyah, Shufiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan falasifah masing-masing memiliki keyakinan yang berbeda dan menggunakan ta’wil untuk menafsirkan perkataan Syar’i sesuai dengan dalilnya. melawan Tuhan, Ibn Rusyd menjelaskan argumen-argumen persuasif ini:
a. Dalil wujud Allah.
Untuk membuktikan keberadaan Allah, Ibnu Rusyd menyanggah dalil-dalil yang telah dikemukakan sebelumnya oleh sebagian kalangan karena tidak sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh syariat, baik dalam berbagai ayatnya.
Maka Ibnu Rusyd membuat tiga dalil yang ia anggap sesuai dengan Al-Qur’an dalam berbagai aspek kehidupan umat, dan tidak hanya untuk orang biasa, tetapi mereka yang berpendidikan khusus sekalipun.
b. Dalil ‘inayah al-Ilahiyah (pemeliharan Tuhan).
Usulan ini didasarkan pada finalitas semua yang menyangkut manusia. Artinya segala sesuatu yang ada dilakukan demi eksistensi manusia. Pertama-tama, segala sesuatu yang ada tunduk pada sifat manusia. Dan kedua, kecocokan ini bukan karena kebetulan, tetapi sebenarnya diciptakan seperti itu oleh ciptaan yang bijaksana.
c. Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan)
Usulan ini didasarkan pada fenomena yang menciptakan semua organisme ini, seperti penciptaan makhluk hidup yang tidak bernyawa dan berbagai jenis hewan, tumbuhan, dll. Menurut Ibn Rusyd, kami mengamati benda mati dan kemudian kehidupan muncul di dalamnya, jadi kami percaya pada keberadaan Tuhan yang menciptakannya.
Demikian pula, berbagai bintang dan bola langit di langit sepenuhnya tunduk pada peraturannya. Oleh karena itu, barangsiapa ingin mengenal Tuhan dengan benar, ia harus mengetahui sifat segala sesuatu di dunia ini untuk mengetahui ciptaan yang benar dalam semua realitas ini.
d. Dalil Harkah (Gerak)
Postulat ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd melihatnya sebagai proposisi yang meyakinkan tentang keberadaan Tuhan seperti yang sebelumnya digunakan oleh Aristoteles. Proposisi ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam keadaan, tetapi selalu berubah.
Dan semua jenis gerak akhirnya bergerak di ruang angkasa, dan gerak di ruang angkasa akhirnya bergerak dengan sendirinya karena mesin pertama benar-benar tidak bergerak, baik menurut sifatnya maupun sifatnya. Namun, Ibn Rusyd juga menyimpulkan bahwa Aristoteles menganggap gerakan itu kuno.
e. Sifat-sifat Allah.
Adapun pemikiran Ibnu Rusyd tentang sifat-sifat Tuhan didasarkan pada perbedaan antara yang gaib dan yang nyata. Untuk mengetahui sifat-sifat Allah, Ibnu Rusyd mengatakan, seseorang harus menggunakan dua metode: tasbih dan tanzih (menyeimbangkan dan mensucikan). Berangkat dari kebutuhan untuk membedakan antara Tuhan dan manusia, tidak masuk akal untuk membandingkan kedua hal tersebut.
Karya-karyanya
Sebagai seorang filsuf Muslim di bagian Barat, Ibnu Rusyd juga telah membuat sebuah karya dalam tulisannya. Karya-karya Ibnu Rusyd benar-benar memuat sudut pandang ke arah filsafat. Di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut :
- Tahafut at-Tahafut
Kitab ini berupaya menjabarkan dengan menyanggah butir demi butir keberatan terhadap al-Ghazali. Tahafut at-Tahafut lebih luwes daripada fashl dalam menegaskan keunggulan agama yang didasarkan pada wahyu atas akal yang dikaitkan dengan agama yang murni rasional. Akan tetapi, Tahafut at-Tahafut juga setia kepada Fashl, melalui pandangan terhadap diri Nabi yang mempunyai akl aktif untuk melihat gambaran-gambaran secara rasional. Seperti halnya juga para filsuf, dan yang mengubah gambaran-gambaran tersebut dengan mengubah imajinasi menjadi simbol-simbol yang sesuai kebutuhan orang awam. Dengan demikian, rasioanlisme religius Ibnu Rusyd bukan sekedar reduksionisme, seperti halnya paham Al-Muwahhidun, ini merupakan keyakinan pada kemungkinan untuk membangun kemabli rantai penalaran secara aposteriori.5
- Fash al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al- Ittishal (Kitab ini berisikan tentang hubungan antara filsafat dengan agama)
- Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi ’Aqa’id al-Millat, (berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi)
- Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (berisikan uraian- uraian di bidang fiqih).
Dari sekian karya tersebut semakin menguatkan bahwa Ibnu Rusyd adalah seorang dilosof muslim yang berhasil menjadikan filsafat sebagai jalan menuju Sang Maha Khliq, dan juga berbagai konsep kehidupan manusia dalam melakukan aktifitas hidup sehari-hari.
Oleh karena itu perlu kiranya kisah Ibnu Rusyd ini menjadi inspirasi bagi kita semua, wallahua’lam!