Thufail bin Amr ad-Dausy, Lentera Suku Daus yang Syahid dalam Perang Yamamah

Thufail bin Amr ad-Dausy, Lentera Suku Daus yang Syahid dalam Perang Yamamah - Surau.co
Ilustrasi: Republika

Surau.co – Thufail bin Amr Ad-Dausy adalah kepala kabilah Daus pada masa jahiliyah. Ia termasuk bangsawan Arab yang terpandang, seorang pemimpin yang memiliki kharisma serta kewibawaan yang tinggi dan diperhitungkan orang.

Periuknya tidak pernah turun dari tungku. Pintu rumahnya tidak pernah tertutup bagi orang-orang yang bertamu, melindungi orang yang sedang ketakutan dan membantu setiap penganggur.

Di samping itu, dia pujangga yang pintar dan cerdas, penyair yang tajam dan berperasaan halus. Selalu tanggap terhadap kenyataan-kenyataan yang manis dan yang pahit. Karya-karyanya mempesona bagaikan sihir.

Thufail Pemuda yang Cerdas

Pada suatu ketika, Thufail meninggalkan negerinya, Tihamah. Sebuah negeri yang berada di dataran rendah sepanjang laut merah menuju Makkah. Waktu itu pertentangan antara Rasulullah SAW dengan kafir Quraisy semakin nyata. Orang-orang Quraisy semakin hari semakin mempertentangkan dakwah Rasulullah SAW bahkan seringkali berbuat jahat terhadap para kaum muslimin.

Untuk itu, senjata Rasulullah SAW hanya berdoa kepada Tuhannya, disertai iman dan kebenaran yang dibawanya. Sedangkan kaum kafir Quraisy menegakkan impian mereka dengan kekuatan senjata, dan dengan segala macam cara untuk menghalangi orang banyak menjadi pengikut Rasulullah SAW.

Thufail terlibat dalam kemelut ini tanpa disengaja, karena kedatangannya ke Makkah itu bukan untuk melibatkan diri. Bahkan pertentangan antara Rasulullah SAW dengan kaum Quraisy belum pernah terlintas dalam pikirannya sebelum itu.

Kedatangannya ke Makkah disambut dengan hangat. Ia ditempatkan di sebuah rumah istimewa. Kemudian para pemimpin dan pembesar Quraisy berdatangan menemuinya. ”Hai Thufail, kami sangat gembira anda datang ke negeri kami, walaupun negeri kami sedang dilanda kemelut.”

“Orang yang mendakwahkan diri menjadi nabi itu (Nabi Muhammad SAW) telah merusak agama kita, merusak kerukunan kita, dan memecah belah persatuan kita semua. Kami khawatir dia akan memengaruhi anda pula. Kemudian dengan kepemimpinan anda, dipengaruhinya pula kaum anda, seperti yang terjadi pada kami.”

“Karena itu, janganlah anda dekati orang itu. Jangan berbicara dengannya dan jangan pula mendengarkan kata-katanya. Sebab kalau dia berbicara, kata-katanya bagaikan sihir. Perkataannya dapat memisahkan anak dengan bapak, merenggangkan saudara sesama saudara dan menceraikan istri dengan suami.”

Mereka, para kaum Quraisy terus menceritakan hal yang aneh-aneh kepada Thufail. Mereka menakut-nakutinya dengan keanehan-keanehan yang pernah dilakukan Rasulullah SAW. Thufail dilarang bicara bahkan mendengar ucapan Rasulullah SAW dan kaum muslimin sedikit pun.

Orang-orang Quraisy begitu gencar mengingatkannya sehingga ia menetapkan diri untuk tidak menemui Rasulullah SAW. Tetapi ternyata takdir menentukan nasibnya.

Suatu hari Thufail pergi ke Ka’bah, dan pada saat yang sama, Rasulullah SAW sedang berada di sana. Tanpa sengaja ia mendengarkan kata-kata Rasulullah SAW dan itu amat berkesan di hatinya.

Hati kecilnya terusik, “Bagaimanapun aku seorang cendekiawan dan penyair, aku dapat mengenal mana yang baik dan mana pula yang buruk. Apa salahnya kalau aku mendengarkan sendiri apa yang akan dikatakan orang itu! Jika ternyata baik akan kuterima, kalau buruk akan kutinggalkan.”

Thufail pun mengikuti Rasulullah SAW sampai ke rumah beliau dan bertamu, kemudian menceritakan tentang apa yang dikatakan kaum Quraisy kepadanya dan apa yang terlintas dalam hatinya itu. Rasulullah SAW memaklumi sikap orang-orang Quraisy tersebut, dan menjelaskan tentang risalah Islam kepadanya. Lalu Rasulullah SAA juga membacakan beberapa ayat-ayat al Quran. Akal sehatnya tidak bisa lagi tertutup dari kebenaran, Thufail langsung memeluk Islam saat itu juga.

Perjuangan Ayah dan Anaknya dalam Mendakwahkan Islam

Thufail adalah seorang tokoh yang ditaati oleh kaumnya, Bani Daus, ia meminta ijin Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendakwahkan Islam kepada kaumnya, dan beliau menyetujuinya. Ia juga meminta Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya agar Allah subhaanahu wa ta’ala memberikan suatu tanda sebagai penolong dalam usaha dakwahnya, dan beliau juga mendoakannya.

Thufail bin Amr Ad-Dausy senantiasa mendampingi Rasulullah SAW sampai beliau wafat. Ketika Abu Bakar ash Shidiq menjadi khalifah, Thufail dan anak buahnya patuh kepada pemerintahan Khalifah Abu Bakar.

Tatkala berkecamuk peperangan membasmi orang-orang murtad, Thufail paling dahulu pergi berperang bersama-sama tentara muslim memerangi Musailamah Al-Kazzab (Musailamah si Pembohong).

Begitu pula putranya, Amr bin Thufail, yang selalu saja tak mau ketinggalan. Ketika Thufail dalam perjalanan menuju ke Yamamah (kawasan tempat Musailamah menyebarkan pahamnya yang murtad), ia bermimpi.

“Aku bermimpi. Cobalah kalian takbirkan mimpiku ini,” kata Thufail kepada sahabat-sahabatnya.

“Bagaimana mimpi anda?” tanya kawan-kawannya.

“Aku bermimpi kepalaku dicukur. Seekor burung keluar dari mulutku, kemudian seorang perempuan memasukkanku ke dalam perutnya. Anakku, Amr, menuntut dengan sungguh-sungguh supaya dibolehkan ikut bersamaku. Tetapi dia tak dapat berbuat apa-apa karena antara aku dan dia ada dinding.”

“Sebuah mimpi nan indah!” komentar kawan-kawannya tanpa memberikan penafsiran sedikit pun.

Akhirnya, Thufail sendiri yang menabirkan, “Sekarang, baiklah aku tabirkan sendiri. Kepalaku dicukur, artinya kepalaku dipotong orang. Burung keluar dari mulutku, artinya nyawaku dari jasadku. Seorang perempuan memasukkanku ke dalam perutnya, artinya tanah digali orang, lalu aku dikuburkan. Aku berharap semoga aku tewas sebagai syahid. Adapun tuntutan anakku, dia juga berharap supaya mati syahid seperti aku. Tetapi permintaannya dikabulkan kemudian.”

Dalam pertempuran memerangi pasukan Musailamah di Yamamah, Thufail bin Amr Ad-Dausy mendapat cidera sehingga dia terbanting dan tewas di medan tempur. Putranya, Amr, meneruskan peperangan hingga tangan kanannya putus. Setelah itu, dia kembali ke Madinah meninggalkan tangannya sebelah dan jenazah bapaknya di medan tempur Yamamah.

Tatkalah Khalifah Umar bin Khathab memerintah, Amr bin Thufail (putra Thufail) pernah datang ke majlis Khalifah. Ketika dia sedang berada dalam majelis, makanan pun dihidangkan orang. Orang-orang yang duduk dalam majelis mengajak Amr supaya turut makan bersama-sama. Tetapi Amr menolak dan menjauh.

“Mengapa?” tanya Khalifah. “Barangkali engkau lebih senang makan belakangan, karena malu dengan tanganmu itu.”

“Betul, ya Amirul Mukminin!” jawab Amr.

Kata Khalifah, “Demi Allah! Aku tidak akan memakan makanan ini, sebelum ia kau sentuh dengan tanganmu yang buntung itu. Demi Allah! Tidak seorang pun jua yang sebagian tubuhnya telah berada di surga, melainkan hanya engkau.”

Mimpi Thufail menjadi kenyataan semuanya. Tatkala terjadi Perang Yarmuk, Amr bin Thufail turut pula berperang bersama-sama dengan tentara muslimin. Amr gugur dalam peperangan itu sebagai syuhada, seperti yang diharapkan bapaknya.

Baca juga: Thalhah bin Ubaidillah, Perisai Rasulullah