Suhail, Orator Ulung Kafir Quraisy yang Masuk Islam Setelah Fathu Makkah

Suhail, Orator Ulung Kafir Quraisy yang Masuk Islam Setelah Fathu Makkah - Surau.co
Ilustrasi: iluvislam

Surau.co – Suhail bin ‘Amr merupakan pembesar Quraisy. Di awal kenabian, ia termasuk orang yang menentang dakwah Rasulullah SAW dengan sangat keras. Ia memiliki kemampuan berorasi yang sangat baik. Imam Ibnu ‘Asakir menyebutnya “ahad khutuba’ Quraisy” yang berarti salah satu orator ulung Quraisy. (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarikh Madinah Dimasyq, Beirut: Dar al Fikr, 2001, juz 73, h. 41).

Sosok pemuda ini pernah menjadi tawanan kaum muslimin dalam Perang Badar. Bahkan Umar bin Khathab, saking kesalnya dengannya, pernah mendekati Rasulullah SAW untuk membujuk beliau, “Wahai Rasulullah, biarkan saya cabut dua buah gigi depan Suhail bin Amr ini, biar ia tidak bisa berpidato menjelek-jelekkan anda lagi!”

Rasulullah SAW menjawab, “Jangan, wahai Umar! Aku tidak mau merusak tubuh seseorang, karena nanti Allah akan merusak tubuhku walaupun aku seorang Nabi!”

Kemudian Rasulullah menarik Umar bin Khattab untuk mendekat, lalu bersabda, “Hai Umar, mudah-mudahan esok, pendirian Suhail akan berubah seperti yang kamu sukai!”

Suhail dibebaskan karena tebusan, tapi selama berada di Madinah, ia diperlakukan dengan baik sebagai seorang tahanan. Suhail pun melihat kehidupan umat Islam dari dekat. Ia mengagumi pengabdian, ketulusan, dan perilaku hidup mereka, tetapi hatinya masih enggan menerima Islam.

Suhail & Suku Quraisy Menghalangi Perjalanan Rasulullah

Suatu ketika, di akhir tahun keenam hijrah, Rasulullah SAW bersama para sahabatnya pergi ke Makkah dengan tujuan berziarah ke Baitullah dan melakukan umrah. Keberangkatan Rasulullah SAW ini bukanlah bermaksud hendak berperang, jadi perjalanannya tanpa mengadakan persiapan untuk peperangan dan tidak membawa senjata.

Keberangkatan rombongan Rasulullah SAW tersebut, diketahui oleh Quraisy, hingga mereka pergi menghadang. Mereka bermaksud menghalangi kaum muslimin berangkat ke kota Makkah. Suasana pun menjadi tegang dan hati kaum Muslimin menjadi berdebar-debar.

Rasulullah berkata kepada sahabatnya, “Jika pada waktu ini Quraisy mengajak kita untuk berdamai, tentu akan kukabulkan!” Maka, setiap utusan Quraisy kepada Nabi SAW dijelaskanlah kepada mereka bahwa kedatangannya bukanlah untuk berperang. Kedatangan kaum muslimin semata-mata untuk mengunjungi Baitullah Al-Haram dan menjunjung tinggi upacara-upacara kebesarannya.

Quraisy terus mengirim utusan, dan utusan-utusan itu datang bergantian.  Maka, sampailah pada giliran seorang utusan yang dianggap lebih bijak dan lebih disegani, yakni Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi. Urwah dianggap seorang yang lebih tepat untuk diserahi tugas seperti ini. Menurut anggapan Quraisy, ia akan mampu meyakinkan Rasulullah SAW untuk kembali pulang ke Madinah.

Namun tak lama kemudian, Urwah kembali kepada kaumnya, seraya berkata, “Wahai rekan-rekanku kaum Quraisy, saya sudah pernah mendatangi Kaisar Kisra dan kepada Negus di Istana mereka masing-masing. Demi Allah, tak seorang dari mereka yang saya lihat lebih dihormati oleh rakyatnya, seperti Muhammad oleh para sahabatnya. Sungguh, di sekitarnya saya dapati suatu kaum yang sekali-kali takkan rela membiarkannya mendapat cedera. Nah, pertimbangkanlah apa yang hendak kalian lakukan dengan hati-hati!”

Setelah itu kaum Quraisy meminta Suhail untuk mnemui Rasulullah SAW. Suhail adalah negosiator yang diutus kaum Quraisy di Perjanjian Hudaibiyah (sulk al-hudaibiyyah). Saat itu, ia menolak kenabian Muhammad SAW dan bersikukuh untuk menghapus kata “Rasulullah” di surat perjanjian yang akan disepakati. Ia mengatakan:

والله لو كنا نعلم أنك رسول الله ما صددناك عن البيت ولاقاتلناك, ولكن أكتب محمد بنن عبد الله

“Demi Allah, jikalau mengetahui (mengakui) bahwa kau benar-benar Rasul Allah, kami tidak akan menghalangimu dari (memasuki) rumah (Makkah), dan tidak memerangimu. Namun (malah sebaliknya), tulislah Muhammad bin Abdullah.” (Imam Abu al Qasim Sulaiman al Thabrani, al Mu’jam al Kabir, Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, tt, juz 20, h.13)

Pada akhir perjanjian Hudaibiyah ini, rombongan Rasulullah SAW gagal masuk kota Makkah untuk mengunjungi Ka’bah dan melakukan umroh. Namun, sebuah riwayat mengatakan bahwa Rasulullah SAW dan umat muslim lainnya berhasil melaksanakan umroh di tahun berikutnya.

Kebencian Suhail kepada Rasulullah Berubah Menjadi Cinta yang Tulus

Kemudian, datanglah peristiwa Fathu Makkah atau sering disebut pembebasan kota Makkah. Setelah Makkah dibebaskan, ia menerima Islam sebagai agamanya dan berjanji untuk taat kepada Allah dan rasul-Nya. Pada saat itu, suasana yang penuh dengan keagungan dan kebesaran ini telah membangkitkan semua kesadaran Suhail bin Amr, menyebabkannya menyerahkan dirinya kepada Allah SWT. Dan keislamannya itu, bukanlah keislaman seorang laki-laki yang menderita kekalahan lalu menyerahkan dirinya kepada takdir di saat itu juga.

Keislaman Suhail yang terpikat dan terpesona oleh kebesaran Rasulullah SAW dan kebesaran agama yang diikuti ajaran-ajarannya oleh Rasulullah SAW dan yang dipikulnya bendera dan panji-panjinya dengan rasa cinta yang mendalam.

Orang-orang yang masuk Islam di hari pembebasan Kota Makkah itu disebut “thulaqa” artinya orang-orang yang dibebaskan dari segala hukum yang berlaku bagi orang yang kalah perang, karena mereka mendapat amnesti dan ampunan dari Rasulullah SAW. Dengan kesadaran sendiri, mereka pindah dari kemusyrikan ke agama tauhid.

Agama Islam telah menempa Suhail dengan ideologi baru. Semua kelebihan dan keahliannya selama ini menambah kokoh imannya. Sehingga orang-orang melukiskan sifatnya dalam beberapa kalimat, “Pemaaf, pemurah, banyak shalat, shaum dan bersedekah serta membaca Alquran dan menangis disebabkan takut kepada Allah.”

Demikianlah kebesaran Suhail. Walaupun ia menganut Islam di hari pembebasan dan bukan sebelumnya, tetapi dalam keislaman dan keimanannya itu mencapai kebenaran tertinggi, sedemikian tinggi hingga dapat menguasai keseluruhan dirinya dan merubahnya menjadi seorang abid dan zahid, dan seorang mujahid yang mati-matian berkorban di jalan Allah SWT.

Menghadapi Kepergian Rasulullah SAW

Tatkala Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah, berita itu sampai ke Makkah. Orang-orang Makkah diterpa kebingungan, bahkan sebagiannya hampir meninggalkan Islam. Waktu itu Suhail sedang bermukim di sana. Kaum Muslimin yang berada di sana menjadi resah dan gelisah serta ditimpa kebingungan, seperti halnya saudara-saudara mereka di Madinah.

Untunglah keadaan itu segera ditenteramkan oleh Abu Bakar dengan kalimat-kalimatnya yang tegas, “Barangsiapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad telah wafat! Dan barangsiapa yang menyembah kepada Allah, maka sesungguh­nya Allah tetap hidup dan takkan mati untuk selama-lamanya!”

Kalau Abu Bakar berhasil menenangkan kaum muslimin, di Madinah, maka tindakan yang sama juga dilakukan Suhail di Makkah. Dikumpulkannya seluruh penduduk, lalu berdiri memukau mereka dengan kalimat-kalimatnya yang mantap, memaparkan bahwa Muhammad itu benar-benar Rasul Allah dan bahwa ia tidak wafat sebelum menyampaikan amanat dan melaksanakan tugas risalat.

“Wahai orang-orang Quraisy, janganlah kalian menjadi orang yang (paling) akhir memeluk Islam dan (paling) awal murtad (meninggalkannya). Demi Allah, sungguh agama ini pasti akan membentang (penyebaran dan pengikutnya) dengan luas bentangan matahari dan rembulan dari mulai terbit sampai tenggelamnya…” (Imam Ibnu ‘Atsir, Asad al Ghabah fi Ma’rifah al Shahabah, 1994, juz 2, h. 585)

Pada masa kepemimpinan Umar ia diangkat sebagai “amiran ‘ala kardus”, yakni pemimpin detasemen di Syam. Suhail wafat karena terserang wabah ‘amawas di tahun ke-18 H di Syam. Imam Ibnu ‘Asakir menyebutkan bahwa Suhail tetap berada di Syam hingga wafatnya pada tahun 18 H di era Khalifah Umar bin Khattab.

Baca juga: Safinah, Abu Bukhturi Maula Rasulullah Diselamatkan Seekor Singa Hutan