Tak Berkategori  

Riwayat Hidup Thalhah bin Ubaidillah (595 M), Sahabat Nabi yang Dijuluki “Syahid yang Hidup”

Google News
Riwayat Hidup Thalhah bin Ubaidillah (595 M), Sahabat Nabi yang Dijuluki "Syahid yang Hidup"
Riwayat Hidup Thalhah bin Ubaidillah (595 M), Sahabat Nabi yang Dijuluki "Syahid yang Hidup"
Daftar Isi

Riwayat Hidup Thalhah bin Ubaidillah (595 M), Sahabat Nabi yang Dijuluki “Syahid yang Hidup”

Surau.co – Thalhah bin Ubaidillah merupakan sahabat Rasulullah SAW yang berasal dari suku Quraisy. Ia termasuk orang yang dijanjikan masuk surga karena perjuangannya memeluk dan menegakkan syariat Allah SWT.

Nama lengkapnya adalah Thalhah bin Ubaidillah bin Usman bin Kaab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah, al-Qurasyi at-Taimi al-Makki dan al-Madani. Silsilahnya bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay, juga dengan nasab Abu Bakar Shiddiq pada Taim bin Murrah. Mereka berdua berasal dari Kabilah Taim.

Ayah Thalhah berasal dari Quraisy yang telah wafat pada masa jahiliyah. Tidak ada satu pun riwayat yang menceritakan tentang sikap ayahnya pada saat kedatangan Islam. Ibunya adalah Sha’bah binti al-Hadhrami, saudari al-Ala’ bin al-Hadhrami, seorang sahabat yang masuk Islam dan ikut berhijrah.

Pamannya, Amr bin Usman, juga masuk Islam, hijrah ke Madinah, dan ikut dalam Perang Qadisiyah. Lalu, neneknya dari garis ibu adalah Atikah binti Wahab bin Abdu bin Qushay bin Kilab. Wahab bin Abdu adalah satu-satunya orang yang bertanggung jawab mengurus makanan jamaah haji.

Thalhah menjadi saudara ipar Rasulullah SAW melalui empat istrinya. Thalhah menikahi Ummu Kultsum binti Abu Bakar yang merupakan saudari Aisyah, Hamnah binti Jahsy yang merupakan saudari dari Zainab, Rafa’ah binti Abu Sufyan yang merupakan saudari Habibah, dan Qaribah binti Abi Umayyah yang merupakan saudari dari Ummu Salamah.

Ia juga menikahi Khaulah binti Qa’qa’ bin Mu’id, yang dijuluki ‘aliran sungai Eufrat’ karena kedermawanannya. Dari pernikahannya, ia dikaruniai keturunan yang banyak. Anak-anaknya yang terkenal di antaranya, Muhammad bin Thalhah yang bergelar as-Sajjad, Musa, dan Isa. Putrinya yang terkenal adala Aisyah binti Thalhah dan Ummu Ishaq, wanita yang dinikahi Husein bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian, setelah Husein meninggal, Hasan adiknya menikahi wanita tersebut.

Thalhah bin Ubaidillah dilahirkan di pusat wilayah Hijaz dan tumbuh di daerah padang pasir. Ia memiliki karakteristik tubuh yang kuat, sikap yang tegar serta pendirian yang tak mudah goyah. Ia dikenal sebagai pribadi yang dermawan dan sangat baik hati. Thalhah tak ragu menempuh kesulitan dalam menghadapi musuh. Tidak ada lawan yang ditakuti, serta tak gentar menghadapi kerasnya medan pertempuran.

Thalhah juga menghabiskan hartanya demi kebaikan dan membela Islam serta menolong mereka yang membutuhkan. Thalhah selalu terjun dalam medan jihad untuk melindungi Rasulullah SAW, dan membela dakwahnya, serta menyebarkan risalahnya. Ia sepeti pohon yang kuat ketika berdiri dan berjalan di muka bumi. Kedermawanannya tak tertandingi. Begitu banyaknya manfaat yang ia berikan sehingga banyak orang mengapresiasinya.

Ketampanan dan keindahan tubuhnya menjadi keistimewaan lain. Putranya, Musa bin Thalhah, menggambarkan ayahnya mempunyai kulit putih kemerah-merahan. Tingginya sedang dan cenderung agak pendek. Dadanya berbidang. Kedua bahunya lebar.

Jika menoleh, seluruh tubuhnya akan tetap tampak kokoh. Ia memiliki kaki yang besar. Wajahnya tampan dengan batang hidungnya ramping. Ia selalu berjalan dengan langkah kaki yang cepat. Ia juga tidak pernah mengubah warna rambutnya.

Ketika remaja, Thalhah bin Ubaidillah tumbuh menjadi pribadi yang kuat dengan pola pikir yang cerdas. Ia tumbuh bersama teman-teman seusianya, seperti Zubair bin Awwam dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Mereka bertiga sangat dekat.

Ketika Rasulullah SAW mendapatkan wahyu, Thalhah baru berusia 15 tahun. Namun, Thalhah tidak terlalu mengenal dekat pribadi Rasulullah SAW saat itu, karena jarak umur mereka sekitar 25 tahun. Thalhah yang masih remaja mengenal iman yang dibawa Rasulullah SAW saat berada di Syam.

Saat itu, ia dalam suatu perjalanan dengan para pedagang menuju Basrah. Kemudian, seorang rahib yang terkenal di negeri itu bertanya kepada rombongan pedagang tentang asal mereka. Thalhah mengakui dia berasal dari Makkah dan diceritakan bahwa dari Makkah akan lahir seorang nabi terakhir yang bernama Ahmad putra Abdullah bin Abdul Mutahlib. Setelah mendapatkan kenabian kemudian ia akan hijrah ke suatu tempat yang memiliki banyak pohon kurma, berbatu, dan banyak rawa.

Rahib itu menasihati Thalhah bin Ubaidillah untuk segera menemui Rasulullah SAW. Maka, ia bergegas kembali ke Makkah dan bertanya peristiwa yang terjadi.

Ternyata, saat Thalhah pergi, Rasulullah SAW telah memperoleh tanda kenabian. Kemudian, dia segera menemui Abu Bakar dan bertanya terkait kebenaran tersebut. Abu Bakar telah mengakui kenabian Muhammad dan memerintahkan Thalhah menemui Rasulullah SAW.

Mereka berdua pun berangkat bersama. Thalhah menjadi salah satu orang yang pertama memeluk Islam dan mengakui Muhammad adalah rasul Allah. Allah SWT telah memberikan Thalhah kecerdasan dan kepribadian yang baik, sehingga tak sekalipun goyah dengan keyakinan kepada Rasulullah SAW. Termasuk memercayai ucapan rahib dan Abu Bakar Shiddiq.

Setelah memeluk Islam, Thalhah bin Ubaidillah ikut bersama Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Ia pun ikut terjun mendampingi Rasulullah SAW di seluruh medan perang kecuali Perang Badar. Karena saat itu Thalhah dan Sa’id bin Zaid ditugaskan ke luar Madinah.

Namun, keduanya sedih karena tidak ikut serta bergabung dengan Rasulullah SAW untuk jihad pertamanya. Rasulullah SAW kemudian menenangkannya karena tugas yang diemban berpahala sama seperti upah prajurit di medan perang.

Baca Juga: Biografi Abu Darda’ (Wafat 32 H), Sahabat Nabi yang Zuhud

Kisah Thalhah bin Ubaidillah

Kisah Thalhah bin Ubaidillah (Syahid Yang Hidup) dimulai ketika ia berpergian dengan sebuah kafilah Quraisy dalam rangka berniaga ke Syam. Setibanya di Bushra, para pedagang Quraisy masuk ke pasar yang ramai hendak berjual beli.

Lain halnya dengan Thalhah bin Ubaidillah yang usianya yang  muda, pengetahuan dan pengalamannya mengenai perdagangan tidak seperti para pedagang yang tua-tua. Tetapi pemuda itu pintar dan cerdik, sehingga tidak ragu untuk bersaing dengan mereka yang tua dan berpengalaman dalam memperoleh keuntungan ketika berdagang.

Ketika mereka sedang berada dalam pasar yang ramai dengan para pengunjung dari berbagai penjuru, Thalhah mengalami suatu peristiwa yang mengubah jalan hidupnya secara menyeluruh. Marilah kita dengarkan Thalhah mengisahkan riwayat hidupnya sendiri.

Thalhah bin Ubaidillah bercerita, “Ketika kami berada di pasar Bushra, tiba-tiba seorang pendeta berseru: “Perhatian! Perhatian bagi kaum pedagang! Adakah di antara tuan-tuan yang berasal dari kota Makkah?”

Kebetulan aku berdiri tidak jauh dari pendeta tersebut. Lalu kuhampiri dia seraya berkata, “Ya, aku penduduk Makkah!”

“Sudah munculkah di tengah-tengah kalian orang yang bernama Ahmad?” tanya pendeta kepadaku.

“Ahmad yang mana?” jawabku balik bertanya,

“Ahmad Ibnu ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib. Bulan ini dia pasti muncul. Dia adalah Nabi penutup. Dan dia akan keluar (hijrah dan mengungsi) dari negerimu Tanah Haram, pindah ke negeri berbatu-batu hitam, banyak pohon kurma, negeri yang subur makmur memancarkan air dan garam. Sebaiknya Anda segera menemuinya, hai pemuda!” kata pendeta itu menjelaskan.

Berita yang kuterima dari pendeta itu tertanam ke dalam hatiku. Lalu kuambil unta, dan aku segera pulang kembali ke Makkah. Kafilah aku tinggalkan di belakang, sampai di Makkah, aku bertanya kepada keluargaku.

“Adakah suatu peristiwa yang terjadi di Makkah sepeninggalku?” “Ada! jawab mereka.

“Muhammad bin Abdullah mengakau sebagai Nabi. Dan Putera Abu Quhafah (Abu Bakar Shiddiq) percaya dan mengikuti apa yang dikatakannya.”

Thalhah bin Ubaidillah menimpali perkataan mereka, “Ya, aku kenal Abu Bakar. Dia seorang yang lapang dada, penyayang dan lemah lembut. Dia pedagang yang berbudi pekerti tinggi dan berpendirian. Kami berteman baik dengan dia, dan menyukai majlisnya karena dia ahli sejarah Quraisy dan silsilah keturunan suku itu.”

Mendengar hal itu, aku pergi dan menemui Abu Bakar dan bertanya kepadanya, “Betulkah berita mengenai Muhammad bin Abdullah, bahwa dia diangkat Nabi, dan Anda menjadi pengikutnya?”

 “Betul!” jawab Abu Bakar.

Lalu kemdian diceritakan kepadaku kisah Muhammad menjadi Nabi dan Rasul (sejak peristiwa di gua Hira’, sampai turunnya ayat pertama). Kemudian diajaknya aku masuk agama baru itu.

Begitu pula sebaliknya, aku ceritakan pula kepadanya peristiwa pertemuanku dengan pendeta Bushra, dan berita yang disampaikannya kepadaku.

Abu Bakar tercengang mendengar ceritaku. Lalu katanya, “Marilah kita pergi menemui Muhammad. Ceritakan kepadanya peristiwa yang engkau alami dengan pendeta Bushra itu, dan dengarlah pula apa yang dikatakan Muhammad tentang agama yang dibawanya, supaya engkau tahu dan memasukinya.”

“Aku pergi bersama Abu Bakar menemui Muhammad, Setelah bertemu dengannya, dia menjelaskan tentang Islam dan membacakan beberapa ayat Al-Quran kepadaku. Kemudian digembirakannya aku dengan kebaikan dunia dan akhirat.“ kata Thalhah melanjutkan ceritanya.

Dadaku terasa lapang untuk menerima Islam. Aku ceritakan pula kepadanya pertemuanku dengan pendeta di Bushra. Beliau sangat gembira mendengar ceritaku, sehingga kegembiraan itu terpancar jelas di wajahnya. Kemudian aku mengucapkan syahadat di hadapannya, tidak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah. Dengan syahadatku itu, maka aku tercatat sebagai orang ke-empat yang menyatakan Islam di hadapan Abu Bakar.

Peristiwa masuknya pemuda Quraisy ini ke dalam Islam, tak ubahnya bagaikan petir menyambar keluarganya. Mereka mengeluh, gelisah dan berkeluh kesah. Dan yang paling sedih ialah ibu Thalhah sendiri. Karena ibunya mengharapkan Thalhah bin Ubaidillah menjadi pemimpin bagi kaumnya, si ibu telah melihat bakat yang terkandung dalam pribadi anaknya, tinggi dan mulia.

Orang-orang sepersukuan dengan Thalhah berusaha keras mengembalikannya ke dalam agama nenek moyang mereka, agama berhala. tetapi mereka tidak berhasil, karena pendirian Thalhah amat kokoh dan kuat, bagaikan gunung karang yang terhunjam dalam perut bumi, tak dapat digoyahkan sedikit jua.

Setelah mereka putus asa membujuk Thalhah dengan cara lemah lembut, akhirnya mereka bertindak kasar dengan menyiksa dan menyakitinya.

Mas’ud bin Kharasy bercerita, “Pada suatu hari, ketika aku sa’i antara Shafa dan Marwa, aku melihat sekelompok orang menggiring seorang pemuda dengan tangan terbelenggu ke kuduknya. Orang banyak itu berlari-lari di belakang pemuda tersebut, sambil mendorongnya, memecut dan memukuli kepalanya. Bersama orang banyak itu terdapat seorang wanita lanjut usia, meneriaki si pemuda dengan caci makian.

Aku bertanya, “Mengapa pemuda itu?”

Jawab mereka, “Pemuda itu Thalhah bin Ubaidillah. Dia keluar dari kepercayaan nenek moyang, lalu mengikuti Muhammad anak Bani Hasyim.”

Tanyaku, “Siapa wanita tua itu?”

Jawab mereka, “Ash Sha’bah binti Al Hadhramy, ibu kandung pemuda itu!” Kemudian, Naufal bin Khuwalid yang dijuluki sebagai “Asadul Quraisy” (Singa Quraisy), berdiri di hadapan Thalhah dan mengikatnya dengan tali. Kemudian diikatnya pula Abu Bakar Shiddiq. Sesudah itu, kedua-duanya disatukannya, lalu diserahkannya kepada para jagoan dan tukang pukul kota Makkah, untuk disiksa sesuka hati mereka.

Maka sejak itu, Thalhah bin Ubaidillah dan Abu Bakar digelari orang “Al Qarinain” (Sepasang sahabat yang terikat).

Hari demi hari berjalan terus. Satu peristiwa dan peristiwa yang lain sambung-menyambung. Thalhah bin Ubaidillah semakin hari semakin dewasa. Cobaan-cobaan yang dialaminya karena mempertaruhkan agama Allah dan Rasul-Nya tambah meningkat dan semakin besar pula.

Tetapi bakti dan perjuangan Thalhah menegakkan agama Islam dan membela kaum muslimin semakin tumbuh dan tambah meluas. Sehingga kaum muslimin menggelarinya “Asy Syahidul Hayy” (Syahid yang hidup), dan Rasulullah menjulukinya dengan “Thalhah Al Khair” (Thalhah yang baik), atau “Thalhah Al Jaud” (Thalhah yang pemurah), dan “Thalhah Al Fayyadh” (Thalhah yang dermawan).

Setiap nama jolokan itu mempunyai latar belakang kisah sendiri-sendiri, yang masing-masing tidak kalah penting dari yang lain. Adapun nama jolokan “Asy Syahid Hayy” (Syahid yang hidup), diperolehnya dalam perang Uhud. Ketika barisan kaum muslimin terpecah belah dan kocar-kacir dari samping Rasulullah, perajurit muslim yang tinggal di dekat beliau hanya sebelas orang Anshar dan Thalhah bin Ubaidillah dari kaum Muhajirin.

Rasulullah dan orang-orang yang mengawal beliau naik ke sebuah bukit, tetapi beliau dihadang oleh ratusan kaum musyrikin yang hendak membunuhnya. Maka bersabda Rasulullah, “Siapa yang berani melawan mereka, maka dia menjadi temanku kelak di syurga.”

“Saya, ya Rasulullah! kata Thalhah.

“Tidak! Jangan engkau! Engkau harus tetap di tempatmu!

Rasulullah memerintahkan. “Saya, ya Rasulullah! kata seorang sahabat Anshar.

“Ya! Engkau!” kata Rasulullah.

Perajurit Anshar itu maju melawan perajurit musyrikin, sehingga perajurit Anshar gugur karena membela nabinya. Rasulullah terus naik, tetapi dihadang pula oleh tentara musyrikin.

Kata Rasulullah, “Siapa yang berani melawan mereka ini?”

“Saya, ya Rasulullah! kata Thalhah mendahului yang lain-lain.

“Tidak! Jangan engkau! Engkau tetap di tempatmu! “ kata Rasulullah memerintah.

“Saya, ya Rasulullah!” kata seorang perajurit Anshar.

“Ya! Engkau! Maju!” kata Rasulullah.

Perajurit Anshar itu maju melawan tentara musyrikin, sehingga dia gugur pula. Demikianlah seterusnya, setiap Rasulullah meminta pahlawannya untuk melawan tentara musyrikin, Thalhah bin Ubaidillah selalu memajukan diri, tetapi senantiasa ditahan oleh Rasulullah dan diperintahkannya tetap di tempat, dan memberi peluang perajurit Anshar, sehingga sebelas orang perajurit Anshar gugur semuanya menemui syahid. Maka tinggallah Thalhah seorang.

Kata Rasulullah kepada Thalhah, “Sekarang engkau, hai Thalhah!” Dalam perang itu, Rasulullah mengalami patah taring kening dan bibirnya luka, sehingga darah mengucur di muka beliau, dan beliau kepayahan. Karena itu Thalhah menerkam musuhnya dan menghalau mereka sekuat tenaga, supaya mereka tidak dapat menghampiri Rasulullah.

Kemudian Thalhah bin Ubaidillah kembali ke dekat Rasulullah, lalu dinaikkannya beliau sedikit ke bukit, dan disandarkannya ke tebing. Sesudah itu kembali menyerang musuh, sehingga dia berhasil menyingkirkan mereka dari Rasulullah.

Kata Abu Bakar, “Saya dan Abu Ubaidillah bin Jarah ketika sedang berada agak jauh dari Rasulullah. Setelah kami tiba untuk membantu, beliau berkata, “Tinggalkan aku! Bantulah Thalhah, kawan kalian!”

Kami dapati Thalhah bin Ubaidillah berlumuran darah, yang mengalir dari seluruh tubuhnya. Di tubuhnya terdapat tujuh puluh sembilan luka bekas tebasan pedang, atau tusukan lembing, dan lemparan panah.

Pergelangan tangannya putus sebelah, dan dia terbaring di tanah dalam keadaan pengsan.” Rasulullah bersabda sesudah itu mengenai Thalhah,

“Siapa yang ingin melihat orang berjalan di muka bumi sesudah mengalami kematiannya, maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah!”

Bila orang membicarakan perang Uhud di hadapan Abu Bakar Shiddiq, maka Abu Bakar berkata, “Perang hari itu adalah peperangan Thalhah bin Ubaidillah keseluruhannya.” Begitulah kisahnya, sehingga Thalhah dijuluki “Asy Syahidul Hayy” (Syahid yang hidup).

Adapun sebabnya bergelar “Thalhah Al Khair “ atau “Thalhah Al Jaud”, mengandung seratus satu macam kisah. Akan tetapi kita nukilkan di sini dua diantaranya lantaran Thalhah bin Ubaidillah adalah pedagang besar.

Pada suatu sore hari dia mendapat untung dari Hadhramaut kira-kira 700 000 dirham. Malamnya dia ketakutan, gelisah dan risau. Maka ditanya oleh istrerinya Ummu Kaltsum binti Abu Bakar Shiddiq,

“Mengapa Anda gelisah, hai Abu Muhammad, Apa kesalahan kami sehingga Anda gelisah?”

Jawab Thalhah, “Tidak! Engkau adalah isteri yang baik dan setia! Tetapi ada yang terfikir olehku sejak semalam, seperti biasanya pikiran seseorang tertuju kepada Tuhannya bila dia tidur, sedangkan harta ini bertumpuk di rumahnya.”

Jawab isterinya, Ummu Kalthum, “Mengapa Anda begitu risau memikirkannya. Bukankah kaum Anda banyak yang membutuhkan pertolongan Anda. Besok pagi bagi-bagikan uang itu kepada mereka.”

Kata Thalhah, “Rahimakillah. (Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu!). Engkau wanita beroleh taufiq, anak orang yang selalu diberi taufiq oleh Allah.”

Pagi-pagi, dimasukkannya uang itu ke dalam pundi-pundi besar dan kecil, lalu dibagi-bagikannya kepada fakir miskin kaum Muhajirin dan kaum Anshar.

Diceritakanya pula, seorang laki-laki pernah datang kepada Thalhah bin Ubaidillah meminta bantuannya. Hati Thalhah tergugah oleh rasa kasihan terhadap orang itu.

Lalu orang itu berkata, “Aku mempunyai sebidang tanah pemberian Utsman bin ‘Affan kepadaku, seharga tiga ratus ribu. Jika engkau suka, ambilah tanah itu, atau aku beli kepadamu tiga ratus ribu dirham.”

Kata orang itu, “Biarlah aku terima uangnya saja.” Thalhah bin Ubaidillah memberikan kepadanya wang sejumlah tiga ratus ribu.

Sewaktu terjadi Perang Jamal, Thalhah bertemu dengan Saidina Ali ra dan Saidina Ali memperingatkan agar beliau mundur ke barisan paling belakang. Sebuah panah mengenai betisnya, maka beliau segera dipindahkan ke Basrah dan tidak ikut berperang berapa lama kemudian karena lukanya yang cukup dalam beliau pun wafat.

Thalhah bin Ubaidillah wafat pada usia 60 tahun dan dikubur di suatu tempat dekat padang rumput di Basrah. Rasulullah pernah berkata kepada para sahabat radhiallahu ‘anhum, “Orang ini termasuk yang gugur dan barang siapa senang melihat seorang syahid berjalan di atas bumi, maka lihatlah Thalhah.

Hal itu juga dikatakan Allah SWT dalam firmanNya: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang -orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah janjinya.” (Al-Ahzaab: 23). Wallahua’lam!