Tak Berkategori  

Riwayat Hidup Sa’id bin Amr (601 M), Sahabat yang Gajinya Diberikan Kepada Orang Miskin

Avatar
Google News
Riwayat Hidup Sa'id bin Amr (601 M), Sahabat Nabi yang Gajinya Diberikan Kepada Rakyat
Riwayat Hidup Sa'id bin Amr (601 M), Sahabat Nabi yang Gajinya Diberikan Kepada Rakyat

Surau.co – Sa’id bin Amr merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW, yang berasal dari kaum Muhajirin dan lahir sekitar tahun 601 M.

Kisahnya Sa’id bin Amir memang tidak sepopuler sabahat Nabi lainnya, karena memang la tidak hendak menonjolkan kepribadiannya. Namun kisahnya terukir indah dalam sejarah para sahabat yang agung.

Kisah Sa’id bin Amir yang tidak pernah absen dalam semua perjuangan dan jihad yang dihadapi Rasullullah SAW. Dan hal itu memang telah menjadi pola dasar kehidupan semua orang Islam.

Tidak selayaknya bagi orang yang beriman akan tinggal berpangku tangan dan tidak hendak turut mengambil bagian dalam apa juga yang dilakukan Nabi, baik di arena damai maupun di kancah peperangan.

Begitu juga dengan kisah Sa’id bin Amir yang memeluk Islam tidak lama setelah pembebasan Khaibar. Dan sejak itu ia memeluk Islam dan dibai’at langsung oleh Rasullullah SAW.

Dengan demikian, seluruh kehidupannya dan segala wujud dan cita-citanya dihibahkan kepada perjuangan islam bersama Nabi.

Ketika Amirul Mu’minin Umar bin Khattab memcat Mu’awiyah dari jabatannya sebagai bupati Suriah, dia mencari penggantinya. 

Khalifah Umar sangat berhati-hati dalam memilih pemimpin daerah. Dia menyadari bahwa dia bertanggung jawab di hadapan Allah SWT atas kesalahan para penguasa yang ditunjuknya. 

Untuk alasan ini, kriteria yang dia gunakan untuk mengevaluasi orang dan memilih pejabat pemerintah sangat ketat, dan didasarkan pada penilaian yang tajam dan tanpa cacat seperti visi dan wawasannya. 

Diketahui bersama bahwa Suriah pada waktu itu adalah wilayah yang modern dan luas, tetapi kehidupan di sana mengikuti serangkaian peradaban pra-Islam. Selain itu, Suriah adalah pusat perdagangan penting dan tempat yang baik untuk dinikmati dan distrik ini adalah tanah godaan dan rangsangan.

Oleh karena itu, menurut Umar, tidak ada yang layak di negeri ini kecuali para wali yang tidak tertipu oleh setan, para petapa yang mencintai ibadah, tunduk kepada Allah, dan melindungi diri dari Allah. 

Tiba-tiba Umar berteriak. Tak lama kemudian, Sa’id bin Amr mendatangi Amirul Mu’minin dan ditawari jabatan walikota tersebut. 

Sa’id bin Amr, mengutarakan keberatannya, seraya berkata, “jangan sampai kita terperangkap dalam fitnah, waha amrul mu’mini..!”

“Tidak, demi Tuhan aku tidak ingin melepaskanmu!” Jawab Umar dengan nada tegas.   

Hingga akhirnya setelah sekian lama dibujuk dan diyakinkan, dengan kata-kata Umar, Sa’id bin Amr kemudian mau menerima jabatan itu.

Baca Juga: Riwayat Hidup Miqdad bin Amr (590 M), Sahabat yang Memiliki Pemikiran Luar Biasa

Kisah Sa’id bin Amr dan Gajin Gubernurnya Dibagikan untuk Rakyat Miskin

Sungguh tidak adil bagi mereka untuk menggantungkan tugas dan status seorang khalifah di lehernya  dan meninggalkannya sebagai kala. Lalu siapa lagi yang akan membantu Umar  memikul tanggung jawab yang sangat berat ini? Sa’id bin Amr akhirnya  berangkat ke Homs. istrinya pergi bersamanya. Padahal, keduanya adalah pengantin baru.

Sejak kecil, istrinya telah menjadi wanita yang sangat cantik dan cerdas. Mereka diberi cukup Umar. Ketika posisi mereka di Homs ditetapkan, para wanita bermaksud menggunakan hak-hak mereka sebagai istri untuk menggunakan kekayaan yang  diberikan Umar kepada mereka. Dia menyarankan agar suaminya  membeli beberapa pakaian dan barang-barang rumah tangga yang layak dan  menyimpan sisanya.

Sa’id bin Amr berkata kepada istrinya: “Maukah saya tunjukkan sesuatu yang lebih baik dari rencana Anda? Kami berada di negara di mana barang-barang diperdagangkan dan dijual dengan sangat cepat. Jadi lebih baik  harta ini dititipkan kepada seseorang yang akan mengembangkannya sebagai modal.”

“Bagaimana kalau kesepakatannya menjadi kacau?” tanya istrinya. Saya keluar dan membeli beberapa kebutuhan yang sangat sederhana, dan selebihnya pasti cukup, dan memberikannya kepada orang miskin dan membutuhkan.

Hari-hari berlalu dan dari waktu ke waktu istri Sayid bertanya kepada suaminya tentang kesepakatan itu dan kapan keuntungannya akan dibagikan.

Terhadap semua itu, Sa’id bin Amr menjawab bahwa perdagangan mereka berjalan dengan baik sementara keuntungan terus meningkat.

Suatu hari istrinya mengajukan  pertanyaan serupa di depan kerabat yang mengetahui kebenaran. Sa’id juga tersenyum kemudian tertawa, menimbulkan keraguan dan kecurigaan dari para wanita.

Dia meminta suaminya untuk berbicara terus terang. Jadi dia memberi tahu saya bahwa harta itu telah disumbangkan dari awal.

Wanita tua itu juga menangis, dan merasa kasihan pada dirinya sendiri karena hartanya tidak ada gunanya, dan dia tidak membeli kebutuhan hidup, dan tidak punya apa-apa lagi. Sa’id bin Amr menatap istrinya sambil menangis, menambahkan penyesalan dan kesedihan pada kecantikan dan keanggunannya.

Dan sebelum tatapan mempesona itu menyentuhnya, Sa’id bin Amr mengalihkan pandangan batinnya ke surga, di mana temannya yang pergi sebelum dia muncul, dan dia berkata: “Bagiku Allah, aku memiliki seorang teman yang menemukan jalan, menebus dirinya dari dunia dan segala sesuatu di dalamnya!”

Ia pun mengatakan sambil berdiri di hadapannya istrinya karena takut tergoda oleh kecantikan mereka, semua akan menjadi cerah, dan cahaya mereka pasti akan membanjiri sinar matahari dan bulan! Dalam damai, saya mengakhiri pidato saya dengan senyuman dan penyerahan diri. 

Istrinya tetap diam, mengetahui bahwa tidak ada yang lebih penting dari pada mengendalikan diri untuk mengikuti jejak suaminya dan meneladani asketisme dan ketakwaannya.

Saat itu, Homs disebut Kufah kedua. Hal ini disebabkan oleh ketidaktaatan masyarakat terhadap pejabat yang berkuasa. Dan karena kota Kufah dianggap sebagai pelopor dalam masalah pembangkangan ini, kota Homs mendapat julukan sebagai Kota Kedua. 

Tetapi betapapun banyaknya orang-orang Homs ini memberontak terhadap pemimpin mereka, terhadap hamba-hamba mereka yang saleh seperti Sa’id bin Amr, hati mereka dibukakan oleh Allah sampai mereka mencintai dan menaatinya.

Suatu hari, Umar menyampaikan berita tersebut kepada Sa;id. “Mungkin karena saya suka membantu dan membantu mereka,” jawab Sa’id.

Betapa orang-orang Homs sangat mencintai Sa’id bin Amr, tetapi ada keluhan dan keluhan yang tak terhindarkan. Setidaknya untuk membuktikan bahwa Homs masih merupakan saingan sengit kota Kufah di Irak.

Suatu ketika, ketika Amirul Muminin Umar bin Khattab mengunjungi Homs, dia bertanya kepada orang-orang yang berkumpul, “Apa pendapatmu tentang Sa’id bin Amr?”

Beberapa orang datang untuk mengeluh. Namun, tampaknya ada berkah dalam litigasi, karena dengan cara ini kebesaran pribadi karakter kita terungkap dari satu sisi.

Dari kelompok yang mengadu, Umar meminta mereka mempresentasikan kelemahan mereka satu per satu. Jadi mereka datang atas nama kelompoknya lalu menceritkan, “Ada empat hal yang ingin kami katakan. Pertama, dia menemui kami setelah siang hari. Kedua, idak mau menerima tamu disaat malam hari. Ketiga, dalam satu bulan, ada dua hari dimana dia tidak mau bertemu dengan kita, dan yang ada stu lagi yang menurut kami sangat mengganggu kita, yatu saat ia dengan tiba-tiba terjatuh dan pingsan.

Umar bin Khattab membungkuk sebentar dan berbisik kepada Allah, “Ya Allah, saya tahu bahwa dia adalah hamba terbaik Anda, dan semoga firasat hamba terhadap dirinya tidak meleset.

Giliran Sa’id bin Amr yang berbicara: ‘Saya akan keluar pada siang hari.’ Adapun tuduhan mereka tentang saya, dengan nam Allah saya benar-benar tidak ingin menyebutkannya.

Karena kami tidak memiliki kadam atau pelayan di keluarga kami, saya  mengaduk tepung untuk mengeraskannya, memanggang roti, dan mandi untuk sholat Dhuha. Setelah itu, saya keluar untuk mengambilnya. ‘Wajah Umar berseri-seri dan dia berkata, ‘Alhamdulillah, dan bagaimana dengan yang kedua?’ Jadi Sa’id bin Amr melanjutkan percakapannya. Jadi demi Allah, saya benci menyebutkan penyebabnya! ”

Sedangkan ucapan mereka bahwa dua hari setiap bulan di mana saya tidak menemui mereka, maka sebabnya sebagaimana saya katakan tadi, saya tidak mempunyai khadam untuk mencuci pakaian, sedangkan pakaianku tidaklah banya untuk dipergantikan. Jadi terpaksalah saya mencucinya dan menunggunya sampai kering, hingga baru dapat keluar di waktu petang.”

Kemudian tentang keluhan mereka bahwa saya sewaktu-waktu jatuh pingsan, karena ketika di Mekkah dulu saya telah menyaksikan jatuh tersungkurnya Khubaib al-Anshari.

Dagingnya dipotong-potong oleh orang Quraisy dan mereka bawa ia dengan tandu sambil mereka menanyakan kepadanya: `Maukah tempatmu ini diisi oleh Muhammad sebagai gantimu, sedang kamu berada dalam keadaan sehat wal`afiat?

Jawab Khubaib: Demi Allah saya tak ingin berada dalam lingkungan anak isteriku diliputi oleh kesenangan dan keselamatan dunia, sementara Rasullullah ditimpa bencana, walau hanya oleh tusukan duri sekalipun.”

Maka setiap terkenang akan peristiwa yang saya saksikan itu, dan ketika itu saya masih dalam keadaan musyrik, lalu teringat bahwa saya berpangku tangan dan tak hendak mengulurkan pertolongan kepada Khubaib, tubuh saya pun gemetar karena takut akan siksa Allah, hingga ditimpa penyakit yang mereka katakan itu.”

Sampai di sana berakhirlah kata-kata Sa’id bin Amr, beliau membiarkan kedua bibirnya basah oleh air mata yang suci, mengalir dari jiwanya yang saleh.  

Mendengar itu Umar tak dapat lagi menahan diri dan rasa harunya, maka berseru karena amat gembira: “Alhamdulillah, karena dengan taufiq-Nya firasatku tidak meleset adanya!” Lalu dirangkul dan dipeluknya Sa’id, serta diciumlah keningnya yang mulia dan bersinar cahaya.

Sementara itu, meski Sa’id menjadi Amir, Tentu saja gaji dan tunjangan Saeed bin Amir cukup tinggi.

Namun, ia hanya mengambilnya untuk dirinya dan istrinya, dan sisanya dibagikan kepada rumah tangga dan keluarga lain yang membutuhkan.

Suatu hari, ada seseorang yang menasihatinya: “Manfaatkan kekayaan ini untuk memberi nafkah bagi keluarga Anda dan keluarga istri Anda!”.

Sa’id bin Amr pun berkata, “Mengapa saya harus lebih peduli dengan keluarga dan saudara ipar saya? Saya tidak ingin menjual nikmat Tuhan kepada orang yang saya cintai!

Padahal sudah lama disarankan kepadanya: “Jangan tinggalkan tunjangan untuk diri sendiri dan keluarga Anda, gunakan untuk menikmati hidup!”.

Namun demikiann, Sa’id senantiasa mengulang kata-katanya: “Saya tidak ingin ketinggalan kelompok pertama, yaitu setelah mendengar Rasulullah  bersabda: ‘Allah Azza wa Jalla akan mengumpulkan orang-orang yang dibawa ke pengadilan nant di akhirat sana.

Dan pada tahun 20 H/641 M, dengan seprei terbersih, hati yang paling murni dan dengan kehidupan yang paling cemerlang, Sa’id bin Amir, ahirnya berpulang keharibaan-Nya.

Demikian kisah dan perjuangan Sa’id bin Amr yang selalu harum namanya hususnya dikalangan para khalifah dan juga sahabat Nabi.

Selain itu, penting kiranya untuk kita tahu tentang bagaimana Sa’id bin Amr yang rela tidak pernah mengambil gajinya dan berikan kepada fair miskin yang lebih membutuhkan. Barangkali jika setiap pemimpin di Negeri ini memiliki sifat seperti Sa’id bin Amr, tentusaja yang namanya korupsi, kolusi dan nepotisme akan dengan sendirinya tiada. Wallahua’lam!

Pewarta: EnolEditor: Nurul Hidayat
AvatarEnol
Mau tulisan kamu dimuat di Surau.co seperti Enol? Kirim Tulisan Kamu