Tak Berkategori  

Riwayat Hidup Miqdad bin Amr (590 M), Sahabat yang Memiliki Pemikiran Luar Biasa

Avatar
Google News
Riwayat Hidup Miqdad bin Amr (590 M), Sahabat yang Memiliki Pemikiran Luar Biasa
Riwayat Hidup Miqdad bin Amr (590 M), Sahabat yang Memiliki Pemikiran Luar Biasa
Daftar Isi

Riwayat Hidup Miqdad bin Amr (590 M), Sahabat yang Memiliki Pemikiran Luar Biasa

Surau.co – Miqdad bin Amr berasal dari suku Arab, Bahra bagian dari Banu Qudha’ah atau Hadramaut dari Yaman. Dia melarikan diri dari sukunya dan tinggal di Mekah setelah melukai seseorang.

Di Mekah, Miqdad milik bernama al-Aswad Al-Kindi. Miqdad bin Amr adalah seorang pemuda yang sangat berani ketika dia pergi ke Mekah. Pada orang-orang Arab yang menyukai pemberani dan kuat, Aswad Al-Kindi tidak memiliki anak, sehingga suatu hari dia berdiri di tengah-tengah semua orang Quraisy dan berkata,

“Saya nyatakan bahwa mulai hari ini, Miqdad adalah anak saya, dan namanya sekarang adalah Miqdad bin Al-Aswad al.” -Kindi dia akan mewarisi saya ketika saya mati” Jadi orang-orang mulai memanggilnya Miqdad bin Aswad al-Kindi bukan Miqdad bin Amr.

Ini adalah cara Arab mengungkapkan cinta untuk seseorang. Islam bangkit dari puncak Hilla. Miqdad bin Aswad al-Kindi berusia 24 tahun ketika dia mendengar tentang misi Nabi Muhammad ia langsung menemui Nabi. Kisah Miqdan bin Amr senantiasa memberi gambaran kepada kita umat manusia, khususnya kaum muslimin untuk selalu berfikir dan mensyukuri pemberian-Nya.

Selain itu, kisah Miqdad bin Amr juga memberi kita perlajaran bagaimana kesetian dan rasa cinta terhadap agamnya melebihi segalanya.

Kisah Miqdan bin Amr

Miqdad bin Amr, para sahabat dan sahabat dekatnya berkata: “Yang pertama memimpin kudanya berperang di jalan Allah adalah Miqdad bin Al-Aswad”. Miqdad bin Al-Aswad yang mereka tunjuk adalah gambar kami tentang Miqdad bin Amr.   

Miqdad adalah salah satu dari sekelompok orang yang masuk Islam lebih awal dari rombongannya, dan merupakan Muslim ketujuh yang secara terang-terangan, dan murka atas kekejaman orang Quraisy.   

Miqdad hidup dari keberanian para ksatria dan keberuntungan orang beriman. Abdullah bin Mas’ud, sahabat Rasulullah yang lain, berkata, “Saya telah menyaksikan perjuangan Miqdad, jadi saya lebih suka menjadi temannya daripada semua yang dimiliki negeri ini.”  

Hari yang dimulai dengan ketegangan ini adalah saat orang Quraisy datang dengan kekuatan mereka yang luar biasa, dengan semangat dan tekad mereka yang ulet, dengan kesombongan dan keangkuhan mereka. 

Pada hari itu, jumlah umat Islam sedikit dan mereka belum pernah berperang membela Islam sebelumnya, dan ini adalah perang pertama yang harus mereka hadapi.

Nabi Shallallahu alayhi Wassalam menguji keimanan para pengikutnya dan menguji kesiapan mereka menghadapi tentara musuh yang datang, baik infanteri maupun kavaleri.

Teman-teman dipersilakan untuk mengobrol, mereka tahu bahwa jika dia meminta pendapat dan pemikiran mereka, itu berarti dia sedang menghadapi situasi yang genting.   

Miqdad bin Amr khawatir beberapa Muslim akan mengalami kesulitan berperang, maka sebelum ada yang berbicara, Miqdad ingin mereka mengucapkan kalimat-kalimat yang pasti akan menimbulkan semangat dan juga ikut serta dalam pembentukan opini publik.

Namun, sebelum dia menggerakkan bibirnya, Abu Bakar Ash-Siddiq berbicara di hadapannya dengan kata-kata yang sangat mengesankan, hingga hati Miqdad bin Amr menjadi tenteram karenanya. Kemudian Umar bin Al-Khatthab pun berbicara dengan ekspresi yang indah.

Kini giliran Miqdad bin Amr bicara, “Wahai Rasulullah, laksanakanlah apa yang ditititahkan Allah, dan kami akan bersamamu. Demi Allah kami tidak akan berkata seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Musa, ‘Pergi dan berperanglah kamu bersama Tuhanmu, sedangkan kami akan duduk dan menunggu di sini.’

Tetapi kami akan mengatakan kepadamu, ‘Pergi dan berperanglah engkau bersama Tuhanmu, dan kami ikut berjuang bersamamu.’ Demi Dzat yang telah mengutusmu membawa kebenaran! Seandainya engkau membawa kami ke dalam lautan lumpur, kami akan berjuang bersamamu dengan tabah hingga mencapai tujuan, dan kami akan bertempur di sebelah kanan dan di sebelah kirimu, di bagian depan dan di bagian belakangmu, hingga Allah memberikan kemenangan kepadamu.”

Kalimat itu keluar seperti peluru yang ditembakkan. Dan wajah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam  berseri-seri karenanya, sementara mulutnya membisikkan doa keberuntungan untuk Miqdad.  

Kata-katanya yang tegas membangkitkan semangat kepahlawanan di antara sekelompok orang beriman, bahkan dengan kekuatan dan ketabahan mereka menjadi panutan bagi mereka yang ingin berbicara dan menjadi senjata, berjaga-jaga dalam pertempuran.

Sungguh, kata-kata Miqdad bin Amr membekas di hati orang-orang beriman, sampai Sa’ad dan Mu’adz, para pemimpin Ansar, berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah, kami telah mempercayai dan membela Anda. Kami telah bersaksi bahwa apa yang Anda bawa adalah kebenaran dan untuk ini kami telah mengikat janji dan kesetiaan kami. Karena itu, pergilah wahai Rasulullah, lakukan apa yang kamu inginkan dan kami akan selalu bersamamu.

Karena Dialah yang mengutus kamu untuk membawa kebenaran, jika kamu membawa kami ke lautan ini, kami akan memasukinya. Tak satu pun dari kami yang  berpaling dan tak satu pun dari kami yang  mundur untuk menemui musuh.

Sungguh, kami akan tabah dalam perang, tabah menghadapi musuh kami, dan memohon kepada Tuhan untuk menunjukkan kepadamu bagaimana perbuatan kami menyenangkanmu hari ini. Sebarkan kami dengan berkat Tuhan! Hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam dipenuhi dengan kegembiraan, lalu ia berkata kepada para sahabatnya, “Bukalah hatimu.  

Dan kedua pasukan pun saling berhadapan, anggota tentara muslim yang sedang menunggang kuda pada saat itu tidak lebih dari tiga orang, yaitu Miqdad bin Amr, Martsad bin Abu Martsad dan Az-Zubair bin Al-Awwam, sedangkan pejuang lainnya termasuk tim jalan terjal atau unta. pembalap.

Pidato Miqdad bin Amr yang kami perkenalkan sebelumnya, tidak hanya menggambarkan keberaniannya, tetapi juga menggambarkan logikanya yang tepat dan pemikirannya yang mendalam.

Itulah sifat Miqdad, dia adalah seorang filsuf dan pemikir. Dia adalah orang yang bijaksana dan pandai berbicara. Kebijaksanaannya terbukti tidak hanya dalam kata-katanya, tetapi juga dalam prinsip-prinsip hidupnya yang teguh, serta dalam perilakunya yang lurus dan konsisten. Pengalamannya adalah sumber kebijaksanaan dan dukungan untuk kecerdasannya.

Baca Juga: Mengenal Muadz bin Jabal (605 M), Sahabat yang Masuk Surga Sebelum Para Ulama

Sang Pemikir

Miqdad bin Amr adalah salah satu orang pertama yang masuk Islam. Dia adalah seorang pria dengan kecerdasan yang luar biasa. Pada masa Jahiliyah, namanya adalah Miqdad bin Aswad karena ia diadopsi sebagai anak oleh Aswad Abdu Yaghuts.

Namun, setelah syariat Islam melarang nama seseorang dilekatkan dengan nama orang lain selain ayah kandungnya, Miqdad kembali mengganti namanya menjadi Miqdad bin Amr, putra ‘Amr bin Sa’ad.

Perjuangan Miqdad bin Amr membela Islam tidak perlu diragukan lagi. Kegigihannya dalam membela Islam bahkan mengejutkan banyak teman-teman lainnya. Abdullah bin Mas’ud, sahabat Rasulullah, pernah berkata:

 “Saya telah menyaksikan perjuangan Miqdad, jadi saya lebih suka menjadi temannya daripada seluruh bumi.”

Kecerdasan Miqdad bin Amr terlihat dalam setiap perkataannya. Setiap kata yang dia ucapkan menunjukkan bahwa dia adalah seorang pemikir yang tangguh. Salah satu situasi yang menunjukkan betapa filosofisnya beliau ketika berpidato di hadapan kaum muslimin yang bersiap-siap untuk berperang di perang Badar.

Miqdad berkata, “Wahai Rasulullah, teruslah laksanakan apa yang dititahkan Allah, dan kami akan bersama anda. Demi Allah, kami tidak akan berkata seperti apa yang dikatakan Bani Israil kepada Nabi Musa, ‘Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah’, sedang kami akan mengatakan kepada anda, ‘Pergilah Engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah, dan kami ikut berjuang di sampingmu’. Demi yang telah mengutus engkau membawa kebenaran! Seandainya engkau membawa kami melalui lautan lumpur, kami akan berjuang bersamamu dengan tabah hingga mencapai tujuan.”

Keterampilan filosofisnya juga diceritakan oleh seorang temannya, ia berkata, suatu hari kami pergi untuk duduk di dekat Miqdad. Tiba-tiba seorang pria lewat dan berkata kepada Miqdad:  

“Betapa diberkatinya dua mata telah melihat Rasulullah! Tuhan, jika saja aku bisa melihat apa yang Anda lihat dan menyaksikan apa yang Anda saksikan.”  

Miqdad berkata, “Apa yang memotivasi Anda untuk menyaksikan suatu peristiwa di mana Allah mengaburkan pandangan Anda, meskipun Anda tidak tahu apa konsekuensinya jika Anda melakukannya? Demi Tuhan, bukankah banyak orang yang dikubur di Neraka pada zaman Rasulullah?  

Mengapa Anda tidak memuji Tuhan yang menyelamatkan Anda dari bencana mereka dan membuat Anda percaya kepada Tuhan dan Nabi Anda? “

Tidak Suka Jabatan

Salah satu hal yang paling tak terlupakan tentang Miqdad bin Amr adalah ketika dia menolak sebuah posisi. Kisah penolakannya menjadi terkenal dan menyadarkan banyak orang akan sebuah tanggung jawab.

Dahulu kala, Miqdad bin Amr diangkat oleh Rasulullah (saw) sebagai pemenang atas penguasaan (amir) di suatu daerah. Setelah kembali dari pencariannya, Nabi bertanya,

“Bagaimana menurutmu setelah menjadi emir?»

 Dia dengan jujur ​​menjawab, “Engkau membuatku merasa paling pantas untuk memmpin diantara semua pria, ketika mereka semua di bawahku. Demi Dzat yang telah mengutusmu membawa kebenaran, sejak saat ini saya tidak berkeinginan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang untik selama-lamanya.””

Sejak  menjadi Emir, selalu dipenuhi kemegahan, kemewahan, dan dipuji banyak orang. Fitnah yang diterimanya selama menjabat membuatnya semakin resah, Dia menjadi gelisah. Dia selalu mengingat kata-kata Nabi,  

“Orang yang bahagia adalah orang yang menjauhi fitnah.”

Jadi, untuk menghindari fitnah, dia melepaskan jabatannya dan bersumpah tidak akan menerima jabatan apa pun lagi. Kecintaannya pada Islam membuatnya meninggalkan segala sesuatu yang telah menjauhkannya dari iman.

Ia berkata,  “Biarkan aku mati, selama Islam menang.”

Kecintaannya pada Islam membuatnya dipuji oleh para nabi,

“Sesungguhnya Allah telah memerintahkan aku untuk mencintaimu dan menyampaikan kepadaku pesan-Nya bahwa Dia mencintaimu.”

Kisah Miqdad bin Amr benar-benar membuat kita malu karena  kita kurang percaya diri dengan godaan posisi kita saat ini. Semoga kita bisa mencontoh Nabi dan para sahabatnya dalam membela Islam.

Miqdad bin Amr dan Rasa Bersalahnya

Selama berada di Madinah, khususnya pada masa-masa awal, Nabi Muhammad membagi para sahabat Muhajirin menjadi sepuluh kelompok. Itu bagi mereka yang tidak tinggal bersama kaum Ansar, tetapi tinggal di serambi masjid seperti Ahlu Shuffah. Selama ini, Miqdad bin Amr berada dalam  kelompok yang sama dengan Rasulullah, dan juga ada tiga ekor kambing yang bisa diperah untuk kelompok tersebut.   

Suatu ketika, Miqdad dan dua temannya mengalami kelaparan dan kehausan lantaran lelah yang ia rasakan, dan ketika itu hanya ada segelas susu yang menjadi jatah Nabi.

Namun, pada saat itu, Rasulullah SAW sedang berkunjung ke rumah seorang sahabat. Sampai saat itu, ada setan yang membisikkan pikiran jahat kepada Miqdad, “Kamu harus minum susu ini. Nabi sedang mengunjungi rumah teman Ansar, dan dia pasti mendapat perlakuan khusus di sana.”  

Namun, Miqdad mengabaikannya, meskipun setan itu terus berbisik padanya sedemikian rupa sehingga dalam keadaan buruk dan kelaparan dia tidak bisa lagi menahannya. Pada akhirnya, dia minum susu itu bersama dengan dua temannya.  

Setelah minum segelas susu, kedua sahabat itu tertidur. Sementara itu,  Miqdad sendiri masih dihantui rasa bersalah karena meminum susu Nabi.  

Ternyata iblis menambah kegelisahannya dengan berbisik kepada Miqdad, “Apa yang kamu lakukan? Muhammad akan segera datang dan mengambil jatah susunya, kamu pasti akan mati karena dia akan berdoa untuk pemusnahan orang-orang yang menggantikannya.”

Tak lama kemudian, Rasulullah datang. Dia segera melakukan sholat sunnah untuk beberapa rakaat. Miqdad, yang melihat Rasulullah datang, menjadi semakin gelisah dan menunggu apa yang akan terjadi. Setelah shalat, Rasulullah SAW menoleh ke cangkir susu yang ternyata sudah kosong, lalu Rasulullah SAW mengangkat tangannya lalu berdoa.

“Binasalah aku!!” Kata Miqdad dalam hati.

Kemudian, ia mendengar doa Rasulullah SAW, “Ya Allah, berilah makanan kepada orang yang memberiku makanan, berilah minuman kepada orang yang memberiku minuman.”

Setelah mendengar doa tersebut, Miqdad langsung bergegas bangun dan mengambil pisaunya. Ia bermaksud untuk menyembelih salah satu dari ketiga kambing tersebut untuk makanan bagi Rasulullah SAW.

Namun betapa terkejutnya dirinya ketika melihat ketiga kambing itu dalam keadaan penuh air susunya. Padahal diketahui sebelumnya tidak ada satu tetespun susu yang dapat diperah dari ketiganya.

Ia Kemudian mengambil sebuah bejana dan mengisinya dengan susu dan membawanya kepada Rasulullah SAW. Beliau lalu meminumnya beberapa teguk lalu diberikan kepada Miqdad,.

Sesudah minum beberapa teguk, Miqdad mengembalikannya kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW minum beberapa teguk dan diberikan lagi kepada Miqdad. Hal tersebut berulang beberapa kali bergantian minum hingga akhirnya Miqdad merasa kenyang dan tertawa mengingat apa yang dilakukannya.

Rasulullah SAW yang mengetahui apa yang terjadi, tersenyum dan bersabda, “Perbuatanmu itu adalah salah satu keburukanmu, hai Miqdad! Tetapi itu semua tidak terjadi kecuali karena rahmat Allah Azza wa Jalla. Sebaiknya engkau bangunkan kedua temanmu agar bisa merasakan susu ini.”

“Ya Rasulullah, aku tidak perduli siapa yang disalahkan dalam hal ini, tetapi yang penting engkau telah meminum susu itu, dan aku telah meminum sisanya” kata Miqdad.

Setelah itu, ia membangunkan kedua temannya untuk dapat menikmati susu yang penuh berkah tersebut.

Dari kisah Miqdad bin Amr kita dapat mengambil pelajaran, khususnya dalam memperjuangkan agama dan dengan segenap jiwa dan raga dengan pemikirannya yang cerdas. Wallahua’lam!

Pewarta: EnolEditor: Nurul Hidayat
AvatarEnol
Mau tulisan kamu dimuat di Surau.co seperti Enol? Kirim Tulisan Kamu