Surau.co – Di belahan timur kota Kudus, tepatnya di desa Jekulo kabupaten Kudus terdapat pesantren yang tergolong cukup tua. Orang sering menyebutnya dengan sebutan Pondok Mbareng. Suasana riligius begitu terasa ketika kita memasuki kawasan ini. Beberapa bangunan-bangunan pondok pesantren senantiasa ramai oleh santri-santri yang setiap hari mengaji. Keberadaan pesantren-pesantren ini tidak lepas dari peranan seorang Ulama besar di ddaerah ini. Beliau adalah KH.Yasin.
KH.Yasin dilahirkan sekitar tahun 1890-an di desa Cebolek kecamatan Margoyoso kabupaten Pati. Desa cebolek sendiri, pernah diabadikan dalam salah satu Karya sastra Kyai Yasadipura II pada naskah yang berjudul Serat Cebolek, yang menceritakan kecerdikan Mbah Mutamakin Kajen dalam menghadapi Pengadilan Kolonial Belanda. KH.Yasin merupakan anak yang ke-7 dari 9 bersaudara. Ayah beliau bernama H.Amin (Nama asli: Tasmin) dan ibu beliau bernama Salamah. Nama asli pemberian orang tua beliau adalah Soekandar, kemudian setelah Haji beliau mempunyai nama Yasin. Nama inilah yang kemudian dikenal oleh banyak orang.
Sejak kecil beliau telah menjadi Yatim, karena ketika ayahnya pergi haji ke tanah suci, sang ayah meninggal di sana dan kemudian dimakamkan di Baqi`. Yasin kecil yang menjadi yatim sepeninggal ayahnya itu kemudian diangkat anak oleh Mbah Salam yang merupakan ayah dari Mbah Abdullah Salam atau kakek dari pada KH.Sahal Mahfudh Kajen Pati.
Semasa kecil, ketertarikan beliau akan ilmu Agama sangatlah mencolok. Beliau rajin mempelajari ilmu agama baik mengaji dilingkungan desanya maupun di tempat lain. Ketika mondok, Yasin kecil dikenal sebagai santri yang cerdas, lincah dan dapat mengikuti semua pelajaran dengan baik. Didapatkan keterangan, bahwa beliau beliau jarang memberikan makna pada kitab-kitabnya, namun demikian, beliau tidak kalah dengan santri-santri lainnya. Bahkan ketika belajar di tempat Kiai Idris Jamsaren solo, beliau diperbolehkan mengikuti pengajian Hikam, yang pada waktu itu hanya diperbolehkan bagi santri-santri yang telah berumur 40 tahun, padahal waktu itu Kiai Yasin masih berumur 25 tahun. Disamping belajar dengan Kiai Idris, tercatat bahwa Kiai Yasin juga pernah beljar dari beberapa Ulama lainnya. Diantaranya, adalah KH.Kholil Bangkalan Madura, Kiai Abdussalam bin Abdillah Kajen Pati, Kiai Sanusi bin Ya“qub Jekulo, Kiai Nawawi Sidogiri, Kiai Kholil Harun Kasingan Rembang, Mbah Amir Pekalongan dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Setelah lama belajar di tanah air, beliau merantau ke tanah suci Mekah untuk memperdalam ilmu agama. Di kota suci ini beliau singgah dalam waktu yang cukup lama dan dari sinilah yang menyebabkan kedekatan beliau dengan ulama-ulama besar Mekah pada saat itu.
Setelah sekian lama menempa ilmu pengetahuan di tanah suci, akhirnya KH.Yasin kembali ke Cebolek Pati dan kemudian pindah ke desa Jekulo kabupaten Kudus setelah menikah dengan seorang gadis bernama Muthi`ah binti KH.Yasir Jekulo yang merupakan salah satu ulama di desa Jekulo pada waktu itu.
Seluruh kehidupan KH.Yasin beliau curahkan untuk kepentingan agama Islam.KH.Yasin merupakan sosok yang sederhana, arif, dan sikapnya egiliter (Menganggap sama terhdap semua orang) sehingga beliau merupakan sosok yang disegani di masyarakat.
Dengan kapasitas keilmuwan agamanya yang luas, di desa Jekulo ini kemudia beliau KH.Yasin mendirikan pondok pesantren sebagai tempat untuk mengkaji ilmu agama. Pembangunan ini dilakukan sekitar tahun 1918 M yang dilatar belakangi dengan adanya anak-anak yang ingin mengaji kitab suci Al Qur`an di rumah beliau. Semula hanya tiga orang santri yang mengaji di rumah beliau, diantaranya adalah H. Abdul Hamid dari Klaling Jekulo Kudus. Semakin hari ternyata semakin banyak santri yang datang ingin mengaji. Melihat kenyataan tersebut mbah Kiai Sanusi (Guru Sufi beliau) memberikan saran agar KH.Yasin membuatkan tempat khusus untuk mengaji, karena akan lebh baik apabila memiliki tempat tersendiri. Kemudian denga senang hati beliau menerima saran tersebut. Pada saat itu beliau belum begitu bayak santri yang belajar di sana sehingga secara resmi belum belum dapat dianggap sebagai pesatren. Baru kemudian pada tahun 1923 M banyak santri yang berdatangan dari luar daerah untuk mengaji, sehingga pada tahun itulah secara resmi pesantren KH.Yasin berdiri.
Pada masa KH.Yasin, pesantren tersebut tidak atau belum diberi nama. Namun banyak santri yang menyebutnya dengan sebutan, “Pondok Mbareng”. Sebenarnya, Mbareng adalah nama sebuah dukuh di desa Hadipolo tempat dimana stasiun pemberhentian kereta pada saat itu berada. Santri menganggap bahwa lokasi pesantren berada dalam wilayah desa tersebut. Dari anggapan itulah akhirnya pesantren Mbah Yasin dikenal dengan sebutan Pondok Bareng.
Di pesantren ini dikaji berbagai macam ilmu bersumber dari kitab-ktab salaf . sekitar tahun 1918 – 1953 para santri disamping mengkaji kitab-kitab salaf juga banyak yang melakukan riyadloh, sehingga Pondok Mbareng juga dikenal sebagai Pondok Riyadloh. Menurut keterangan dari para santrinya yang masih hidup, seperti KH.Ahmad Basyir dan Alm KH Hanafi (yang pada waktu naskah ini ditulis beliau masih hidup) pada masa mondok di pesantren dibatasi untuk tidak makan yang enak-enak atau dengan kata lain para santri diharapkan hidup prihati selama menuntut ilmu.
KH.Yasin dikenal sebagai sosok yang lurus dan banya bergelut di pesantren. KH.Yasin adalah tpe kiai pesantren, dimana sebagian besar waktunya beliau curahkan utuk mendidik para santri. Setelah sekitar 35 tahun mengasuh para santrinya, bertepatan dengan hari Rabu Pon taggal 30 Desember 1953 M / Robiul Akhir 1373 H beliau wafat dan dimakamkan disamping masjid jami` Kauman. Makam beliau banyak dikunjungi oleh peziarah dari berbagai daerah.
Banyak karya dan kiprah KH.Yasin bagi masyarakat. Namun, hanya sedikit karya beliau yang ditemukan. Diantaranya semasa hidup, beliau sempat menulis syarah Asmaul Husna dan tulisan-tulisan Khutbah Hari Raya dalam bahasa Arab. Satu hal yang bisa dilihat dari pengaruh KH.Yasin yang sampai sekarang masih banyak diamalkan orang adalah ijazah Dalail al-Khairat. Ijazah ini seringkali diamalkan oleh para santri sebagai sarana mendekatkan diri kepada Sang Khsliq dan ungkapan prihatin dalam masa menuntut ilmu.
Setelah ditinggal beliau, Pondok Bareng diteruskan oleh putranya yaitu K.Muhammad bin Yasin. Setelah sekian lama Pondok Bareng tanpa nama, akhirnya K.Muhammad mempunyai insiatif untuk memberi nama agar pesantren ini mudah dikenal oleh para santri. Tepatnya pada tahun 1979 M ? 1399 H pesantren ini diberi nama Al Qoumaniyyah. Nama ini diambil dari dukuh Kauman dimana pondok ini berdiri, yang merupakan salah satu dukuh di desa Jekulo. Tercatat pesantren ini telah mencetak ulama-ulama trnama, diantaranya KH.Muhammadun (Pondohan Pati), KH. Hambali (Kudus), Habib Muhsin (Pemalang), KH.Ma`mun (Kudus), KH. Hanafi (Jekulo Kudus), KH. A Basyir (Jekulo Kudus), KH Shaleh (Sayung Demak), Habib Ali bin Syihab (Mayong Jepara), Habib Muhammad Al Kaf (Imam Masjid Agung Magelang) dan masih banyak ulama lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Baca Juga: KH. Thaifur Ali Wafa, Biografi Singkat
Demikianlah Biografi singkat Waliyullah KH.Yasin dari hasil wawancara dengan KH.Sanusi pada tanggal 3 April 2003, beliau adalah putra ragil KH.Yasin dan dari KH. Mujib bin Muhammad bin Yasin serta berbagai manuskrip K.Muhammad. juga mengenai sejarah singkat pesantren Al Qaumaniyyah (Bareng) Jekulo Kudus, yang pengaruhnya dapat dirasakan oleh masyarakat hingga sekarang yaitu terbentuknya tatanan masyarakat yan islami di Jekulo Kudus. Hingga saat inidi desa Jekulo tercatat berdiri tidak kurang dari sepuluh peesantren. Kenyataan ini tidak lepas dari peranan perjuangan Mbah KH.Yasin sebagai cikal bakal pendiri pondok pesantren Al Qaumaniyyah Jekulo Kudus.