KH Hasyim Muzadi Sosok Ulama yang Nasionalis dan Pluralis
- Ulama yang Nasionalis dan Pluralis
- Kiprah Kiai Hasyim dalam Ormas NU
Surau.co – KH Hasyim Muzadi Adalah ulama Indonesia yang sepak terjangnya diakui oleh dunia internasional. KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan KH. Hasyim Muzadi adalah juga seorang mantan Ketua Umum PBNU yang notabene adalah organisasi Islam terbesar bukan saja di Indonesia, namun juga di dunia. Pemikiran-pemikiran cerdas dari KH. Hasyim Muzadi ini begitu brilian dan sangat relevan dengan perkembangan Islam kekinian. Selalu banyak yang menantikan ulasan dan pendapat beliau terkait masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat maupun negara, terutama mengenai radikalisme.
KH Hasyim Muzadi dikenal memiliki cara pandang yang tenag dalam menghadapi masalah bangsa. Dalam perjalanan karirnya, KH. Hasyim Muzadi tak terlepas dari Nahdlatul Ulama. KH. Hasyim Muzadi semenjak masih muda sudah berkecimpung di ke NU an, dan ini kelihatannya sudah mendarah daging. Keilmuan beliau mengani Islam tentu kita sepakat bahwa beliau adalah Ulama besar yang sangat mumpuni di berbagai bidang ilmu agama.
Ulama yang Nasionalis dan Pluralis
Di Indonesia, sosok profil KH. Hasyim Muzadi ini dikenal sebagai seorang Ulama yang selalu membawa nafas nasionalis dan pluralis. Sama seperti pendahulunya, Gus Dur, KH. Hasyim Muzadi selalu membawa nafas nasionalisme anti radikalisme dan selalu menjaga kerukunan antar umat beragama melalu nafas pluralis. Perjuangan KH. Hasyim Muzadi untuk Nahdlatul Ulama dan Indonesia tentu kita semua sudah mengetahuinya, terutama dalam menjaga NKRI dari ancaman radikalisme.
Kiai Hasyim, begitu ia akrab disapa, menempuh jalur pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidaiyah di Tuban pada tahun 1950, dan menuntaskan pendidikannya tingginya di Institut Agama Islam Negeri IAIN Malang, Jawa Timur pada tahun 1969. Pria yang lahir di Tuban pada tahun 1944 ini, nampaknya memang terlahir untuk mengabdi di Jawa Timur. Sederet aktivitas organisasinya ia lakoni juga di daerah basis NU terbesar ini.
Organisasi kepemudaan semacam Gerakan Pemuda Ansor (GP-Ansor) dan organisasi kemahasiwaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pernah ia pimpin. Hal inilah yang menjadi struktural menjadi modal kuat Hasyim untuk terus berkiprah di NU.
Kiprah Kiai Hasyim dalam Ormas NU
Kiprah organisasinya mulai dikenal ketika pada tahun 1992 ia terpilih menjadi Ketua Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur yang terbukti mampu menjadi batu loncatan bagi Hasyim untuk menjadi Ketua PBNU pada tahun 1999.
Banyak yang mafhum, sebagai organisasi keagamaan yang memiliki massa besar, NU selalu menjadi daya tarik bagi partai politik untuk dijadikan basis dukungan. Hasyim pun tak mengelak dari kenyataan tersebut. Tercatat, suami dari Hj. Muthomimah ini pernah menjadi anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur pada tahun 1986, yang ketika itu masih bernaung di bawah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Namun, jabatan sebagai Ketua Umum PBNU lah yang membuat Hasyim mendadak menjadi pembicaraan publik dan laris diundang ke berbagai wilayah. Bisa dikatakan, wilayah aktivitas alumni Pondok Pesantren Gontor Ponorogo ini tidak hanya meliputi Jawa Timur, namun telah menasional. Basis struktural yang kuat itu, masih pula ditopang oleh modal kultural yang sangat besar, karena ia memiliki pesantren Al-Hikam, Malang, yang menampung ribuan santri.
Hasyim dikenal sebagai sosok kiai yang memosisikan dirinya sebagai seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal “nasionalis dan pluralis”. Itu sebabnya, ketika terjadi peristiwa Black September, yakni tragedi runtuhnya gedung WTC di Amerika Serikat, yang menempatkan umat Islam sebagai pelaku teroris, kiai yang dikaruniai enam orang putra ini, tampil dengan memberikan penjelasan kepada dunia internasional bahwa umat Islam Indonesia adalah umat Islam yang moderat, kultural, dan tidak memiliki jaringan dengan organisasi kekerasan internasional. Ia adalah sekian dari tokoh umat di Indonesia yang dijadikan referensi oleh dunia barat dalam menjelaskan karakteristik umat Islam di Indonesia.
Integritas Kiai Hasyim yang lintas sektoral kini diuji. Ijtihad politik pria berusia 60 tahun ini yang menerima lamaran PDI Perjuangan untuk menjadi cawapres, merupakan bagian dari sosok dirinya yang moderat.”Saya ingin menyatukan antara kaum nasionalis dan agama”,” ujarnya ketika berorasi dalam deklarasi pasangan capres dan cawapres Megawati-Hasyim Muzadi.
Baca Juga : KH. Anwar Zahid Profil Da’i yang Cerdas dan Humoris
Walaupun memang, tak sedikit yang mencibir dan menyayangkan langkah Hasyim yang terjun ke politik praktis, termasuk dengan pewaris darah biru kaum nahdliyin, Gus Dur. Bahkan, langkah politik pria yang selalu berpeci ini telah menguak perseteruan dirinya dengan Gus Dur yang telah terpendam lama. Namun di atas segalanya, hanya Hasyim yang tahu persis, makna di balik langkah politik menuju kursi kekuasaan yang kini tengah dirintisnya.