Surau.co – Abu Hanifah dikenal sebagai salah satu Imam Madzhab Fqih dalam Islam yang sampai hari ini menjadi pegangan umat muslim di seluruh penjuru dunia.
Namun dalam perjalanan hidup Abu Hanifah, barangkali tidak semua orang tahu, dan mugkin hal itulah yang mendorong penulis untuk kemudian mengulas tentang biografi singkat tentang sang imam ini.
Riwayat Hidup
Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 Hijriah (696 M) dan meninggal di Kufah pada tahun 150 Hijriah (767 M). Abu Hanifah hidup selama 52 tahun dalam masa Muawiyah dan 18 tahun dalam masa Abbasiyah.
Jadi semua kekuatan berpikir, kekuatan reaksi cepat dimiliki oleh Abu Hanifah dari sejak kepemimpinan Muawiyah, kecerdasannya membuatnya terus-menerus selalu ingin mengetahui apa saja yang belum ia ketahui, kebijaksanaan khusus para ulama terus mencari lebih.
Nama kecilny Abu Hanifah adalah Nu’man bin Tsabit bin Zauta bin Mah, merupakan keturunan dari ayahnya yang dari keturunan Persia (Kabul-Afghanistan), tetapi sebelum dia lahir, ayahnya pindah ke Kufah. Oleh karena itu, dia bukan keturunan dari ras Arab asli, tetapi dari ras Ajam (ras yang berbeda dari ras Arab) dan ia dilahirkan dalam keluarga Persia.
Bapak Abu Hanifah lahir sebagai seorang Muslim, yang tak lain adalah seorang pedagang dan keturunan saudaranya Nabi. Nenek dari pihak ibu, Zauta adalah seorang suku dari (bani) Tamim. Meskipun ibu Hanifah tidak dikenal oleh para sejarawan, akan tetapi dia tetap menghormati dan menaati ibunya.
Bahkan Ia seringkali membawa ibunya ke acara perkumpulan para ilmuan dimana Abu hanifah belajar dan berdiskusi tentang suatu persoalan yang dialami oleh umat manusia.
Abu Hanifah pernah bertanya dalam suatu masalah atau tentang hukum bagaimana melaksanakan atau memenuhi panggilan ibu. Ia berpendapat bahwa mentaati kedua orang tua merupakan salah satu alasan perlunya bimbingan dan dapat menimbulkan kesalahan jika tidak.
Pada saat kelahirannya, pemerintahan Islam berada di tangan Abdul Malik bin Marwan (raja kelima Bani Umayyah) dan meninggal pada masa kekhalifahan Abu Ja’far Al-Mansur.
Gelar Abu Hanifah rupanya diambil dari salah satu nama putranya yang diberi nama Hanifa, menurut cerita lain, alasan dia mendapat gelar Abu Hanifah adalah karena dia adalah seorang penyembah Allah yang rajin dan dengan tulus memenuhi kewajiban agamanya.
Karena kata “hanif” dalam bahasa Arab berarti “cendrung atau condong” kepada agama yang benar. Ada pula yang mengatakan bahwa ia mendapat gelar Abu Hanifah karena kedekatannya dengan “tinta”.
Karena kata “hanifah” menurut lughot Irak, berarti “laci atau tinta”. Dengan kata lain, ia selalu membawa dawat berkeliling untuk menuliskan atau mencatat ilmu yang diperoleh gurunya atau orang lain. Maka ia mendapat gelar dengan sebutan Abu Hanifah.
Setelah Abu Hanifah menjadi seorang ulama besar dan terkenal di seluruh kota besar, serta seluruh jazirah Arab pada umumnya, ia juga dikenal dengan gelar, Imam Abu Hanifah. Setelah ijtihad dan penelitiannya tentang hukum agama diakui dan diikuti oleh banyak orang dengan nama “Mazhab Imam Hanafi”.
Menurut pendapat Abu Yusuf, salah satu ciri Abu Hanifah adalah perawakannya yang sedang dengan tinggi badan yang rata-rata dan terdiri dari orang-orang dengan postur tubuh yang ideal, aksennya paling bagus, suaranya paling bagus saat bersenandung dan dia yang paling bisa memberi informasi kepada orang yang dia inginkan.
Begitu juga merurut anaknya, Hamda, bahwa sang ayah berkulit sawo matang dan tinggi, dengan wajah tampan, berwibawa dan tidak banyak bicara kecuali menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Selain itu, dia tidak mau mencampuri urusan yang bukan urusannya.
Abu Hanifah suka berpakaian bagus dan bersih, memakai wewangian yang baik, dan duduk di tempat yang baik. Karena dia memiliki kegemaran pada wewangian, hingga orang tahu seperti apa baunya, sebelum melihatnya.
Abu Hanifah juga senang menghabiskan waktu bersama saudara dan teman baiknya, tapi dia tidak suka bergaul dengan orang sembarangan. Keberanian untuk mengungkapkan sesuatu dalam hati dan keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya kepada siapa pun, tidak takut dikritik atau dibenci, dan tidak takut menghadapi bahaya dalam situasi apa pun.
Salah satu kesukaannya adalah memenuhi kebutuhan masyarakat untuk menarik simpatinya. Seringkali orang lewat, tanpa sengaja banyak yang orang yang dengan tidak senagaja, tiba-tiba mengikuti majelisnya.
Saat hendak pergi, ia langsung menghampiri dan menanyakan keperluannya, ketika dia memiliki kebutuhan, Abu Hanifah akan memberikannya. Jika sakit, dirinya tidak segan untuk mengantarnya berobat, bahkan ketia orang itu memiliki hutang, maka Imam Hanafi akan membayarnya sehingga terjalin hubungan yang baik antara keduanya.
Pendidikan Imam Abu Hanifah
Pada awalnya Abu Hanifah adalah seorang saudagar, karena ayahnya adalah juga merupakan seorang saudagar besar yang sempat bertemu dengan Ali bin Abi Thalib.
Namun demikian, saat itu, Abu Hanifah tidak mengabdikan diri pada ilmu, melainkan berdagang kain sutera di pasar. Selain bisnis, ia rajin menghafal Al-Qur’an dan senang membacanya.
Pengetahuannya menarik perhatian orang-orang yang mengenalnya, diantaranya adalah asy-Sya’bi yang kemudian menyarankan agar Abu Hanifah mencurahkan minatnya pada ilmu pengetahuan.
Dengan bimbingan ash-Sya’bi, Abu Hanifah mulai mendalami ilmu pengetahuan, Namun demikian, ia tidak berhenti disitu saja, Imam Hanafi pertama kali menikmati kajian keilmuan qira’at, hadits, nahwu, sastra, puisi, teologi dan ilmu-ilmu lain yang berkembang pada saat itu.
Di antara ilmu-ilmu favoritnya adalah teologi, itulah sebabnya dia adalah salah satu tokoh yang paling dihormati dalam sains. Karena ketajaman pemikirannya, ia mampu menangkis serangan doktrin khawarij yang sangat ekstrim pada saat itu.
Selanjutnya Abu Hanifah belajar fiqh di Kufah yang pada saat itu menjadi fokus para ulama fiqh yang cenderung rasional. Di Irak terdapat Madrasah Kufah yang diprakarsai oleh Abdullah bin Mas’ud (wafat 63H/682 M).
Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian diteruskan kepada Ibrahim al-Nakha’i, kemudian kepada Muhammad bin Abi Sulaiman al-Asy’ari (wafat 120H). Hammad bin Sulaiman adalah salah satu pemimpin (utama) besar pada waktu itu. Ia adalah murid Alqamah ibn Qais dan al-Qadhi Syuri’ah, keduanya tokoh terkenal dan ulama fiqih di Kufah dari kelompok tabi’in.
Dari Hamdan ibn Sulaimanlah, Abu Hanifah belajar fiqih dan hadits. Selanjutnya, Ia pergi ke Hijjaz berkali-kali untuk mempelajari fiqih dan menganggapnya sebagai nilai tambah dari apa yang diperoleh di Kufah. Setelah kematian Hammad, dewan madrasah Kufah setuju untuk menunjuk Abu Hanifah sebagai kepala madrasah.
Selama periode ini ia melayani dan mengeluarkan banyak arahan tentang masalah fikih. Pengetahuannya menjadi dasar utama mazhab Hanafi yang dikenal saat ini.
Kufah pada waktu itu adalah kota besar, tempat berkembangnya segala macam ilmu, tempat berkembangnya kebudayaan yang sudah lama ada. Filsafat Yunani dan Persia diajarkan di sana, dan sebelum Islam, beberapa denominasi Kristen memperdebatkan masalah iman dan mendiami berbagai negara.
Isu-isu politik, fondasi keyakinan di Kufah, berkembang. Dihuni oleh kaum Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, serta para ahli ijtihad terkenal yang lahir di sana.
Di Kufah, pada waktu itu, ada halaqah ulama; pertama, halaqah yang dikhususkan untuk studi (mudzakarah) bidang iman. Kedua, halaqah untuk bermuzakarah di bidang fiqih, dan Abu Hanifah fokus pada bidang fiqh.
Abu Hanifah tidak meninggalkan bidang keilmuan lainnya, Ia juga menguasai bidang tajwid, bidang bahasa Arab, bidang kaligrafi. Ia juga membahas bidang kalam dan mengkonfrontasi partai-partai keagamaan yang berkembang saat itu.
Pada akhirnya, ia harus menghadapi yurisprudensi dan menggunakan semua kekuatan rasionalnya untuk fikih dan pengembangannya.
Setelah menyelesaikan studinya di Kufah dan Basra, Abu Hanifah pergi ke Mekah dan Madinah sebagai pusat pengajaran Islam. Ia kemudian bergabung sebagai santri dari Ulama terkenal Atha’ bin Abi Rabah.
Abu Hanifah pernah bertemu dengan tujuh sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu, para Sahabat Nabi itu di antaranya: Anas bin Malik, Abdullah bin Harist, Abdullah bin Abi Aufah, Watsilah bin al-Aqsa, Ma’qil bin Yasar, Abdullah bin Anis, Abu Thufail (‘Amir bin Watsilah).
Guru-guru Abu Hanifah sebagian besar berasal dari “tabi’in” (kelompok yang hidup setelah para sahabat Nabi). Diantaranya adalah Imam Atha bin Abi Raba’ah (meninggal 114 H), Imam Nafi ‘Muala Ibn Umar (meninggal 117 H), dan lain-lain.
Adapun ulama fiqih yang menjadi gurunya yang paling terkenal, Imam Hamdan bin Abu Sulaiman (wafat 120 H), Imam Hanafi mengajarinya selama kurang lebih 18 tahun.
Di antara mereka yang menjabat sebagai guru Abu Hanifah adalah Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ady bin Tsabit, Imam Abdur Rahman bin Harmaz, Imam Amr bin Dinar, Imam Manshur bin Mu ‘tamir, Imam Syu’bah bin Hajjaj, Imam Ashim bin Abin Najwad, Imam Salamah bin Kuhail, Imam Qatadah, Imam Rabi’ah bin Abi Abdur Rahman dan lainnya di antara ulama Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in.
Adapun faktor-faktor Abu Hanifah mencapai ketinggian ilmu dan yang mengarahkannya ialah:
- Sifat-sifat kepribadiannya, baik yang merupakan tabiatnya ataupun yang diusahakan, kemudian menjadi suatu melekat padanya. Ringkasnya sifat- sifat yang mengarahkan jalan pikirannya dan kecenderungannya.
- Guru-guru yang mengarahkannya dan menggariskan jalan yang dilaluinya, atau menampakkan kepadanya aneka rupa jalan, kemudian Abu Hanifah mengambil salah satunya.
- Kehidupan pribadinya, pengalaman-pengalaman dan penderitaan- penderitaannya yang menyebabkan dia menempuh jalan itu hingga keujungnya.
- Masa yang mempengaruhinya dan lingkungannya yang dihayatinya yang mempengaruhi sifat-sifat pribadinya.
Sifat-sifat yang dimiliki Abu Hanifah itu di antaranya :
- Seorang yang teguh pendirian, yang tidak dapat diombang ambingkan pengaruh-pengaruh luar.
- Berani mengatakan salah terhadap yang salah, walaupun yang disalahkan itu seorang besar. Pernah dia mengatakan Hasan al-Bisri.
- Mempunyai jiwa merdeka, tidak mudah larut dalam pribadi orang lain. Hal ini telah disarankan oleh gurunya Hamdan.
- Suka meneliti suatu hal yang dihadapi, tidak berhenti pada kulit-kulit saja, tetapi terus mendalami isinya.
- Mempunyai daya tangkap luar biasa untuk mematahkan hujjah lawan.
Abu Hanifah berguru pada Imam Amir Syarahil ash-Syu’bi (wafat 104 H), asy-Syu’bi ini melihat dan menunjukkan kondisi dan kecerdasan pribadinya, kemudian menasehatinya dan merekomendasikannya untuk berguru pada para ulama, intelektual terkenal saat itu.
Nasehat yang baik ini diterima oleh Abu Hanifah dan menunjukkan keseriusannya, kemudian dia menuliskannya dalam hati dan jiwanya, dan kemudian dia benar-benar melakukannya. Yakni, sejak saat itu ia rajin belajar dan giat mencari ilmu yang berkaitan dengan agama dengan seluas-luasnya.
Mula-mula Abu Hanifah mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hukum agama, kemudian selanjutnya mempelajari ilmu keimanan kepada Tuhan atau yang sekarang dikenal dengan “ilmu kalam”.
Itu sebabnya dia salah satu orang yang melakukan banyak penelitian tentangnya dan yang sangat rajin mendiskusikan dan membicarakannya sedemikian rupa sehingga dia sering bertukar pendapat atau berdebat tentang masalah ini, baik dengan teman maupun lawannya.
Abu Hanifah menganggap bahwa “ilmu kalam” adalah salah satu yang tertinggi dan paling berguna dalam bidang agama, dan ilmu ini termasuk dalam batang tubuh utama agama (ushuluddin).
Kemudian Abu Hanifah berpandangan lain, yaitu mengabdikan dirinya pada kajian ilmiah “fiqh”, yaitu ilmu agama, di mana ia hanya membahas atau mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan bentuk gambar, baik yang berkaitan dengan urusan ibadah maupun yang berkaitan dengan urusan mu’amalat atau kemasyarakatan.
Bukti bahwa Abu Hanifah adalah seorang ahli fiqih, menurut pengakuan dan pernyataan orang-orang cerdas dan cendekiawan saat itu. Salah satunya pendapat Imam Muhammad Abi Sulaiman, salah seorang gurunya yang paling lama, setelah mengetahui ilmu fiqih, maka dari waktu ke waktu ia pergi ke luar kota atau daerah lain, terutama ketika ia bepergian ke Basra untuk waktu yang lama. Jadi dia (Hanafi) yang diminta untuk menggantikan atau mewakili posisinya, seperti memberikan kritik terhadap hukum agama dan memberikan ceramah kepada murid-muridnya.
Suatu ketika ia menemukan Imam Malik sedang duduk bersama beberapa temannya. Setelah Abu Hanifah keluar, Imam Malik menoleh ke arah mereka dan berkata, “Apakah kalian tahu siapa dia?” Mereka menjawab “Tidak”. Dia berkata, “Ini adalah Nu’man bin Tsabit.
Jika dia mengatakan bahwa tiang-tiang mesjid terbuat dari emas, kata-katanya akan menjadi argumen. Imam Malik tidak melebih-lebihkan ketika menggambarkan Abu Hanifah. Karena ia memiliki bakat untuk mengkritik, cepat menangkap, kecerdasan, kecerdasan dan kepekaan.
Kecerdasan Imam Abu Hanifah tidak hanya dalam hukum Islam, tetapi menurut sebuah cerita, ia juga terkenal sebagai orang pertama yang tahu cara menjahit pakaian kotak-kotak. Adapun kota Bagdad pada masa pemerintahan Al-Mansur, semua temboknya terbuat dari batu bata dan batu tersebut merupakan buatan dari Abu Hanifah.
Guru-Guru Abu Hanifah
Menurut kebanyakan pendapat guru-guru Abu Hanifah pada waktu itu ialah para ulama Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in diantaranya ialah:
- Abdullah bin Mas’ud (Kufah)
- Ali bin Abi Thalib (Kufah)
- Ibrahim al-Nakhai (wafat 95 H)
- Amir bin Syarahil al-Sya’bi (wafat 104 H)
- Imam Hammad bin Abu Sulaiman (wafat pada tahun 120 H) beliau adalah orang alim ahli fiqh yang paling masyhur pada masa itu Imam Hanafi berguru kepadanya dalam tempo kurang lebih 18 tahun lamanya.
- Imam Atha bin Abi Rabah (wafat pada tahun 114 H)
- Imam Nafi’ Maulana Ibnu Umar (wafat pada tahun 117 H)
- Imam Salamah bin Kuhail
- Imam Qatadah
- Imam Rabi’ah bin Abdurrahman dan masih banyak lagi ulama-ulama besar lainnya18.
Adapun silsilah guru-guru dan murid-murid Imam Abu Hanafi adalah sebagai berikut:
Baca Juga: Biografi Imam Ahmad Bin Hambal, Mazhab Keempat yang Hidup Dipengasingan 164-241 H
Karya-karya Imam Abu Hanifah
Di antara para ulama terkemuka yang telah banyak berbicara, Imam Abu Hanifah telah meninggalkan banyak wawasan dan pemikiran.
Abu Hanifah menuliskan beberapa gagasan dan pemikirannya dalam bentuk buku, tetapi sebagian besar dikumpulkan oleh murid-muridnya untuk diterbitkan kemudian. Buku yang ditulis sendiri meliputi:
1. al-Fara’id: yang khusus membicarakan masalah waris dan segala ketentuannya menurut hukum Islam.
2. asy-Syurut: yang membahas tentang perjanjian.
3. al-Fiqh al-Akbar: yang membahas ilmu kalam atau teologi dan diberi syarah (penjelasan) oleh Imam Abu Mansur Muhammad al-Maturidi dan Imam Abu al-Muntaha al-Maula Ahmad bin Muhammad al-Maghnisawi.
Jumlah buku yang ditulis oleh murid-muridnya cukup banyak, yang menghimpun ide dan pemikiran Abu Hanifah. Semua buku ini kemudian menjadi milik para murid mazhab Imam Hanafi. Para ulama mazhab Hanafi membagi kitab tersebut menjadi tiga tingkatan.
Pertama, luasnya al-Ushul (masalah utama), yaitu kitab-kitab yang memuat masalah langsung yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, kitab-kitab yang bergenre ini disebut juga Zahir ar-Riwayah (teks naratif) terdiri dari enam kitab, yaitu:
- al-Mabsuth: (Syamsudin Al-Syarkhasi)
- al-Jami’ As-Shagir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)
- al-Jami’ Al-Kabir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)
- as-Sair As-Saghir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)
- as-Sair Al-Kabir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)
Kedua, tingkat Masail an-Nawazir (masalah yang diberikan sebagai nazar), kitab-kitab yang termasuk dalam kategori yang kedua ini adalah:
- Harun an-Niyah: (niat yang murni)
- Jurj an-Niyah: (rusaknya niat)
- Qais an-Niyah: (kadar niat)
Ketiga, tingkat al-Fatwa Wa al-Faqi’at, (fatwa tentang hal-hal) adalah buku-buku yang berisi hal-hal fikih dari istinbath (menerapkan hukum dan peraturannya) ini adalah buku-buku an-Nawazil (bencana), oleh Imam Abdul Lais as-Samarqandi.
Hukum Imam Abu Hanifah dicirikan oleh kehendak bebas, karena bencana terbesar yang menimpa manusia adalah pembatasan atau perampasan kebebasan, yang menurut Syariah, harus dipertahankan.
Di satu sisi, sebagian orang sangat ekstrim dalam pandangan mereka sehingga mereka berpikir bahwa Abu Hanifah memperoleh semua kebijaksanaan Nabi Muhammad melalui mimpi atau pertemuan fisik. Namun, di sisi lain, terlalu banyak orang yang membencinya, sehingga mereka mengira dia berasal dari agama.
Perbedaan dan kontradiksi pendapat yang ekstrim ini merupakan fenomena logis pada masa kehidupan Imam Abu Hanifah. Orang-orang pada waktu itu menilai dia berdasarkan perjuangannya yang kontroversial, perilakunya, pemikirannya dan keberaniannya, yaitu dia telah belajar menggunakan akal sepenuhnya, dan dalam hal ini, dia tidak peduli dengan pendapat orang lain. Imam Abu Hanifah wafat di penjara pada usia 70 tahun, tepatnya pada bulan Rajab 150H (767 M).
Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah
Tentu saja, pola ideologi Imam Abu Hanifah dalam pembuatan hukum, yang sangat dipengaruhi oleh kehidupan dan pendidikannya, juga tidak terlepas dari sumber hukum yang ada. Abu Hanifah dikenal sebagai Ulama al-Ra’yi, dalam menegakkan hukum Islam, baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun alkitab, ia menggunakan akal yang luas.
Dari keterangan di atas, tampaknya Imam Abu Hanifah menggunakan ra’yu untuk menegakkan hukum syariat yang tidak ditetapkan oleh qath’iy. Dalam menegakkan hukum, Ia juga dipengaruhi oleh perkembangan hukum di Kufah yang letaknya cukup jauh dari Madinah kota tempat tinggal Nabi SAW.
Sebagaimana dinyatakan di atas, ijtihad Imam Abu Hanifah menetapkan hukum, ketika suatu hal tidak memiliki hukum qath’iy (hukum itu ditetapkan dan jelas dalam Al-Qur’an dan hadits), atau masih dijelaskan dengan hukum. beberapa cara atau metode yang digunakan Imam Abu Hanifah untuk menetapkan hukum berdasarkan:
1. Al-Quran
2. Al-Sunnah
3. Fatwa-fatwa (Aqwal) Sahabat
4. Qiyas
5. Istihsan
6. Ijma’
7. ‘Urf (adat yang berlaku didalam masyarakat umat Islam)
Itulah ulasan seputar biografi Imam Abu Hanifah yang bisa dijadikan sebagai pengetahun dan juga bagaimana cara menentukan hokum dengan berbagai macam metode istimbat. Wallahua’lam!