Tak Berkategori  

Biografi Imam Ahmad Bin Hambal, Mazhab Keempat yang Hidup Dipengasingan 164-241 H

Google News
Biografi Imam Ahmad Bin Hambal, Mazhab Keempat yang Hidup Dipengasingan 164-241 H
Biografi Imam Ahmad Bin Hambal, Mazhab Keempat yang Hidup Dipengasingan 164-241 H
Daftar Isi

Biografi Imam Ahmad Bin Hambal, Mazhab Keempat yang Hidup Dipengasingan 164-241 H

Surau.co – Imam Ahmad bin Hambal adalah Imam keempat dalam Islam. Dia adalah pria dengan kualitas yang indah, seperti yang dikatakan orang-orang yang tinggal bersamanya, serta orang-orang yang mengenalnya.  

Dia adalah seorang imam bagi umat Islam di seluruh dunia, juga  seorang mufti untuk negara Irak, dan juga merupakan ketuhanan Rasulullah SAW.

Selain itu, Ia Juga seorang zuhud yang bijak, penerang  dunia  dan teladan serta panutan bagi ummat manusia, khususnya muslim, orang yang sabar dalam menghadapi cobaan, orang yang sholeh dan zuhud.

Barangkali sebutan yang bernama pujian belum mampu mewakili jasanya terhadap perkembangan dunia islam, khususnya dalam memperoleh ajaran keislaman sebaimana diajarkan oleh Rasul.

Dalam sekte Hanbali ada istilah Hanbali dan Hanabilah. Agar tidak ada keraguan tentang perbedaan antara kedua istilah tersebut, penulis akan menyajikan arti dari kedua istilah tersebut.

Hambali adalah pendapat (kesimpulan) yang dikaitkan dengan (terkait dengan) Imam Ahmad bin Hanbal.

Sedangkan Hanabilah adalah pengikut Imam Ahmad bin Hambal dalam masalah fiqih. Dalam hal ini, Tokoh utama mazhab Hanbali adalah Imam Ahmad ibn Hanbal.

Riwayat Hidup Imam Ibn Hambal

Sementara nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad ibn Idris ibn ‘Abdillah ’ibn ibn Hayyan ibn Abdillah ibn Anas ibn ‘Auf ibn Qasit ibn Mukhazin ibn Syaiban ibn Zahl ibn Sa’labah ibn ‘Ukabah ibn Sa’b ibn ‘Ali ibn Bakr ibn Wa’il ibn Qasit ibn Hanb ibn Aqsa ibn Du’ma ibn Jadilah ibn Asad ibn Rabi’ah ibn Nizar ibn Ma’ad ibn ‘Adnan ibn ‘Udban ibn al-Hamaisa’ ibn Haml ibn an-Nabt ibn Qaizar ibn Isma’il ibn Ibrahim asy-Syaibani al-Marwazi.

Imam Ahmad bin Hanbal lahir di Bagdad pada masa dinasti Abbasiyah yang dijabat oleh al-Mahdi, yaitu pada bulan Rabi’al-Awwal tahun 164 H, bertepatan dengan tahun 780 setelah Imam Ahmad dilahirkan lahir dari keluarga yang terhormat, jiwa yang mulia, kemauan yang kuat, kesabaran dan ketangguhan dalam menghadapi penderitaan.  

Ayahnya meninggal sebelum dia lahir, jadi Imam Ahmad ibn Hanbal mengalami situasi yang sangat sederhana dan tidak serakah. Ayahnya bernama Muhammad bin al-Syaibani.  

Jadi nama Hanbal bukanlah nama ayahnya tetapi nama kakeknya, dan nama ibunya adalah Safiyyah binti Abdul Malik bin Hindun al-Syaibani dari kelompok dominan ras Amir baru. Silsilah dan keturunan Nabi Muhammad bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibunya, yaitu di Nizar, kakek kedelapan belas Nabi Muhammad.  

Nama Ahmad dalam perkembangan selanjutnya lebih dikenal dengan nama Imam Ahmad bin Hanbal, diambil dari nama kakeknya karena nama “Ahmad” begitu umum, kemudian dikaitkan dengan nama kakeknya, maka sejak kecil ia lebih dikenal dengan nama Ahmad bin Hanbal.

Pendidikan Imam Ahmad bin Hanbal  

Sejak kecil, Imam Hambal merupakan seorang anak yatim piatu, dan dikenal sebagai pecinta ilmu. Bagdad dengan segala perkembangannya, termasuk kecepatan ilmunya, membuat kecintaannya pada ilmu membuatnya diterima dengan baik oleh kalangan ulama di Bagdad pada saat itu.

Sejak saat itulah, Ia mulai belajar ilmu-ilmu keislaman seperti al-Qur’an, al-Hadist, bahasa Arab dan sebagainya kepada ulama di Bagdad.  

Kemiskinan Imam Ahmad membatasi keinginan dan ambisinya untuk memperdalam ilmunya. Untuk itu, ia tidak segan-segan melakukan pekerjaan apa saja untuk mendapatkan uang asalkan pekerjaan itu baik dan halal.

Pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid, Imam Ahmad ibn Hambal ketika itu berusia 16 tahun, Ia mulai mempelajari hadis secara khusus, orang pertama yang mempelajari hadis adalah Hasyim bin Basyr bin Khazin al-Wasiti.  

Tekadnya untuk mencari ilmu dan mengumpulkan hadis memotivasinya untuk mengunjungi pusat-pusat ilmu Islam seperti Basrah, Hijaz, Yaman, Makkah dan Kufah. Dia bahkan pergi ke Basra dan Hijaz masing-masing lima kali.  

Dan dalam perjalanan ini dia bertemu dengan ulama besar seperti ‘Abd ar-Razzaq ibn Humam,’ Ali ibn Mujahid, Jarir ibn ‘Abd al-Hamid, Sufyan ibn’ Uyainah, Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim al-Anshari (murid Imam Abu Hanifah), Imam Syafi’i dan lainnya. Selama pertemuannya dengan Imam Syafi’i, ia mampu mempelajari fiqh, ushul fiqh, nasikh dan mansukh serta validitas hadis.

Perhatiannya pada hadis menghasilkan studi yang memuaskan dan memberi warna lain pada yurisprudensinya. Dia terutama menggunakan hadits sebagai referensi untuk memberikan fatwa fiqhnya. Karyanya yang paling terkenal adalah al-Musnad, berisi 40.000 hadist, yang merupakan saringan dari 70.000 buah hadist.

Beberapa orang mengklaim bahwa semua hadist dalam buku itu dianggap shoheh. Sementara yang lain mengatakan itu mengandung beberapa hadist da’if (lemah). Dalam al-Musnad tersebut, dapat kita jumpai sejumlah besar fiqh sahabat, seperti fiqh ‘Umar, fiqh ‘Ali dan fiqh Ibnu Mas’ud.

Usianya dikhususkan untuk belajar, terutama di bidang hasith. Ia tidak pernah berhenti belajar meskipun sudah menjadi Imam dan sudah tua.  

Sebagai seorang ulama besar, Imam Ahmad Hambal tidak luput dari berbagai cobaan. Tantangan terbesar yang dihadapinya datang pada masa pemerintahan al-Ma’mun, al-Mu’tasim dan al-Wasiq. Saat itu, aliran Mu’tazilah sedang berada pada masa kejayaannya, sehingga dijadikan sebagai Mazhap Negara karena telah menjadi aliran pemikiran yang lengkap.

Khalifah al-Ma’mun menggunakan kekuasaannya untuk memaksa para ahli fiqh dan hadits mengakui bahwa Al-Qur’an adalah makhluk hidup. Peristiwa ini dikenal dengan Peristiwa Mihnah.

Banyak dari mereka membenarkan pemahaman al-Ma’mun dengan rasa takut. Namun, Imam Ahmad Hambal dan sebagian ulama lainnya masih menolak tafsir ini. Dia berargumen bahwa Al-Qur’an bukanlah makhluk melainkan firman Allah.  

Banyak sarjana telah dianiaya karena melawan pihak berwenang, termasuk Imam Ahmad, yang lebih suka dipukuli dan dipenjarakan daripada mengakui bahwa Quran adalah makhluk hidup.  

Beberapa bulan kemudian al-Ma’mun meninggal tetapi sebelum itu ia membuat surat wasiat kepada calon penggantinya, al-Muta’sim, untuk melanjutkan kebijakannya. Akibatnya, Imam Ahmad dan beberapa temannya dipenjarakan dan disiksa hingga akhir pemerintahan al-Mu’tasim.

Setelah al-Muta’sim wafat, aparatur pemerintahan dipegang oleh putranya, yaitu al-Wasiq. Selama ini, kebijakan ayahnya masih dipertahankan, sehingga Imam Ahmad Hambal dan beberapa ulama lain yang sependapat dengannya juga dipenjara dan disiksa. Hingga al-Wasiq meninggal.

Jadi, selama bertahun-tahun Imam Ahmad Hambal meringkuk di penjara dan menahan rasa sakit dicambuk dengan tangan terikat, sejak al-Ma’mun menjabat sebagai kepala negara hingga masa al-Wasiq.

Setelah kematian al-Wasiq, jabatan kepala negara diambil alih oleh al-Mutawakkil. Pada saat ini, semua inovasi dalam masalah agama dibuang dan Sunnah Nabi SAW dihidupkan kembali. Jadi, dengan sendirinya, masalah penciptaan Al-Qur’an tidak ada lagi.

Maka Imam Ahmad Hambal dan beberapa temannya dibebaskan dari penjara. Di sisi lain, ulama yang menjadi sumber fitnah tentang masalah penciptaan Al-Qur’an ditangkap, dipenjara, dan dijatuhi hukuman siksaan oleh al-Mutawakkil.

Kepribadian Mu’tazilah berada di bawah tekanan besar karena mereka disiksa karena mereka melawan ulama yang menentang pandangan mereka.

Begitulah tantangan yang harus dilalui Imam Ahmad Hambal ketika ia membela ketidaksetujuannya terhadap penciptaan Al-Qur’an. Setelah dibebaskan dari penjara beberapa tahun kemudian, dia jatuh sakit. Hingga akhirnya sampai kematiannya pada usia 77 tahun, tepatnya pada hari Jumat tanggal 12 Rabi’ al-Awwal 241 H. Ia dimakamkan di Bagdad.

Baca Juga: Biografi Syekh Abdul Qadir Al-Jailani 1077 M/470 H, Pecetus Tarekat Qodiriyah

Karya-karyanya

Imam Ahmad ibn Hambal memfokuskan hidupnya untuk mencari ilmu  dan menyebarkan ilmu itu. Meskipun ia selalu dalam keadaan menderita sejak kecil, bahkan dapat dikatakan bahwa ia tidak pernah merasakan kehidupan yang mewah dan kenikmatan (materi) di dunia, dalam hal kehidupan, ia memiliki kepribadiannya sendiri.

Karena sifatnya yang asketis dan kewar’a, dia tidak suka menerima hadiah dari orang lain. Dia berpendapat, “Lebih baik bekerja keras dan dibenci oleh kebanyakan orang daripada makan sesuatu yang tidak jelas kehalalannya.” Oleh karena itu, tidak ada jejak keinginan untuk menduduki posisi atau pangkat apa pun di pemerintahan.

Karena Imam Ahmad tidak menyukai jabatan dan jabatan pemerintahan, maka kegiatannya lebih diarahkan pada pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga ia dikenal di kalangan ulama pada masanya. percaya.

Dari semua bidang ilmu yang dikuasainya, ilmu hadis dan fiqih yang paling menonjol, maka ia disebut muhaddis (ahli hadits) dan juga ahli hukum. Beberapa ulama  menyangkal bahwa Imam Ahmad hanyalah seorang muhaddis dan bukan ahli hukum.

Ibn Jauzi berkata, “Ahmad ibn Hanbal tidak pernah terlihat menulis buku dan dia juga melarang  menulis kata-kata dan hal-hal sebagai akibat dari proses istinbathnya.”  

Apapun alasannya, kami menerima klaim bahwa Imam Ahmad penting dalam bidang hadits, tetapi kankernya pada yurisprudensi tidak dapat disangkal. preseden yang dikaitkan dengannya.

Jika dia hanya fokus pada hadits, akan sulit bagi kita untuk mempelajari pandangannya tentang fiqh. Alasan yang dapat dikemukakan mengapa ia tidak menulis fiqh seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah, adalah karena ia membenci segala bentuk tulisan selain hadis. Ia khawatir  terjadi kerancuan antara kitab hadits dan kitab fiqih.

Adapun karya-karya beliau antara lain:

  • al-Musnad
  • kitab Tafsir al-Qur’an
  • Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh
  • Kitabb al- Muqaddam wa al-Muakhkhar fi al-Qur’an
  • Kitab Jawabatu al-Qur’an
  • Kitab al-Tarikh
  • Kitab Manasiku al-Kabir
  • Kitab Manasiku al-Saghir
  • Kitab Tha’atu al-Rasul
  • Kitab al-‘Illah
  • Kitab al-Shalah.

Selain kitab-kitab yang disusun langsung oleh Imam Ahmad ibn Hanbal, ada   juga   gagasan   Imam   Ahmad ibn Hanbal yang diteruskan dan dilestarikan oleh para pengikutnya. Diantara rujukan fiqih Hanabillah adalah sebagai berikut:

  • Mukhtashar al-Khurqi karya Abu al-Qashim Umar ibn al-Husain al- Khurqi (w. 334 H)
  • Al-Mughni Syarkh ‘Ala Mukhtasar al-Khurqi   karya   Ibnu   Qudamah (w. 620 H).
  • Majmu’ Fatwa ibn Taimiyah karya Taqiy al-Din Ahmad Ibnu Taimiyah (w. 728 H)
  • Ghayat al-Muntaha fi al-Jami’ bain al-Iqna wa Muntaha karya Mar’i ibn Yusuf al-Hanbali (w. 1032 H)
  • Al-Jami’ al-Kabir karya Ahmad ibn Muhammad ibn Harun atau Abu Bakar al-Khallal.

Karena Imam Ahmad tidak menulis satu kitab pun di bidang fikih, kita dapat memberikan prinsip dasar dalam mazhabnya.

Hal itu lantaran Imam Ahmad tidak mencatat fiqihnya dalam sebuah buku, juga tidak mendiktekan kepada murid-muridnya, yang dapat dijadikan sebagai aturan umum dalam ajaran Hanbali adalah kisah-kisahnya yang langsung diterima oleh murid-muridnya sebagai penukil yang baik dari Imam Ahmed.

Maka selama belum ada bukti yang kuat bahwa riwayat itu bukan berasal dari Imam Ahmad, tetaplah kita berpendapat bahwa riwayat-riwayat itu berasal dari Imam Ahmad.

Semua pendapat Imam Ahmad diserap langsung oleh para muridnya dan kemudian dikumpulkan oleh Abu Bakar al-Khallal dengan bertemu dengan mereka. Dialah yang bisa disebut sebagai kolektor fiqh hanbali dari para penyalinnya, berkat siapa koleksi fiqh Imam Ahmad al-Jami al-Kabir terlengkap telah diproduksi ulang, terdiri dari 20 episode besar.

Ada dua ulama terkenal yang membantu mengumpulkan apa yang dikutip oleh al-Khallal, yaitu ‘Umar bin al-Husain al-Khiraqi dan Abu al-Aziz bin Ja’far Gulam al-Khallal. Mereka memiliki banyak esai tetapi hanya beredar luas buku al-Mukhtasar karya al-Hiraqi, yang memiliki 2.300 edisi.

Muwaffaq ad-Din ibn Qudamah menyusun ayat tersebut menjadi tiga belas jilid besar yang disebut Kitab al-Mughni, sebuah kitab fiqh yang harus dijadikan landasan utama mazhab Hanbali.

Baca Juga: Biografi Hamzah Fansuri (997 H/1589 M), Pemikiran, Karya & Pengaruhnya Terhadap Dunia Islam

Metode Istinbath Imam Ahmad ibn Hanbal

Imam Ahmad ibn Hanbal menganggap Imam Syafi’i sebagai guru besarnya, oleh karena itu di dalam pemikiran ia banyak dipengaruhi oleh Imam Syafi’i. Thaha Jabir Fayadh al-Uwani mengatakan bahwa cara ijtihad Imam Ahmad ibn Hanbal sangat dekat dengan cara ijtihad Imam Syafi’i Ibn Qoyyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa pendapat-pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal dibangun atas 5 dasar:

  1. Nash dari al-Qur’an dan sunnah (Hadits yang shahih)
  2. Fatwa para sahabat Nabi SAW
  3. Fatwa para sahabat yang masih dalam perselisihan
  4. Hadits mursal dan hadits dha’if,
  5. Qiyas

Bila dibandingkan dengan mazhab-mazhab lain sebelumnya (seperti mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i), Mazhab Hanbali tidak tersiar (tidak semasyhur mazhab lainnya terutama mazhab Syafi’i walaupun demikian mazhab Hanbali merupakan salah satu dari mazhab yang terbesar dan banyak diikuti umat Islam.

Barangkali hanya itu saja ulasan tentang biografi Imam Ahmad ibn Hambal dalam perjuangannya dalam merumuskan hadist hingga akhir hayatnya. Semua itu karena rasa cinta dan kasihnya yang hanya diperuntukkan kepadan-Nya. Wallahua’lam!