Surau.co – Riwayat hidup Attar selalu tergambar dalam nuansa kedamaian yang senantiasa mengarahkan kita sebagai hamba, untuk selalu bersentuhan dengan dengan sang Khaliq pada setiap zaman.
Modernisme dan postmodernisme dijelaskan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terbukti tidak mampu memberikan kenyamanan, tujuan, dan makna dari suatu kehidupan. Memang, modernisme mempengaruhi perkembangan gagasan dan cita-cita manusia atau dengan bahasa lain dehumanisasi.
Orang-orang modern semakin cemas dan kehilangan pandangan akan keilahian dan transendensi, sehingga kegersangan dan krisis spiritual mudah ditangkap. Akibatnya, oleh Ali Maksum, dalam buknya yang berjudul, “Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern: Tela’ah Signifikansi Konsep Tradisionalisme Sayyid Husein Nasr”, orang-orang saat ini biasanya gampang stres, depresi atau terasing, bahkan mereka terasing dari diri mereka sendiri di atas segalanya selain Tuhan.
Perbedaan antara cita-cita dan fungsi agama tersebut di atas berasal dari modernitas di satu sisi dan realitas umat beragama, di sisi lain, menunjukkan lemahnya peran agama dalam masyarakat.
Bahkan sejak orang memahami agama, tampaknya praktik agama masih dianggap sebagai pengetahuan resmi. Dimana pemahaman masyarakat dan pengamalan agama belum mencapai titik di mana semangat menghargai esensi agama. Konsepsi dan praktik keagamaan seperti itu memiliki pengaruh yang sangat minim pada perkembangan moral.
Apalagi sebagaimana ditulis oleh Achlami HS, “Tasawuf Sosial dan Solusi Krisis Moral”, 2015, jika agama hanya dimanfaatkan tanpa ilmu dan amalan sebagai tanda pengakuan dasar.
Di setiap zaman, setiap umat manusia selalu tergambar manis dan indah bagaimana cara memperjuangkan ajaran Nabi. Atau dalam tradisi Islam sendiri, disebut sebagai estetika yang merupakan salah satu jalan spiritual yang selalu berhubungan dengan religiusitas.
Riwayat Hidup & Kesufian Attar
Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim Farid Al-din al-Attar atau Abu Thalib, lahir Pada tahun 1120 M, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa ia lahir pada tahun 1119 M / 523 H di bagian timur laut Iran, yaitu Nishapur Persia.
Nama “Attar” adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat untuk menunjuk seorang ahli minyak atau ahli kimia, seperti seorang dokter, gelar ini sangat cocok untuknya. Idris Shah mengatakan bahwa ayah Attar meninggalkannya sebuah toko obat, “Attar” menjadi nama yang membentuk notasi yang cocok untuk gaya Sufi dari nama keluarganya.
Selain itu, sering juga disebut dengan panggilan “Si Penyebar wangi”. Bahakn dalam setiap karya yang ia tulis, Attar tidak pernah menuliskan biografinya, sehingga sangat sedikit orang yang mengetahui kisah hidupnya.
Tidak hanya kelairannya saja yang susah diketahui oleh banyak orang, kematiannya pun juga demikian, namun dalam beberapa pernyataan bahwa Attar meninggal pada tahun 1230 M meskipun waktu kematian yang tepat tidak diketahui, diperkirakan bahwa ia hidup sampai 110 tahun.
Namun demikian, kisah hidup Attar oleh sebagian besar orang dianggap sangat legendaris, termasuk penyebab kematiannya oleh para perajurit Jeghis Khan.
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, masa muda Attar, seperti anak muda pada umumnya, mereka mulai belajar dengan membaca Al-Quran, kemudian dengan mempelajari mata pelajaran agama lain, tetapi tidak hanya di bidang kedokteran dan farmasi, Faridudin juga fasih dalam bidang filsafat, teologi, astronomi, dan hadits.
Attar juga berada di Masyhad selama sekitar 13–36 tahun. Selama di sana, ia belajar tidak hanya teologi tetapi juga kedokteran di Majd ad-Din al-Baghdad.
Seiring waktu, Attar juga menunjukkan minat pada bidang kesusastraan, terutama dalam prosa dan puisi. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh dinasti Seljuk yang mengembangkan puisi mistik Persia yang berkembang pesat, mengikuti contoh mazhab fiqh.
Tidak diketahui kapan Attar mempelajari dunia sufi, tetapi ada anekdot yang masih digunakan sebagai referensi, seperti kutipan Abdul Hadi dan Dawlat Syah.
Alkisah tiba-tiba seorang lelaki tua miskin muncul, saat itu Attar sedang bersama temannya di pintu toko parfumnya. Dalam benak Attar, orang miskin itu ingin mengemis, dirinya segera bangkit dari tempat duduknya, menegur dan mengusir dari tokonya.
Si miskin menjawab dengan tenang: “Jangankan meninggalkan tokomu, meninggalkan dunia dan kemegahannya ini bagi ku tidak sukar! Tetapi bagaimana dengan kau (Attar)?”
Attar tersentak, lalu menjawab spontan: “Bagiku juga tidak sukar meninggalkan duniaku yang penuh kemewahan ini!.”
Fakir tua dalam khirqah yang suram itu jatuh mati tiba-tiba tepat saat Attar sebelum menyelesaikan jawabannya, hingga dirinya sangat terkejut dan segera mungkin menguburkan orang malang itu dengan benar.
Kematian lelaki tua itu meninggalkan bekas yang dalam pada semangat Attar. Kata-katanya terus terngiang di telinganya dan Attar akhirnya memulai perjalanan konsentrasinya di bawah bimbingan Syekh Buknaddin dan kemudian di bawah bimbingan Abu Sa’id Abi al-Khair.
Selain itu, Attar juga mengembangkan dan melatih tasawuf dengan membaca buku-buku tasawuf yang disusun oleh para ulama sufi kuno, seperti karya Abu Muammad Ja’far bin Muḥammad al-Khuldi, berjudul Hikayat al-Masyayikh, Abu Nasr al- Sarraj, dengan kitab Alluma’, ‘Abd al-Raḥman Muḥammad container usein al-Sulami, dengan kitabnya Tabaqat al-Shufiyah, Abu Qasim al-Qusyairi, al-Risalat al-Qusyariyah, karya al-Ḥujwiri, dengan kitab Kasyf al-Maḥjub dan kitab-kitab sufi lainnya yang pada saat itu sedang trends.
Seperti kebiasaan penyair Persia, yang senang mengunjungi berbagai negara untuk mencari pengikut atau memperkaya pengalaman mereka, Attar juga mengunjungi Mesir dan Damaskus, antara lain; Mekah, Turkestan, dan India. Dalam hal ini, dirinya lebih fokus pada tujuan mengumpulkan karya-karya para sufi sekaligus menelusuri kisah dan sejarah mereka.
Attar telah bepergian selama sekitar 30 tahun. Setelah menyelesaikan perjalanannya, dia ditemani oleh penyelesaian pengalaman spiritualnya, sampai dia kembali ke tempat kelahirannya di Nishapur dan tinggal di sana selama sisa hidupnya.
Bagi Taftazani, Attar berkesempatan menggendong Rumi kecil ketika pindah bersama ayahnya dari Balkh pada tahun 609, selanjutnya Ia pun meramalkan bahwa anak laki-laki (Rumi) nantinya akan menempati tempat penting dalam tasawuf.
Idris Shah menjelaskan bahwa di masa tuanya Attar dikunjungi oleh seorang Rm muda, dan Attar membagikan salah satu bukunya kepada Rm.
Kemudian, Rumi melanjutkan untuk mempelajari lebih lanjut tentang dasar-dasar tasawuf yang disebutkan Attar. Rumi kemudian membandingkan dirinya dengannya dan mengatakan: “Attar telah melewati 7 kota cinta, sementara kita hanya sampai di satu jalan”.
Attar meninggal saat mengajar, karena Ia mengabdikan sisa hidupnya untuk mengajar. Tapi kejadian baru-baru ini dengannya telah menimbulkan keraguan tentang dia. Selama invasi Mongol ke Nishaphur, Attar ditangkap oleh bangsa Mongol.
Dalam kisah yang selalu berhubungan dengan kematian Attar, dikatakan bahwa ketika Ia dilempar ke tanah, seseorang lewat dan menawarkan ribuan dirham untuk menebusnya. Tetapi Attar memohon untuk tidak menyerah dengan harga seperti itu, melihat bahwa itu tidak layak untuknya.
Kemudian yang lain menawarkan sekarung jerami untuk menebusnya, dan Attar menerimanya. Mendengar hal itu, para prajurit Mongol menjadi sangat marah dan memenggal kepala Attar hingga terpisah dari tubuhnya. Peristiwa ini diyakini terjadi pada tahun 1220 M.
Popularitas Attar, yang sudah lama dikenal masyarakat Nisyapur, hal itu tidak lain karena kepiawaiannya menarik perhatian pasien dan kliennya dengan cara bercerita. Ketika tidak ada tamu, ia menulis cerita, puisi, pantung, dan juga prosa.
Baca Juga: Tafsir al-Thabari dan Riwayat Hidup Singkat Tentang Sang Mufasir 224 H
Karena alasan ini, Attar dianggap sebagai penyair mistik Persia yang sangat efektif. Meskipun jumlah pastinya tidak diketahui secara jelas bahwa hasil yang dia renungkan menempati banyak halaman buku. Al-Taftazani menyebutkan karya Attar dengan sekitar 40 buku.
Begitu juga dengan pengakuan Idris Shah melaporkan 114 buku, sementara Nott tidak menyebutkan jumlah judulnya tetapi memperkirakan bahwa Attar telah menulis hampir 200.000 baris puisi dan ditambahkan ke karya prosanya.
Di antara karya-karya Attar yang paling terkenal adalah Tadzkirat al-Awliya’ (Anekdot Para Wali) dan Divine Nameh (Buku Ilahi). Buku ini menjelaskan tentang 6 kondisi jiwa yang terdapat dalam diri manusia yaitu ego, imajinasi, akal, rindu, nafsu, ilmu, rindu perpisahan, dan rindu persatuan.
Dia menjelaskan semua ini kepada seorang raja dan enam anaknya, masing-masing putranya meminta sesuatu dari wasiatnya, setelah itu raja mengumpulkan wasiatnya dan mendidiknya untuk mencapai sesuatu yang lebih mulia. Buku lainnya adalah Muṣībat Nāmeh (Kitab Penderitaan). Buku ini menceritakan kisah seorang sufi yang mencari yang absolut.
Ia mengembara dalam sebuah ekspedisi dan mengalami 40 kondisi yang ia alami dalam proses penciptaan. Dalam petualangan ini, ia menjelajahi semua ciptaan dengan gelisah siang dan malam. Karya lainnya adalah Asrar-Nameh (Kitab Rahasia), yang berbeda dengan karya sebelumnya yang menggunakan bentuk cerita. Kali ini, Attar hanya menulis cerpen untuk meningkatkan kondisi moral atau spiritual para pembacanya.
Sementara itu, karya besarnya, Manthiq al-Tayr (Musyawarah Burung), dianggap sebagai pengantar yang sempurna untuk jalan spiritual yang pernah ditulis dalam puisi dan syair, khususnya dengan 7 lembah yang menggambarkan kesulitan yang akan dialami setiap jiwa dalam perjalanan menuju Tuhan. Karya-karya Attar telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Prancis, Inggris, dan Indonesia.
Sekilas Tentang Mantiq al-Tayr Karya Attar
Salah satu karya yang tak kalah monumental dari Tadzkiratul Auliya’ Attar, adalah Manthiq al-Tayr, yang menceritakan tentang pertemuan burung-burung dunia dengan raja-raja Burung (Allah). Manthik al-Tayr menggambarkan perjalanan burung melalui tujuh lembah untuk menceritakan kisah pengalaman spiritual seorang sufi.
Dalam tulisannya, burung bernama Attar adalah jiwa manusia yang merindukan tuhan dan esensinya. Dalam keadaan ini, jiwa yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk memasuki alam lain di luar tubuh dan pikiran manusia itu sendiri, seperti burung yang dapat terbang dengan menggunakan dua sayap.
Para Sufi percaya bahwa jiwa manusia memiliki dua sayap, atau dengan kata lain, ketika jiwa mendambakan Tuhan dan dirinya sendiri, maka pikiran dan cintanya (pikiran) secara tidak langsung membawanya dalam perjalanan menuju Tuhan.
Ini bukan hanya satu atau dua burung saja, burung, di sisi lain, bergerak dengan cara yang berbeda. Sifat dan kecendrungan yang berbeda dapat dilihat pada disparitas antar burung. Perbedaan-perbedaan ini, sering kali didasarkan pada semua perbedaan ego yang mengarahkan orang pada perjalanan menuju kebenaran sejati.
Attar mengatakan dia memiliki pemandu yang menuntunnya dalam perjalanan spiritual, dan namanya adalah Burung Hudhud. Burung huddhud melambangkan jiwa manusia, yang tidak biasa untuk seorang sufi atau guru spiritual yang telah mencapai tingkat Makrifat yang lebih tinggi.
Attar mencatat bahwa burung memiliki tujuan atau objek yang mereka tuju dalam perjalanan ini. Simurgh adalah objek target. Dalam bahasa Persia, Simurgh berarti tiga puluh secara simbolis, Simurgh adalah tanda sifat manusia, sekaligus esensi dari kebenaran agung.
Simurgh bukanlah sebuah lembah, melainkan sebuah puncak gunung raksasa yang menyerupai alam manusia, dengan puncak yang megah dan tertinggi. Dengan demikian, kisah pencarian burung menjadi metafora bagi jiwa manusia untuk terbang mencari Alam yang hakiki.
Tidak berhenti di Simurgh, dengan puncak raksasa yang menyerupai sifat manusia. Attar mewakili bukit Qaf, mewakili tingkat kesadaran atau pengalaman spiritual tertinggi. Bukit adalah media interaksi antara manusia dengan Tuhan, serta alamnya sendiri, dalam puisi sufi.
Dengan Tujuh Lembah, Attar menggambarkan tahapan perjalanan ilahi jiwa manusia menuju Cinta Ilahi. Beragamnya tantangan dan pengalaman yang dihadapi jiwa-jiwa dalam perjalanan spiritualnya pada tahapan yang berbeda atau pada setiap perjalanan tidak berakhir di situ, setiap lembah memiliki pengalamannya masing-masing.
Jalan Sufi menuju Tuhan didasarkan pada pengetahuan batin yang diperoleh melalui pintu hati yang paling dalam, bukan pada pengetahuan konvensional. Banyak orang yang terjebak di jalan Allah karena nalar yang rasional, seperti fiqh dan ilmu kalam, atau yang lainnya masih awal.
Maka perjalanan ilmu-ilmu kerohanian ini harus terus berlanjut hingga mereka bisa melakukan riyadah dan mujahadah. Menurut Attar, pengetahuan rasional bukanlah ilmu pamungkas tetapi dapat membantu perjalanan.
Dalam Asrar Nameh, Attar menyarankan bahwa untuk mencapai penebusan seseorang harus mengikuti jalan tarekat, alam dan syari’at dengan sempurna dan selaras atau dengan kata lain, itu dimulai dengan studi penelitian berbasis akal, diikuti dengan iman dan penentuan.
Seperti sufi pada umumnya, sebelum memasuki ranah sufi seseorang harus melakukan mujahadah dan riyadhah. Selama riyadah dan mujahadah yang berkepanjangan untuk mencapai Allah, serangkaian pemurnian jiwa, tekad, persiapan mental, dan pemurnian niat dilakukan. Ketika seseorang mencapai akhir perjalanannya, ia berada dalam keadaan lahir dan mati, mati untuk dirinya sendiri dan mati untuk Tuhannya.
Dalam posisi ini, Attar mengingatkan bahwa penampakan seorang sufi kepada Tuhan tidak berbentuk Hulul atau Ittihad.
Untuk memahami seluk-beluk tasawuf, ini tidak hanya menjelaskan bahwa jazabah adalah hadiah dari-Nya. Hingga misi tidak mau pergi jauh untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
Attar menerbitkan bukunya Tazkiratul Aulia dalam rangka membatasi dan mengkaji kearifan dan kearifan para sufi. Diyakini bahwa untuk menulis buku ini, Attar membaca tidak kurang dari 710 buku tasawuf.
Terlepas dari dorongan teman-temannya, dia menulis buku itu karena dia percaya bahwa ajaran para sufi itu seperti tentara besar yang mengangkat dan menguatkan hati orang-orang beriman yang menghadapi serangan atau tantangan setiap saat dalam misi yang panjang dan sulit dapat membantu pembangunan dan menumbuhkan cinta abadi kepada Tuhan.
Jalan menuju Tuhan dibuat dengan jalan hati, dengan dukungan penuh kemurnian jasmani dan rohani, seperti yang digambarkan. Maqam mahabbah (cinta murni) adalah salah satu stasiun teraman dan paling bermakna, karena memastikan bahwa ekspedisi tetap bersemangat dan penuh kehidupan.
Dengan kata lain, seperti kupu-kupu yang terbang di malam hari dalam terang api hingga terbakar oleh dorongan cinta sejati, demikian pula perjalanan spiritual yang panjang dan berat harus dikobarkan dan dinyalakan terus menerus oleh Nyala api cinta yang selalu bergejolak dan tidak pernah padam.
Perjalanan selangkah demi selangkah melalui riyadah dan mujahada. Langkah selanjutnya lebih dari yang diharapkan karena unsur jazabah datang dari-Nya untuk perjalanan singkat karena dorongan kesenangan-Nya. Oleh karena itu, ada banyak tanda dan sinyal ilahi di dekat manusia, tetapi manusia sering berpuas diri atau lalai, yang membuat tanda-tanda dan sinyal ilahi aneh bagi manusia sampai mereka menghilang.
Kekuatan fisik dan mental yang tidak terkendali oleh kelemahan mental karena stres, ketidaktaatan, dan semua faktor yang menyebabkan manusia berpuas diri dan mengabaikan akan menghapus kasih karunia Allah. Akibatnya, riyadah dan mujahadah dibutuhkan lebih sering dari biasanya untuk manifestasi dan kemurnian spiritual, dan jiwa menjadi sensitif terhadap atribut dan sinyal ilahi.
Itu dia sekilas tentang riwayat hidup Faruddin Attar, seorang sufi yang mengisyaraktkan hidupnya sebagai burung, atau dalam bahasa lain disebut sebagai Musyawarah Burung-Burung.