Surau.co – Dalam kitab Siyar A’lam al-Nubala dijelaskan bahwa As’ad bin Zurarah adalah putra pasangan Zurarah bin ‘Udas bin ‘Ubaid dan Su’ad al-Furai’ah binti Rafi’ bin Mu’awiyah. Ibunya adalah bibi dari Sa’ad bin Mu’adz, sahabat yang gugur di perang Khandaq. Ayah As’ad adalah tokoh yang disegani dari Bani al-Najjar, yang kemudian pengaruhnya turun kepada As’ad, atau bahkan lebih besar pengaruh As’ad dibanding ayahnya.
As’ad menikah dengan perempuan bernama ‘Umairah binti Sahal bin Tsa’labah. Istrinya sama-sama dari kalangan Bani al-Najjar. Dari pernikahan ini, As’ad memiliki tiga orang anak yaitu Habibah binti As’ad, Kabsyah, al-Furai’ah, semuanya masuk Islam bersama As’ad. Menurut keterangan al-Thabaqat al-Kubra, seperti halnya Rasulullah SAW, As’ad bin Zurarah juga tidak memiliki anak laki-laki yang hidup sampai dewasa.
Pada suatu masa sebelum Islam datang, praktik haji telah dilakukan orang-orang dari seluruh jazirah Arab. Setiap tahun pada bulan Dzulhijjah mereka berbondong-bondong menuju Masjidil Haram untuk melakukan rangkaian haji termasuk thawaf mengelilingi ka’bah. Namun, tidak seperti pada masa Islam, di sekeliling bahkan di dalam ka’bah terpajang banyak sekali berhala-berhala.
Pada tahun ke-13 kenabian atau setahun sebelum hijrah, As’ad bin Zurarah pergi dari Yatsrib menuju Mekah untuk melakukan haji seperti orang-orang Arab lainnya yang juga melaksanakan haji. Belum ada bayangan sedikitpun bahwa ia akan bertemu dengan Rasulullah SAW. Ketika tiba di Mekah, As’ad bin Zurarah menuju rumah kenalannya bernama ‘Utbah bin Rabi’ah untuk beristirahat.
Di tengah percakapannya, As’ad bin Zurarah bercerita kepada ‘Utbah bin Rabi’ah tentang berbagai konflik yang terjadi di Yatsrib, termasuk konflik berkepanjangan antar dua kabilah, yakni Bani Aus dan Khazraj. ‘Utbah bin Rabi’ah pun memberi penjelasan kepada As’ad, “Kami pun sedang mendapatkan masalah baru yang telah menyita waktu kami sehingga tidak dapat berkomentar apa pun tentang masalah kalian.”
As’ad lalu bertanya, “Memangnya apa masalah kalian, bukankah kalian hidup dengan aman di tempat yang aman?”
‘Utbah menjawab, “Seorang pria telah muncul di tengah-tengah kami mengaku sebagai utusan Tuhan. Ia menyebut kami tidak memakai akal, melecehkan para Tuhan berhala kami. Masyarakat kami menjadi terpecah belah dan pemuda kami menjadi rusak.”
As’ad heran lalu bertanya lagi, “Dari kabilah mana ia berasal?”
‘Utbah menjelaskan, “Dia putra Abdullah bin Abdul Muthalib dan kebetulan dari keluarga terpandang. Dia sekarang datang ke Masjidil Haram. Jika engkau kesana, jangan dengarkan ucapannya dan jangan bertutur satu kata pun dengannya, karena ia penyihir handal.”
“Aku harus kesana karena aku sudah berihram dan akan melaksanakan thawaf di Ka’bah.” kata As’ad. ‘Utbah pun menimpali, “Kalau begitu, letakkan sedikit kapas di telingamu agar ucapannya tidak terdengar olehmu.”
Kemudian As’ad bin Zurarah pun pergi dan masuk ke Masjidil Haram dengan meyumpal kedua telinganya dengan kapas dan memulai thawaf. Ia melihat Rasulullah SAW di samping ka’bah dikelilingi sekelompok orang yang sedang mendengarkan ucapannya dengan seksama. Ia melirik ke kerumunan itu dan cepat-cepat berlalu. Pada putaran yang kedua, As’ad bergumam, “Tidak ada orang yang lebih bodoh dari aku, bagaimanan mungkin sebuah cerita penting sedang diperbincangkan di Mekah, sementara aku tidak tahu apa-apa tentangnya.”
Lalu As’ad membuang kapas dari telinganya dan ikut duduk dalam kerumuman di sekitar Rasulullah SAW untuk mendengar ucapannya. Ia tidak menemukan apa pun yang disebut sihir oleh ‘Utbah. Apa yang didengarnya adalah cahaya petunjuk yang menerangi hatinya dan dapat diterima akalnya. As’ad pun mendekati Rasulullah SAW dan bertanya, “Kemana engkau akan mengajak kami?” Rasulullah SAW dengan tenang menjawab, “Aku mengajak kalian kepada ajaran tauhid dan aku adalah utusan Allah SWT.” Rasulullah SAW lalu membacakan QS al-An’am [06]: ayat 151 – 154.
As’ad bin Zurarah terpesona dengan lantunan ayat-ayat al-Quran. Hatinya terguncang hebat. Kemudian Ia pun mengucapkan syahadat, “Lailaaha illallah Muhammadur Rasulullah.” Cerita ini dapat ditemukan dalam kitab al–Thabaqat al-Kubra karya Muhammad bin Sa’ad al-Baghdadi atau populer dengan nama Ibnu Sa’ad.
As’ad bin Zurarah juga megikuti perjanjian aqabah kedua. Pada malam perjanjian, As’ad bertemu dengan Rasulullah SAW dan memegang tangan beliau seraya berkata dengan suara lantang, “Wahai hadirin sekalian! Apakah kalian sadar atas bai’at kalian kepada Rasulullah SAW? Sungguh kalian berbai’at dengan penuh keyakinan untuk berjuang melawan orang-orang Arab, ‘Ajam, golongan jin, dan manusia.”
Para peserta bai’at, sebanyak 74 orang itu pun menjawab, “Kami memerangi orang yang memerangi kami, dan berdamai dengan orang yang berdamai.”
As’ad bin Zurarah kemudian bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, berilah kami syarat!”
Rasulullah SAW pun bersabda, “Kalian berbaiat kepadaku untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan bersaksi bahwa aku adalah utusan-Nya, mendirikan salat, menunaikan zakat, taat dan patuh, serta tidak berselisih atas suatu urusan dengan orang yang ahli dalam urusan tersebut, dan tidak berselisih tentang apa yang aku larang atas kalian dan keluarga kalian.”
Secara serentak mereka menjawab, “Baik.”
Salah seorang dari mereka kemudian bertanya, “Baik Rasulullah, syarat-syarat ini untukmu wahai Rasulullah, lalu apa balasan untuk kami?”
Rasulullah SAW menjawab, “Bagi kalian surga dan pertolongan (al-jannah wa al-nashr).”
Baca juga: Al Aqra bin Haabis, Pembesar Bani Tamim dan Seorang Majusi yang Masuk Islam