Tak Berkategori  

Sunan Drajat, Biografi Singkat

Google News
Sunan Drajat
Sunan Drajat

Surau.co – Sunan drajat Maulana Syarifudin, seorang da’i besar yang juga merupakan salah seorang pendiri kerajaan Demak, nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M.

Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog, pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.

Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni Suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, diantaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.

Perjalanan Hidup Sunan Drajad

Menurut sejarah, Sunan Drajad lahir pada tahun 1470 M. Meskipun tempat kelahiran Sunan Drajad masih menjadi perdebatan, namun banyak yang mengatakan bahwa orangtuanya berasal dari Surabaya. Orang tua beliau dari jalur ayah bernama Raden Rahmat yang terkenal dengan Sunan Ampel, salah satu anggota Walisongo yang memiliki wilayah dakwah di daerah Ampel Denta, Surabaya, Jawa Timur.

Sementara dari pihak ibu bernama Nyai Ageng Gede Manila atau Candrawati, putri dari Arya Teja atau Wilwatikta, yang agaknya masih memerlukan kejelasan mengenai siapa sebenarnya kedua nama itu. Hanya saja, beberapa sumber lebih pada kecenderungan menyebutkan bahwa Nyai Ageng Gede Manila adalah putri Arya Teja IV, seorang adipati Tuban yang masih memiliki nasab dengan Ronggolawe.

Namun, jika ditarik garis nasab ke atas lagi, maka antara Sunan Drajad dengan Walisongo yang lain, yakni Sunan Giri adalah sama-sama keturunan ke-24 Nabi Muhammad SAW. Hingga urutan yang ke-23, keduanya masih satu nasab. Hanya saja dibedakan oleh kedua orangtuanya, yakni ayah Sunan Giri bernama Maulana Ishak, sementara ayah Sunan Drajad bernama Raden Rahmat.

Ketika masa kanak-kanak hingga remaja, Sunan Drajad banyak dibesarkan di lingkungan ayahnya sendiri di Surabaya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa pengetahuan keagamaan banyak didapatkan dari sang ayah dan saudara tuanya sendiri, Raden Makdum Ibrahim. Pendidikan yang diperoleh dari ayah dan saudaranya tentu mulai dari tingkat dasar, yaitu mulai membaca al-Qur’an, berlanjut dengan pelajaran yang terkait dengan pelajaran mengenai syariat Islam.

Berguru pada Sunan Ampel

Menurut tradisi yang berkembang, ada kecenderungan seorang kiai akan menyuruh anaknya untuk mengaji atau belajar kepada kiai lain yang dipercaya memiliki ilmu lebih tinggi, baik itu dahulunya adalah kawan mengaji maupun (mantan) santrinya. Tradisi itu tampaknya juga berlaku pada diri Raden Qasim saat masih remaja. Seperti diketahui umum bahwa Sunan Ampel adalah guru semua wali, termasuk Syarif Hidayatullah yang merupakan santri Ampel Denta, Surabaya, yang setelah lulus memperoleh tugas mengembangkan agama Islam di Cirebon.

Sunan Ampel kemudian menyuruh Raden Qasim untuk belajar ilmu agama kepada Syarif Hidayatullah yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan wilayah dakwahnya di Cirebon. Konon, dari Sunan Gunung Jati inilah Sunan Drajad mendalami ilmu syariat, hakikat, dan makrifat. Bahkan, di Cirebon juga, Raden Qasim mendapat wejangan ilmu sejati bersama Pangeran Makdum, Pangeran Welang, dan Pangeran Aryadillah.

Pangeran ini semuanya disebut Pangeran Palakaran karena derajat mereka belum sampai ke tingkat wali, baru sebatas menuju kepada tingkat wali, kecuali Raden Qasim yang telah mencapai Drajad wali setelah diberi ilmu sejati oleh Sunan Gunung Jati.

Selama belajar di Cirebon, Raden Qasim lebih dikenal dengan sebutan Syekh Syarifuddin dan bergelar Sunan Drajad. Pangeran Drajad muncul Drajad-nya menjadi anggota Walisongo melalui musyawarah para wali di Balai Sidang Para Wali di kompleks Kraton Pakungwati setelah Syekh Siti Jenar dihukum pancung.

Wilayah Berdakwah

Sunan Drajad sendiri memilih lokasi di wilayah pesisir Utara Jawa yang dianggap sesuai dengan persetujuan orangtuanya untuk mengembangkan ajaran Islam. Alasan lokasi itu juga mungkin diilhami oleh sebuah fakta bahwa pantai Utara Jawa merupakan tempat Islamisasi yang dilakukan oleh ulama lainnya.

Pemilihan tempat tinggal itu dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi sosial, politik, dan ekonomi pada zaman akhir Majapahit. Tempat-tempat tersebut, selain menjadi pusat kegiatan ekonomi,  juga menjadi sentral perkembangan budaya Jawa, meliputi bidang arsitektur dan kesusastraan. Pada saat yang sama, kota pesisiran Jawa juga menjadi pusat kaum intelektual, terutama pada periode transisi, yaitu abad 15 sampai abad 16.

Keberadaan Sunan Drajad sendiri di Drajad sebagai tokoh penyebar agama Islam diperkirakan mulai tahun 1487 sampai tahun 1522 sebagai angka tahun wafatnya. Hal itu bertetapan dengan kurun waktu ketika Jawa Timur sedang mengalami instabilitas politik dan keamanan. Dampaknya, kejahatan dan kriminalitas di daerah-daerah merajalela, termasuk di pedalaman pantai utara Jawa.

Sumber-sumber sejarah tradisional memberitakan bahwa kehidupanrakyat waktu itu sangat buruk. Berita Cina juga menyebutkan bahwa PelabuhanTuban saat itu tidak lagi disinggahi oleh kapal-kapal dari negerinya karena alasan keamanan. Ironisnya, dalam kondisi semacam itu, boleh jadi ada juga segelintir orang yang tetap menikmati kehidupan makmur, terutama golongan elite, dalam hal ini penguasa lokal sebagai penerima upeti dari rakyat, para penarik upeti, dan para saudagar terutama yang  berada  di kota-kota  besar atau  pelabuhan.

Catur Piwulang Sunan Drajat

Nah, pada konteks zaman yang seperti inilah Sunan Drajad secara bijak kemudian memberikan wejangan yang ditujukan kepada semua pengikutnya, tidak terkecuali golongan ekonomi atas, untuk berbuar lebih dan bermanfaat bagi golongan miskin. Adapun Catur Piwulang yang diajarkan beliau sebagai berikut:

paring teken maring kang kalunyon lan wuto

(berilah tongkat kepada mereka yang menapaki jalan licin dan buta)

paring pangan marang kang kaliren

(berilah makan kepada mereka yang kelaparan)

paring sandang marang kang kawudan,

(berilah pakaian kepada mereka yang telanjang)

paring payung kang kodanan,

(berilah payung kepada mereka yang kehujanan)

Sunan Drajad terkenal dengan kearifan dan kedermawanannya. Beliau menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tidak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. Salah satu wejangannya adalah ”Bapang den simpangi, ana catur mungkur,” (Jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu).

Dakwah bil-hikmah Sunan Drajat

Baca Juga: Sunan Muria, Biografi Singkat

Beliau memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara, yaitu: Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Ketiga, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah. Keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dan, adapun pokok ajaran beliau adalah Catur Piwulang, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Dalam beberapa naskah, Sunan Drajad disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning (ketika menetap di Desa Drajad), beliau mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga. Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 M. Sedangkan menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Beliau wafat pada tahun 1522, dan dimakamkan di Desa Drajad, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Pewarta: Nurul HidayatEditor: Nurul
Nurul Hidayat
Mau tulisan kamu dimuat di Surau.co seperti ? Kirim Tulisan Kamu