Khazanah
Beranda » Berita » Fiqih Energi Terbarukan: Jawaban Islam atas Krisis Energi dan Amanah Lingkungan

Fiqih Energi Terbarukan: Jawaban Islam atas Krisis Energi dan Amanah Lingkungan

Melihat Alam yang Indah: Mengagumi Ciptaan dan Meningkatkan Keimanan

Dunia saat ini menghadapi tantangan besar. Krisis energi menjadi ancaman nyata bagi kehidupan. Ketergantungan kita pada bahan bakar fosil sangat tinggi. Padahal, sumber energi ini terbatas dan merusak lingkungan. Polusi udara dan perubahan iklim adalah dampaknya. Islam, sebagai agama yang paripurna, menawarkan pandangan mendalam. Ajaran Islam memberikan solusi melalui konsep amanah dan kemaslahatan umum.

Tulisan ini akan mengulas fiqih energi terbarukan. Kita akan melihat bagaimana Islam memandang krisis energi. Serta bagaimana ajaran agama mendorong penggunaan sumber energi bersih dan berkelanjutan.

Manusia sebagai Khalifah: Amanah Menjaga Bumi

Allah SWT menciptakan manusia dengan tugas mulia. Manusia adalah khalifah fil ardh atau pemimpin di muka bumi. Status ini bukan berarti kekuasaan tanpa batas. Sebaliknya, ini adalah sebuah amanah atau kepercayaan besar. Manusia wajib mengelola dan merawat bumi dengan baik. Tanggung jawab ini mencakup semua sumber daya alam di dalamnya. Termasuk sumber daya energi.

Eksploitasi energi fosil secara berlebihan telah merusak bumi. Hal ini bertentangan dengan prinsip amanah. Penggunaan energi yang merusak sama dengan mengkhianati kepercayaan dari Allah. Oleh karena itu, mencari alternatif energi bersih menjadi kewajiban. Ini adalah wujud nyata dari peran kita sebagai khalifah yang bertanggung jawab.

Larangan Merusak (Fasad) dalam Al-Qur’an

Islam secara tegas melarang perbuatan merusak. Al-Qur’an menyebutnya sebagai fasad fil ardh. Kerusakan ini mencakup segala bentuk, baik sosial maupun lingkungan. Polusi akibat pembakaran batu bara dan minyak adalah bentuk fasad yang nyata. Tindakan ini mengotori udara, air, dan tanah yang Allah ciptakan dengan sempurna.

Bahaya Patung dan Gambar Tokoh: Awal Mula Kesyirikan dalam Sejarah Umat Manusia

Maka, setiap upaya yang mencegah kerusakan adalah ibadah. Mengembangkan teknologi energi terbarukan sejalan dengan perintah ini. Energi matahari, angin, dan air tidak menghasilkan polusi berbahaya. Penggunaannya membantu menjaga keseimbangan ekosistem. Ini adalah cara kita mematuhi larangan Allah untuk tidak berbuat kerusakan di muka bumi.

Maslahah Ammah: Kemaslahatan Umum sebagai Prioritas

Prinsip penting dalam fiqih Islam adalah maslahah ammah. Artinya adalah kemaslahatan atau kebaikan untuk umum. Setiap kebijakan atau tindakan harus mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas. Prinsip ini juga harus mampu mencegah mudarat atau keburukan. Krisis energi dan kerusakan lingkungan jelas merupakan mudarat besar.

Peralihan ke energi terbarukan sangat sesuai dengan prinsip maslahah ammah. Energi bersih menjamin kesehatan masyarakat. Energi ini juga menjaga keberlanjutan sumber daya untuk generasi mendatang. Hal ini ditegaskan oleh para ulama kontemporer.

Prof. Dr. KH. M. Cholil Nafis, Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, menyatakan:

“Peralihan ke energi terbarukan adalah suatu keniscayaan. Hal ini untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia dan alam. Dalam Islam, menjaga lingkungan adalah bagian dari iman. Penggunaan energi terbarukan sejalan dengan prinsip maslahah mursalah (kemaslahatan umum) yang menjadi salah satu sumber hukum Islam.”

Mengatasi Sikap Plin-Plan dalam Pandangan Islam

Pandangan ini menunjukkan bahwa inovasi energi adalah bagian dari ijtihad ulama. Tujuannya untuk menjawab tantangan zaman demi kebaikan bersama.

Energi Terbarukan dalam Perspektif Fiqih

Bagaimana fiqih memandang langsung energi terbarukan? Para ahli fikih modern mengkategorikannya sebagai bagian dari fiqih lingkungan (fiqh al-bi’ah). Upaya ini adalah bentuk implementasi dari kaidah fiqih yang populer. Salah satunya adalah “mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat” (dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih).

Meskipun energi fosil memberi manfaat ekonomi, kerusakannya jauh lebih besar. Oleh karena itu, mencegah kerusakan lingkungan harus menjadi prioritas utama. M. Ali Yusuf, Dosen Fiqh Siyasah di UIN Sunan Kalijaga, menambahkan pandangan penting.

“Pengembangan energi terbarukan dapat dilihat sebagai bentuk ijtihad kolektif umat Islam. Ini adalah respons terhadap tantangan modern yang mengancam maqashid syariah (tujuan-tujuan syariah), terutama hifdz al-nafs (menjaga jiwa) dan hifdz al-bi’ah (menjaga lingkungan).”

Kutipan tersebut memperkuat argumen. Mengadopsi energi bersih bukan sekadar pilihan teknologi. Ini adalah implementasi dari tujuan utama syariat Islam itu sendiri. Yaitu menjaga jiwa, akal, keturunan, harta, dan tentu saja, lingkungan.

Dua Surat Pendek yang Sering Dibaca Nabi dan Makna Tauhid di Dalamnya

Kesimpulan: Kewajiban Moral dan Religius

Semua pilar argumen ini—mulai dari amanah sebagai khalifah, larangan merusak, hingga prioritas kemaslahatan umum—menarik sebuah benang merah yang sama. Krisis energi dan kerusakan lingkungan bukanlah isu sekuler semata. Bagi seorang Muslim, ini adalah persoalan akidah dan syariah. Islam memberikan panduan yang jelas melalui konsep amanah, larangan berbuat fasad, dan prinsip maslahah ammah.

Mendukung dan beralih ke energi terbarukan adalah sebuah keharusan. Ini adalah wujud nyata dari keimanan dan tanggung jawab kita sebagai khalifah. Sudah saatnya umat Islam menjadi pelopor dalam menjaga bumi. Salah satunya dengan memimpin transisi menuju energi yang bersih, adil, dan berkelanjutan untuk semua.

× Advertisement
× Advertisement