Surau.co
Menu Menu

Takjil, Asal Usul dan Tradisi

SURAU.CO. Tahun lalu, pas bulan Ramadhan viral tentang war takjil. Hampir semua media sosial membahas war takjil dengan berbagai macam keunikannya. Takjil yang memang tradisi khas bulan puasa kemudian berubah menjadi bagian dari kekayaan kuliner lokal yang khas selama bulan Ramadhan. Selain takjil adalah cermin dari kepedulian sosial.

Secara istilah takjil merujuk pada hidangan ringan yang dikonsumsi untuk berbuka puasa, khususnya selama bulan suci Ramadhan. Hidangan khas ini tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan fisik juga sarat dengan makna budaya dan spiritual dalam Islam. Asal usul kata "takjil" dan praktiknya memiliki akar yang mendalam dalam sejarah dan ajaran agama Islam. Tradisi tersebut hingga kini masih lestari di kalangan umat Muslim di seluruh dunia.

Secara etimologi "takjil" berasal dari bahasa Arab, tepatnya dari kataعجل dalam bentuk mashdar yang menjadi تعجيل yang berarti menyegerakan. Dalam konteks berbuka puasa, kata ini merujuk pada anjuran untuk segera berbuka begitu waktu Maghrib tiba. Hal tersebut sebagaimana ada dalam hadis Nabi Muhammad SAW. Salah satu hadis yang sering dikutip adalah:

"Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadis ini, umat Islam dianjurkan untuk tidak menunda-nunda berbuka puasa setelah matahari terbenam. Oleh karena itu, "takjil" mengacu pada hidangan yang dapat dikonsumsi dengan cepat untuk memenuhi anjuran tersebut. Seiring waktu, istilah "takjil" berkembang menjadi merujuk pada makanan atau minuman ringan yang biasa disajikan saat berbuka puasa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata takjil memiliki arti mempercepat dalam berbuka, sehingga takjil bermakna untuk menyegerakan berbuka puasa yang dilakukan ketika waktunya tiba yaitu saat sudah memasuki waktu magrib. Karena dalam Islam menyegerakan berbuka puasa adalah sebuah anjuran. Namun, seiring berjalannya waktu kata takjil diartikan oleh masyarakat Indonesia sebagai makanan atau minuman untuk mengawali buka puasa.

Dalam banyak budaya Muslim, takjil menjadi simbol dari ketaatan terhadap ajaran agama sekaligus sebagai sarana untuk memulihkan tenaga dengan cepat. Hidangan takjil biasanya berupa makanan atau minuman yang mudah dicerna dan kaya akan gula alami, seperti kurma, jus buah, atau hidangan manis lainnya, yang dapat segera meningkatkan kadar gula darah setelah berpuasa.

Perkembangan Takjil Antara Budaya Kuliner dan Kepedulian

Seiring berjalannya waktu, tradisi takjil berkembang menjadi lebih dari sekadar mengikuti anjuran agama. Di berbagai negara Muslim, takjil menjadi bagian dari kekayaan kuliner lokal yang khas selama bulan Ramadhan. Makanan dan minuman yang disajikan sebagai takjil sering kali mencerminkan identitas budaya dan cita rasa setempat. Beberapa contoh takjil populer di Indonesia seperti kolak, es buah, gorengan dan lain sebagainya

Perkembangan ini menunjukkan bagaimana takjil tidak hanya berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan fisik, tetapi juga sebagai sarana untuk melestarikan dan merayakan keragaman budaya kuliner di dunia Muslim. Lebih dari sekadar makanan atau minuman, takjil juga melambangkan semangat berbagi dan kebersamaan.

Masyarakat Indonesia selalu menyediakan hidangan berbuka puasa secara cuma-cuma di pinggir jalan atau di masjid. Praktik berbagi takjil ini tidak hanya mencerminkan kepedulian sosial, tetapi juga menguatkan ikatan komunitas. Bulan Ramadhan menjadi momentum untuk meningkatkan amal kebaikan, dan berbagi takjil adalah salah satu bentuk nyata dari semangat tersebut.

Dalam Kitab Busyra al-Karim bi Syarhi Masail al-Ta’lim karya Syeikh Said bin Muhammad mengatakan bahwa Allah Swt. menjanjikan ganjaran yang luar biasa bagi mereka yang berbagi takjil.

“Dan disunahkan memberi iftar atau buka puasa kepada orang yang berpuasa meskipun hanya dengan satu biji buah kurma atau seteguk minuman. Dan dengan memberikan makan malam lebih utama, berdasarkan sebuah riwayat hadis Rasulullah “Barangsiapa memberikan iftar kepada orang yang sedang berpuasa maka ia mendapatkan pahala orang yang berpuasa itu tanpa sedikit pun mengambil pahala dari orang yang berpuasa tersebut.”