SURAU.CO – Dalam sejarah Islam, kita mengenal banyak sosok sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang perjalanan hidupnya begitu menyentuh dan penuh hikmah. Salah satu di antaranya adalah Abu Darda’. Nama lengkapnya adalah ʿUwaimir bin Zaid bin Qais al-Khazraji al-Ansari, meski sebagian riwayat menyebutkan nasabnya sedikit berbeda. Ia berasal dari suku Khazraj di Madinah, seorang pedagang sukses yang awalnya sangat mencintai dunia dan bahkan memelihara berhala mewah di rumahnya. Namun, cahaya hidayah Allah merasuk ke dalam hatinya dan mengubahnya menjadi salah satu ahli Qur’an terbesar pada masa Rasulullah ﷺ.
Kehidupan Awal Abu Darda’
Abu Darda’ hidup dalam masyarakat Madinah sebelum Nabi hijrah. Sebagai seorang pedagang parfum dan minyak wangi, ia terkenal mapan, terpandang, dan memiliki reputasi baik dalam perniagaan. Rumahnya termasuk salah satu yang megah di Madinah, dan dalam rumahnya ia menyimpan sebuah berhala ukiran yang indah dan mahal, yang ia rawat dengan penuh perhatian. Ia bahkan memolesnya dengan minyak wangi dan menghiasinya dengan kain mahal.
Berbeda dengan sahabat-sahabatnya seperti Sa’ad bin Mu’adz atau Abdullah bin Rawahah yang lebih dulu masuk Islam, Abu Darda’ masih terikat kuat dengan keyakinan lamanya. Namun, ia tidak memusuhi Islam. Ia bersikap netral, meskipun hatinya belum tersentuh hidayah.
Meski berbeda keyakinan, hubungan keduanya tidak pernah putus. Abdullah sering mendatangi Abu Darda’, mengajaknya masuk Islam, dan merasa prihatin melihat sahabatnya itu masih tenggelam dalam kemusyrikan. Bagi Abdullah, kerugian besar bagi Abu Darda’ melewati setiap hari tanpa Islam.
Peristiwa Penghancuran Berhala: Titik Balik Hidayah
Kisah keislaman Abu Darda’ sangat menyentuh. Dalam riwayat bahwa Abdullah bin Rawahah, sahabat dekatnya yang telah memeluk Islam, merasa sedih melihat Abu Darda belum juga mendapatkan hidayah. Hingga suatu hari, ia masuk ke rumah Abu Darda ketika pemilik rumah sedang tidak berada di tempat. Tanpa ragu, Abdullah menghancurkan berhala milik Abu Darda hingga berkeping-keping.
Ketika Abu Darda pulang, ia melihat serpihan berhala tergeletak bersama pedang besi yang digunakan untuk memecahkannya. Ia tercenung, lalu berkata penuh kesadaran, “Seandainya engkau bisa menolak mudharat, mengapa engkau tidak membela dirimu sendiri?”
Kalimat itu menjadi titik awal perubahan besar dalam hidupnya. Abu Darda mulai merenungi arti kehidupan, hakikat Tuhan, dan kebodohan menyembah benda yang tak berdaya. Tak lama kemudian, ia mendatangi Rasulullah ﷺ dan mengucapkan syahadat. Pada saat itu, ia tergolong salah satu sahabat Anshar terakhir yang memeluk Islam, namun kemudian menjadi salah satu yang paling bersemangat mendalaminya.
Dari Pedagang Dunia Menjadi Pencinta Akhirat
Setelah memeluk Islam, Abu Darda berubah drastis. Ia berhenti dari sebagian besar urusan bisnis dan memfokuskan hidupnya untuk ibadah, salat, dan mempelajari Al-Qur’an. Ia pernah berkata:
“Aku pernah berdagang. Namun kini, aku tidak suka jika perniagaanku menghalangiku dari zikir kepada Allah, dari salat, atau dari menuntut ilmu.”
Abu Darda’ memeilih jalan Zuhud (menjauh dari kemewahan dunia) bukan berarti meninggalkan usaha atau membenci dunia. Namun, ia menjadikan akhirat sebagai fokus utama dan dunia hanya sebagai sarana.
Abu Darda’ dan Al-Qur’an
Salah satu keistimewaan terbesar Abu Darda adalah kecintaannya pada Al-Qur’an. Ia menjadi salah satu sahabat yang terkenal luas sebagai:
- Hafizh Qur’an (penghapal Qur’an),
- Guru Qur’an, dan
- Pengajar tafsir serta ilmu tajwid kepada generasi setelah sahabat.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, Abu Darda dikirim ke Damaskus (Syam) untuk menjadi qadhi (hakim), guru Qur’an, dan pembimbing umat. Abu Darda’ mengajarkan Qur’an kepada ratusan murid setiap hari. Tercatat bahwa dalam majelisnya terdapat sekitar 1600 murid yang terbagi ke dalam kelompok-kelompok yang saling menyimak hafalan.
Ia sering mengatakan:
“Siapa yang tidak memiliki hafalan Al-Qur’an di dalam dirinya, ibarat sebuah rumah yang rusak.”
Akhlak, Kesederhanaan, dan Kebijaksanaan Abu Darda
Abu Darda dikenal sebagai sosok yang sangat bijaksana dan halus perasaannya. Ia memiliki pandangan hidup yang dalam dan sering memberi nasihat menyentuh hati. Di antara nasihat-nasihat terkenal beliau adalah:
- “Tanda akal seseorang adalah dia ridha dengan takdir Allah.”
- “Tidaklah engkau dapat menyempurnakan imanmu hingga engkau lebih mencintai saudaramu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri.”
- “Ilmu tanpa amal seperti pohon yang tak berbuah.”
Ia juga sangat peduli pada hubungan antarsesama muslim. Dalam satu hadits riwayat Muslim, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam…”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Darda, menunjukkan kedekatannya dengan Rasulullah ﷺ dalam menyerap ilmu dan menyampaikan kembali kepada umat.
Sifat Zuhud ; Menolak Kemewahan Dunia
Meskipun pernah hidup bergelimang harta, setelah memeluk Islam, Abu Darda justru memilih rumah sederhana dan gaya hidup minimalis. Ketika seseorang bertanya mengapa ia tidak memperindah rumahnya, ia menjawab:
“Kita ini sedang menempati rumah sementara. Kita sedang membangun rumah yang kekal di akhirat.”
Ia menangis ketika melihat kaum muslimin mulai tenggelam dalam kemewahan setelah penaklukan Syam. Ia berkata:
“Jika kalian melihat masjid-masjid dipenuhi tetapi hati kalian kosong dari khusyuk, maka ketahuilah musibah telah dekat.”
Peran dalam Masyarakat dan Pemerintahan
Sebagai qadhi di Damaskus, ia terkenal adil dan tegas namun penuh kasih sayang. Ia menolak upah dari pemerintah, dan justru hidup dari pekerjaan kecil serta pemberian halal. Ia berkata:
“Aku tidak mau agamaku ternoda hanya karena harta dari manusia.”
Khalifah Umar bin Khattab sangat mempercayainya dan bahkan menulis surat yang berisi pujian dan doa untuknya. Ini menunjukkan betapa tingginya keilmuan dan akhlak Abu Darda di mata para sahabat besar lainnya.
Wafat dan Warisan Spiritualitas
Abu Darda’ wafat sekitar tahun 32 Hijriah (652 Masehi) di Damaskus. Makamnya berada di wilayah Bab al-Saghir, dekat makam para sahabat lainnya. Meskipun beliau telah tiada, jejaknya tetap hidup melalui murid-muridnya yang menjadi ulama Qur’an. Hadits yang ia riwayatkan, serta nasihat-nasihat hikmah yang masih menjadi pelajaran hingga kini.
Abu Darda adalah sosok sahabat yang kisah hidupnya membuktikan kekuatan iman dan hidayah. Dari seorang pedagang kaya yang memiliki berhala indah di rumahnya, ia berubah menjadi guru Al-Qur’an, ahli ibadah, dan tokoh besar dalam sejarah Islam. Namanya mungkin tidak sepopuler Abu Bakar atau Umar bin Khattab, namun hikmah hidupnya sangat layak menjadi teladan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
