Tak Berkategori  

Said bin Zaid, Sahabat yang Terlepas dari Fitnah Dunia

Google News
Said bin Zaid, Sahabat yang Terlepas dari Fitnah Dunia - Surau.co
Ilustrasi: Gana Islamika

Surau.co – Said bin Zaid bin Amru bin Nufail Al Adawi atau sering juga disebut sebagai Abul A’waar, lahir di kota Makkah 22 tahun sebelum Hijrah. Ia termasuk sepuluh orang yang diberi kabar gembira akan masuk surga oleh Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW menyebutkan ada sepuluh orang sahabatnya yang paling utama. Mereka semua dijamin surga. Sejak mereka hidup di dunia. Rasulullah SAW bersabda,

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: “أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ، وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ، وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ، وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ، وَسَعْدٌ فِي الْجَنَّةِ، وَسَعِيدٌ فِي الْجَنَّةِ، وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ”.

Dari Abdurrahman bin Auf, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Abu Bakar di surga. Umar di surga. Utsman di surga. Ali di surga. Thalhah (bin Ubaidillah) di surga. Az-Zubair (bin al-Awwam) di surga. Abdurrahman bin Auf di surga. Saad (bin Abil Waqqash) di surga. Said (bin Zaid) di surga. Dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah di surga.” (HR. Ahmad dan at-Turmudzi).

Said memeluk Islam di awal-awal dakwah Rasulullah SAW di kota Makkah. Saat orang-orang banyak menentang seruan Rasulullah SAW dan rumah Arqam bin Abil Arqam belum ditetapkan sebagai markas dakwah yang pertama, Said bin Zaid telah hadir dan mewarnai kehidupan Islam Makkah bersama istrinya, Fathimah. Ayahnya bernama Zaid bin Amru bin Nufail, seorang ayah yang membesarkan anaknya dengan keteladanan, hingga lahirlah darinya generasi seperti Said.

Perjalanan Ayah Said dalam Mencari Agama yang Haq

Semasa hidupnya, Zaid, ayah Said bin Zaid tidak suka dan tidak pernah mau mengikuti ajaran jahiliyah. Beliau, yang diberi gelar hanif (orang yang lurus agamanya), dikenang kebaikannya karena sering menyelamatkan bayi perempuan yang hendak dikubur hidup-hidup yang mana itu telah menjadi traidisi Arab Jahiliah. Bila ada anak yang hendak dibunuh kala itu, Zaid akan mengambilnya sebagai anak angkat. Beliau juga tidak pernah menyekutukan Allah SWT, juga tidak pernah menggunakan apa pun sebagai perantaranya dengan Allah SWT.

Suatu kali, Zaid berdiri di tengah-tengah kerumunan orang banyak. Mereka berdesak-desakan menyaksikan kaum Quraisy berpesta pora merayakan salah satu hari besar mereka. Pria, wanita dan anak-anak, semua mengenakan pakaian serba mewah dan bagus-bagus dengan perhiasan yang indah-indah. Hewan-hewan ternak pun dipakaikan bermacam-macam perhiasan dan diarak orang-orang untuk disembelih di hadapan patung-patung sesembahan mereka.

Sambil menyandarkan badannya pada dinding Ka’bah, Zaid berucap, “Wahai kaum Quraisy! Hewan itu diciptakan Allah. Dia-lah yang menurunkan hujan dari langit supaya hewan-hewan itu minum sepuas-puasnya. Dia-lah yang menumbuhkan rumput-rumputan supaya hewan-hewan itu makan sekenyang-kenyangnya. Kemudian, kalian sembelih hewan-hewan itu tanpa menyebut nama Allah. Sungguh bodoh dan sesat kalian.

Sontak, Al-Khathab, ayah Umar bin Khathab, berdiri menghampiri Zaid, lalu ditamparnya Zaid. Al-Khathab berkata kepada Zaid, “Kurang ajar kamu! Kami sudah sering mendengar kata-katamu yang kotor itu, namun kami biarkan saja. Kini kesabaran kami sudah habis!” Kemudian, dihasutnya orang-orang bodoh supaya menyakiti Zaid. Zaid benar-benar dimusuhi. Akhirnya ia menyingkir dari Makkah ke bukit Hira.

Untuk menemui keluarganya di kota, Zaid terpaksa datang sembunyi-sembunyi. Pasalnya, beberapa pemuda Quraisy selalu mengawasinya. Di saat orang-orang lengah, Zaid berkumpul bersama Waraqah bin Naufal, Abdullah bin Jahsy, Utsman bin Harits, dan Umaimah binti Abdul Muthallib, bibi Rasulullah SAW. Mereka berbincang soal kepercayaan masyarakat Arab yang telah jauh melenceng dari agama Ibrahim.

Lantaran hal itu, Zaid mengajak keempat orang itu untuk mencari dan mempelajari kembali agama yang lurus. Mereka lalu mulai menemui pendeta-pendeta Yahudi, Nasrani, dan pemimpin-pemimpin agama lain untuk menyelidiki dan mempelajari agama Ibrahim yang murni. Waraqah bin Naufal meyakini agama Nasrani. Abdullah bin Jahsy dan Utsman bin Harits tidak menemukan apa-apa. Sementara itu Zaid telah mempelajari agama Yahudi dan Nasrani, tapi masih juga tak puas, sampai akhirnya bertemu dengan seorang rahib yang memberi tahu bahwa Allah SWT akan mengirimkan seorang Nabi dari kalangan bangsa Arab. Oleh karena itu beliau memutuskan untuk kembali ke Mekah. Di tengah jalan, beliau terbunuh oleh kawanan perampok sehingga tidak sempat kembali ke Mekah. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Zaid sempat berdoa, “Wahai Allah, jika Engkau mengharamkanku dari agama yang lurus ini, janganlah anakku, Said, diharamkan pula daripadanya.”

Allah memperkenankan doa Zaid. Ketika Rasulullah SAW mulai mengajak orang banyak untuk masuk Islam, Said bin Zaid segera memenuhi panggilan beliau, menjadi pelopor orang-orang dalam mengimani kepada Allah SWT dan membenarkan kerasulan Muhammad SAW. Tidak mengherankan kalau Said secepat itu menyambut seruan Rasulullah SAW. Said lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga yang mencela dan mengingkari kepercayaan dan adat istiadat orang-orang Quraisy yang sesat. Said dididik oleh seorang ayah yang sepanjang hidupnya tak kenal menyerah mencari agama yang hak. Bahkan ia pun wafat ketika dalam misi pencarian kebenaran agama Ibrahim.

Kontribusi Said Setelah Masuk Islam

Said bin Zaid masuk Islam bersama istrinya, Fathimah binti Al-Khathab sebelum usia 20 tahun. Istrinya adalah adik Umar bin Khathab (dikenal sebagai Ummu Jamil). Di saat awal keislamannya, Said bin Zaid pernah diikat oleh Umar bin Al-Khathab (kala itu Umar belum masuk Islam) dan dipaksa melepaskan kepercayaan barunya itu. Bersama dengan istrinya, ia juga pernah dipukul oleh Umar. Namun, yang terjadi kemudian justru sebaliknya. Berkat kesabaran Said dan Fathimah, hati Umar bin Khathab yang semula keras memusuhi Islam pun luluh di hadapan keduanya. Seorang laki-laki Quraisy yang paling berpengaruh, berbobot baik fisik maupun intelektualnya itu pun merengkuh cahaya hidayah di rumah adiknya.

Said adalah seorang sahabat yang berkesempatan mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah SAW, kecuali pada perang Badar. Saat itu ia diperintahkan Rasulullah SAW untuk berjaga di pantai Laut Merah bersama Thalhah dan mengintai rombongan kafilah dagang Quraisy yang tengah menempuh perjalanan pulang dari Syiria. Saat itu beliau berjumpa dengan rombongan Abu Sufyan. Ketika Said dan Thalhah kembali ke Madinah, ternyata Rasulullah SAW beserta semua sahabat sudah lebih dulu bertolak ke Badar. Mereka pun menyesal karena tidak dapat turut serta dalam perang Badar.

Said bin Zaid, sosok prajurit Islam ini turut pula mengambil bagian bersama kaum muslimin mencabut singgasana Kisra Persia dan menggulingkan kekaisaran Romawi. Dalam setiap peperangan yang dihadapi kaum muslimin, ia selalu memperlihatkan penampilan dengan reputasi terpuji. Ia menceritakan keadaan perang Yarmuk yang diikutinya.

Said bin Zaid berkata, “Ketika terjadi perang Yarmuk, pasukan kami hanya berjumlah 24.000 orang, sedangkan tentara Rum berjumlah 120.000 orang. Musuh bergerak ke arah kami dengan langkah-langkah yang mantap bagaikan sebuah bukit yang digerakkan tangan-tangan tersembunyi. Di muka sekali pendeta-pendeta, perwira-perwira tinggi dan paderi-paderi berderet membawa kayu salib sambil mengeraskan doa. Doa itu diulang-ulang oleh tentara yang berbaris di belakang mereka dengan suara mengguntur.

Tatkala tentara kaum muslimin melihat musuhnya seperti itu, kebanyakan mereka terkejut, lalu timbul rasa takut di hati mereka. Abu Ubaidah bangkit mengobarkan semangat jihad. Abu Ubaidah menyerukan, ‘Wahai hamba-hamba Allah! menangkan agama Allah, pasti Allah akan menolong kamu dan memberikan kekuatan kepada kamu! … Tabahkan hati kalian, karena ketabahan adalah jalan lepas dari kekafiran, jalan mencapai keridaan Allah dan menolak kehinaan. Siapkan lembing dan perisai! Tetaplah tenang dan diam, kecuali mengingat Allah dalam hati kalian masing-masing.’

Setelah itu, kaum muslimin mulai maju menghalau musuh. Dan tanpa terasa, perasaan takut yang tadinya mendominasi benak mereka, hilang seketika. Akhirnya, Allah memberikan kemenangan besar bagi kaum muslim.”

Sesudah itu, Said bin Zaid turut berperang menaklukan Damsyiq (Damaskus). Setelah kaum muslimin memperlihatkan ketaatan dan kepatuhan, Abu Ubaidah bin Jarrah mengangkat Said bin Zaid menjadi wali kota di sana. Dialah wali kota pertama dari kaum muslimin setelah kota itu dikuasai.

Said Dituduh Merampas Tanah Arwa binti Aus

Di masa pemerintahan Bani Umayyah, Arwa binti Aus menuduh Said bin Zaid merampas tanahnya yang saling berbatasan. Tuduhan tersebut disebarkan kepada kaum muslimin. Kemudian ia mengadukan persoalan ini kepada Marwan bin Hakam, gubernur Madinah ketika itu.

Marwan mengirim beberapa utusan untuk mengklarifikasi kepada Said tentang tuduhan wanita tersebut. Kata Said, “Dia menuduhku menzaliminya (merampas tanahnya yang berbatasan dengan tanahku), bagaimana mungkin aku akan menzaliminya, padahal aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa yang mengambil tanah orang lain walau hanya sejengkal, nanti di hari kiamat Allah akan memikulkan tujuh lapis bumi di atas lehernya.’

“Wahai Allah! Dia menuduh saya menzaliminya. Seandainya tuduhan itu palsu, butakanlah matanya dan ceburkan dia ke sumur yang dipersengketakannya dengan saya. Buktikanlah kepada kaum muslimin sejelas-jelasnya bahwa tanah itu adalah hak saya dan bahwa saya tidak pernah menzaliminya.”

Tidak berapa lama kemudian, banjir besar melanda Madinah. Maka terbukalah tanda batas tanah Said dan tanah Arwa yang mereka perselisihkan. Kaum muslimin memperoleh bukti, Said yang benar, sedangkan tuduhan wanita itu palsu. Hanya sebulan antaranya selepas itu, wanita tersebut menjadi buta. Ketika ia berjalan meraba-raba di tanah yang dipersengketakannya, ia pun terjatuh ke dalam sumur.

Rupaya, kejadian ini menjadi kenangan tersendiri di kalangan penduduk Madinah. Sampai-sampai, sahabat Abdullah bin Umar mengatakan, “Memang, ketika kami masih kanak-kanak, kami mendengar orang berkata bila mengutuk orang lain, ‘Dibutakan Allah kamu seperti Arwa.’”

Pewarta: Nurul HidayatEditor: Nurul
Nurul Hidayat
Mau tulisan kamu dimuat di Surau.co seperti ? Kirim Tulisan Kamu