Surau.co
Menu Menu

Puasa Memberantas Korupsi

Masykurudin Hafidz

SURAU.CO.Ibarat cerita pewayangan, bulan Ramadan adalah Candradimuka, sebuah kawah dimana seseorang menempa diri dalam pergulatan spiritual, jika bisa keluar dari kawah tersebut maka dia akan menjadi sakti. Bulan Ramadan adalah bulan istimewa bagi umat Islam, yang didalamnya terdapat ibadah yang tak ternilai harganya misalnya ibadah Puasa, sholat tarawih serta tadarrus Al-qur’an. Oleh sebab itu banyak umat Islam yang selalu merindukan datangnya bulan suci ini.

Ramadan adalah bulan dimana umat Islam diwajibkan berpuasa (al-shaum) dalam arti tidak makan, tidak minum, tidak melakukan hubungan seksual dan lain sebagainya. Akan tetapi, dibalik makna yang ritual-normatif itu sebenarnya ada makna terdalam dari puasa yaitu “imsak” (menahan diri). Orang yang berpuasa secara benar adalah orang yang bisa imsak dalam arti sebenarnya. Dia menahan diri untuk tidak marah, tidak melakukan sesuatu yang dilarang agama, menahan diri untuk tidak menyakiti orang lain, tidak membuat orang lain rugi dan sebagainya.

Ibadah puasa mengandung dua dimensi; pribadi dan sosial. Dimensi pribadi berkaitan langsung dengan tanggung jawab seseorang dengan Tuhannya. Disinilah kejujuran pribadi seseorang yang berpuasa diuji, karena orang yang berpuasa dengan orang yang tidak berpuasa hampir tidak ada bedanya misalnya apakah dia habis minum atau tidak. Tanggung jawab ini berhubungan langsung dengan Tuhan dan tidak ada campur tangan manusia sama sekali.

Sementara dimensi sosial adalah tanggung jawab sosiologis orang yang berpuasa kepada kehidupan masyarakatnya. Disini, puasa tidak hanya dimaknai sebagai ritual belaka, tetapi harus mampu mentransformasikan kepada kehidupan riil masyarakat misalnya perasaan lapar yang bisa memunculkan sensitivitas dan kepekaan sosial yang cukup tinggi. Transformasi puasa seperti ini berarti menciptakan kondisi sosial sedemikian rupa supaya orang bisa terkendali bukan hanya oleh kesadarannya didalam tetapi juga oleh struktur masyarakatnya diluar.

Pentingnya mentransformasi ibadah Ramadan dalam konteks kehidupan kemanusiaan tidak bisa dilepaskan dari realitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang makin menunjukkan gejala pembusukan di sana-sini. Perilaku korupsi, yang dipertontonkan secara telanjang mengindikasikan adanya proses pereduksian agama secara besar-besaran.

Bulan suci ini bisa menjadi momentum bagi kita untuk merenungkan praktik korupsi yang semakin hari kian telanjang saja. Korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya. Korupsi yang sudah berlangsung sangat lama ini menyebabkan persoalan kemiskinan tak kunjung selesai. Negara yang sumber daya alamnya melimpah ruah tak membuat kita beranjak dari tidur lama. Hal ini sangat memalukan, karena praktek pemerintah yang salah urus dengan terus menerus menyalahgunaan kekuasaannya. Para pejabat tidak melaksanakan amanat untuk menyejahterakan rakyat dan bangsa.

Pertanyaannya, bagaimana mempertautkan kehadiran puasa ramadan ini dengan merajalelanya praktik korupsi di negara kita?

Puasa, sebagaimana disebutkan diatas adalah mengendalikan diri terhadap lapar. Seringkali, kelaparan menyebabkan tidak bisa melihat kebenaran sebagai kebenaran dan kebaikan sebagai kebaikan. Oleh karena itu, dengan berpuasa, sesungguhnya kita dilatih untuk mengendalikan dorongan nafsu yang ditimbulkan karena rasa lapar tersebut. Inilah yang dicerminkan dalam larangan makan, minum dan pengendalian nafsu seksual.

Dengan latihan pengendalian rasa lapar, maka diharapkan manusia dapat sekaligus mengendalikan dorongan-dorongan nafsu yang lain yang bersumber kepada simpul hedonisme. Dan praktik korupsi yang merajalela ini adalah disebabkan oleh manusia-manusia yang selalu mengejar kenikmatan duniawi (hedonistik).

Korupsi adalah mengejar kenikmatan duniawi yang menerjang peraturan-peraturan, baik peraturan moralitas, etika maupun peraturan-peraturan yang sudah diresmikan sebagai peraturan hukum. Dengan berpuasa kita dilatih untuk tidak menjadikan rasa lapar ini sebagai justifikasi terhadap pelanggaran-pelanggaran moral dan pelanggaran-pelanggaran hukum yang banyak terjadi dimasyarakat.
Kesadaran untuk tidak melanggar peraturan tersebut tidak hanya dilakukan didalam bulan ramadan saja tetapi juga dalam sebelas bulan selanjutnya. Yang sering muncul dalam keberagamaan kita adalah ketika keluar dari dari bulan ramadan sepertinya kita kembali masuk dalam kenikmatan duniawi dengan mengumbar nafsu saja.

Oleh karena itu, pengendalian diri tersebut memerlukan obyektivikasi dan strukturasi. Bagaimana puasa personal ini ditransformasikan secara sosial. Artinya diciptakan kondisi sedemikian rupa supaya orang bisa terkendali bukan hanya oleh kesadaraannya tetapi juga oleh struktur masyarakatnya diluar. Berpuasa berarti terus menerus meneriakkan gerakan anti korupsi dan menciptakan struktur yang berani bertindak tegas terhadap praktik yang merugikan bangsa dan negara ini.