Surau.co – Muadz bin Amr bin Jamuh, usianya baru empat belas tahun. Akan tetapi, dengan penuh antusias keduanya bergegas ikut serta bergabung bersama pasukan kaum muslimin yang akan berangkat menuju lembah Badar.
Pemuda belia ini memiliki nasib baik karena tubuhnya terlihat kuat dan usianya terlihat relatif lebih dewasa. Maka Rasulullah SAW menerimanya masuk dalam skuad pasukan kaum muslimin yang akan berperang melawan kaum musyrikin pada perang Badar. Meskipun usianya masih sangat muda belia, tetapi ambisinya jauh lebih hebat dan lebih besar daripada ambisi para orang tua atau kaum lelaki yang lain.
Dari Abdurrahman bin Auf dalam Shahih Al-Bukhari, ia menggambarkan sikap dan tindakan yang sangat ajaib dari pemuda pemberani ini. Abdurrahman bin Auf menuturkan,
“Pada perang Badar, saya berada di tengah-tengah barisan para Mujahidin. Ketika saya menoleh, ternyata di sebelah kiri dan kanan saya ada dua orang anak muda belia. Seolah-olah saya tidak bisa menjamin mereka akan selamat dalam posisi itu.”
Kedua pemuda belia itu adalah Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’. Abdurrahman bin Auf sangat heran melihat keberadaan kedua anak muda belia ini di dalam sebuah peperangan yang sangat berbahaya seperti perang Badar. Abdurrahman merasa khawatir mereka tidak akan mendapatkan bantuan atau pertolongan dari orang-orang di sekitar mereka berdua, disebabkan usia keduanya yang masih muda.
Lalu Abdurrahman bin Auf melanjutkan kisahnya dengan penuh takjub,
“Tiba-tiba salah seorang dari kedua pemuda ini berbisik kepada saya, ‘Wahai Paman, manakah yang bernama Abu Jahal?” Pemuda yang mengatakan hal ini adalah Muadz bin Amr bin Jamuh. Ia berasal dari kalangan Anshar dan dirinya belum pernah melihat Abu Jahal sebelumnya. Pertanyaan mengenai komandan pasukan kaum musyrikin, sang lalim penuh durjana di kota Mekkah dan “Fir’aun umat ini”, menarik perhatian Abdurrahman bin Auf. Lantas ia pun bertanya kepada anak muda belia tadi, “Wahai anak saudaraku, apa yang hendak kamu lakukan terhadapnya?”
Muadz bin Amr bin Jamuh berkata, “Saya mendapat berita bahwa ia adalah orang yang pernah mencaci maki Rasulullah. Demi Allah yang jiwa saya dalam genggaman-Nya! Jika saya melihatnya, pupil mata saya tidak akan berkedip memandang matanya hingga salah seorang di antara kami terlebih dahulu tewas (gugur).”
Ya Allah, betapa kokoh dan kuatnya sikap anak muda belia ini! Seorang anak muda belia yang tinggal di Madinah. Ketika ia mendengar bahwa ada orang yang mencaci maki Rasulullah SAW di kota Mekkah yang jaraknya hampir 500 km dari tempat tinggalnya, bara api kemarahan berkobar di dalam hatinya dan semangat ingin membela Rasulullah SAW membara di dalam jiwanya.
Ia pun berikrar untuk melakukan sesuatu yang bisa membela keyakinan, harga diri dan tempat-tempat suci agamanya. Dan kesempatan itu datang kala perang berkecamuk, yakni ketika Allah SWT membawa Abu Jahal menuju lembah Badar. Maka ia pun berikrar bahwa ia sendiri yang akan membunuhnya.
Sungguh, pemuda belia ini benar-benar bersumpah bahwa jika ia melihat Abu Jahal, maka ia tidak akan membiarkannya begitu saja hingga salah seorang dari mereka meninggal dunia. Ia tidak merasa cukup hanya dengan tercapainya cita-cita ikut serta dalam perang Badar dan melakukan tugas mulia yang dibebankan kepadanya.
Tidak merasa cukup hanya dengan memenuhi mimpinya dengan membunuh seseorang dari pasukan kaum musyrikin saja. Akan tetapi, yang menjadi ambisi utamanya, impian masa depannya, target dan tujuan hidupnya; adalah ia harus membunuh si durjana dan si lalim ini (Abu Jahal). Meskipun tebusannya, ia akan mati syahid di jalan Allah.
Tentunya, hal ini bukan satu sikap yang biasa. Ini adalah satu sikap yang benar-benar menakjubkan. Bahkan Abdurrahman bin Auf sendiri menuturkan, “Saya pun merasa takjub akan hal itu.” Namun rasa takjub dan keheranan Abdurrahman bin Auf belum berhenti sampai di situ. Muadz bin Amr bin Jamuh bukan satu-satunya anak muda belia yang jarang ditemukan di tengah-tengah barisan pasukan kaum muslimin. Ia punya teman sejawat yang saleh dan seusia atau sedikit lebih muda darinya. Anak muda ini juga bersaing dengannya dalam hal yang sama.
Melihat Abu Jahal, darah amarah kedua pahlawan belia ini pun membara. Tekad bulat mereka semakin mantap untuk merealisasikan tugas yang sangat mulia, yang senantiasa bergeliat dalam mimpi dan benak pikiran meraka.
Abdurrahman bin Auf menuturkan, “Seorang pemuda belia yang lain (Muawwidz bin Afra’) menghentak saya dan mengatakan hal yang serupa.” Lalu Abdrurahman melanjutkan kisahnya, “Tiba-tiba saja saya melihat Abu Jahal berjalan di tengah-tengah kerumunan orang ramai. Saya berkata, “Tidakkah kalian melihat orang itu? Ia adalah orang yang baru saja kalian tanyakan kepadaku!”
Melihat Abu Jahal, darah amarah kedua pahlawan belia ini pun membara. Tekad bulat mereka semakin mantap untuk merealisasikan tugas yang sangat mulia, yang senantiasa bergeliat dalam mimpi dan benak pikiran meraka.
Muadz bin Amr bin Jamuh menggambarkan situasi dalam perang Badar, seperti yang terdapat dalam riwayat Ibnu Ishaq dan di dalam kitab Ath-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad.
Muadz bin Amr bin Jamuh menuturkan, “Saya mendengar kaum musyrikin mengatakan, ‘tidak seorang pun dari pasukan kaum muslimin yang dapat menyentuh Al-Hakam (Abu Jahal)’.” Saat itu , Abu Jahal berada di tengah-tengah kawalan ketat laksana pohon yang rindang.
Abu Jahal, sang komandan terkemuka dari bangsa Quraisy datang dalam iring-iringan para algojo dan orang-orang kuat laksana hutan lebat. Mereka melindungi dan membelanya. Ia adalah simbol kekufuran dan komandan pasukan perang, sehingga sudah pasti jika pasukan batalyon terkuat di kota Mekkah dikerahkan untuk melindungi dan membelanya.
Di samping itu, kaum musyrikin juga saling menyerukan, “Waspadalah, jangan sampai pemimpin dan komandan kita (Abu Jahal) terbunuh!”
Meskipun Abu Jahal dilindungi sedemikian rupa dan pengawalannya begitu ketat, namun hal itu tak menghalangi Muadz bin Amr bin Jamuh untuk tetap membulatkan tekadnya, melaksanakan tugasnya, serta merealisasikan cita-cita suci di dalam hidupnya.
Muadz bin Amr bin Jamuh menuturkan, “Ketika saya mendengarkan perkataan itu, saya pun semakin membulatkan tekad. Saya memfokuskan diri untuk mendekatinya. Ketika tiba waktunya, saya langsung menghampirinya dan memukulkan pedang kepadanya hingga setengah kakinya (betis) terputus.”
Dirinya mampu memotong betis Abu Jahal hanya dengan satu pukulan saja. Padahal Abu Jahal berada dalam perlindungan dan pengawalan yang sangat ketat dari pasukan kaum musyrikin. Ia benar-benar telah merealisasikan mimpinya selama ini. Hati sanubarinya terasa damai, dan ia telah berhasil membalas dendam kesumatnya demi Rasulullah SAW.
Muadz bin Amr bin Jamuh menuturkan, “Pada perang itu (Badar), anaknya (Abu Jahal), Ikrimah -pada waktu itu ia masih musyrik – menebas lengan saya dengan pedangnya hingga hampir terputus dan hanya bergantung pada kulitnya saja.”
Muadz bin Amr bin Jamuh melanjutkan kisahnya,
“Pada hari itu, saya benar-benar berperang seharian penuh. Tangan saya yang hampir putus itu hanya bergelantungan di belakang. Dan ketika ia menyulitkan saya, saya pun menginjaknya dengan kaki, lalu saya menariknya hingga tangan saya terputus.”
Lalu Muawwidz bin Afra’ melintas di hadapan Abu Jahal yang sedang terluka parah, kemudian ia pun menebasnya dengan pedang. Kemudian membiarkannya dalam keadaan tersengal-sengal dengan nafas terakhirnya.
Muawwidz bin Afra’ menebas Abu Jahal dengan pedang di kala ia berada di tengah-tengah kerumunan para pengawal dan pelindungnya. Namun, ia berhasil memukul Abu Jahal hingga membuatnya terjungkal ke tanah seperti orang yang tak berdaya, tetapi ia masih mempunyai sisa-sisa nafas terakhir. Kemudian Abdullah bin Mas’ud datang untuk menghabisi nyawa Abu Jahal.
Lantas Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ datang menjumpai Rasulullah SAW. Masing-masing mengatakan, “Saya telah membunuh Abu Jahal, wahai Rasulullah!”
Maka Rasulullah SAW bertanya kepada mereka berdua sebagaimana yang terdapat di dalam riwayat Al Bukhari dan Muslim, “Apakah kalian telah menghapus (bercak darah yang menempel pada) pedang kalian?“ mereka berdua menjawab, “Belum.” Maka beliau melihat kedua pedang tersebut. Lantas beliau bersabda, “Kalian berdua telah membunuhnya.” Rasulullah SAW menganggap bahwa mereka berdua memperoleh nilai yang sama dan seri.