Surau.co – Masjid Sultan Tidore dibangun pada tahun 1700 M dimana sudah mengalami beberapa kali pergantian terutama pada bagian atap. Pada awalnya masjid ini beratapkan alang-alang, kemudian atap alang-alangnya diganti dengan atap daun rumbia dan selanjutnya berganti menggunakan seng.
Walaupun bentuk arsitektur asli masjid diupayakan sesuai dengan aslinya namun penggunaan material masa kini membuat masjid terlihat berbeda. Keunikan yang dimiliki oleh masjid ini terdapat di bagian dalam yaitu lubang yang menyerupai jendela, dimana memiliki makna bahwa pada dahulu kala difungsikan sebagai tempat melihat arah kiblat.
Terdapat 4 pilar yang memiliki makna 4 khalifa yaitu Khalifa Umar, Abu Bakar, Usman dan Khalifa Ali. Corak dan bentuk arsitektur masjid dengan Kedaton Tidore memiliki kesamaan bentuk yaitu terletak dari bentuk kubah masjid yang bersusun tiga membentuk kerucut. Dilihat dari kubah masjid dimana pada bagian atasnya terdapat tiang yang menjulang tinggi mengandung filosofi hubungan manusia dengan penciptanya (RIPPDA Kota Tidore Kepulauan).
Masjid ini disebut juga dengan masjid Kolano atau masjid Besar, dibangun pada tahun 1700 Masehi pada masa pemerintahan Sultan Djamaludin dan dipergunakan pada tahun 1710 Masehi. Pembangunan masjid ini diarsiteki oleh Bela Tudho dengan konstruksi Kayu, Batu, Pasir , dan Kapur. Atap terbuat dai alang-alang dan daun sagu sehingga dikenal dengan nama masjid Sigi palang.
Pada tahun 1884 Masehi dilakukan penggantian atap dengan bahan seng dan tahu 1984 dilakukan juga penggantian atap untuk kedua kalinya serta mengganti lantai yang sejak awal dari tanah liat menjadi ubin. Ukuran masjid ialah 21 x 21 meter diatas lahan berukuran 26 x 26 meter.
Pada areal masjid terdapat bangunan yang disebut dengan Stanyer sebagai tempat bedug (tifa), menuju ruang sholat terdapat teras atau serambi yang disebut Gandaria yang melewati tujuh teratak tangga.
Ruang Sholat disangga oleh empat tiang utama dengan tinggi 7 meter dan terdapat 2 mimbar, satu sebagai tempat khotbah dan satu lagi dihiasai dengan kelambu putih digunakan sebagai tempat sholat shultan. Sebagai pengurus masjid ditetapkan satu Qogdhi dan dibantu 6 Imam yang biasa disebut dengan istilah Imam Soa. Ke 6 Imam ini melaksanakan Tugas secara bergiliran. Lokasi masjid ini sekarang berada di Tidore.
Baca Juga : Masjid Kembar di Tidore Maluku Utara
Tradisi di Masjid Sultan
Salah satu tradisi yang setiap tahun diadakan di Masjid Sultan Ternate adalah Malam Qunut yang jatuh setiap malam ke-16 bulan Ramadhan. Dalam tradisi ini, sultan dan para kerabatnya dibantu oleh Bobato Akhirat (dewan keagamaan kesultanan) mengadakan ritual khusus yaitu Kolano Uci Sabea, yang berarti turunnya sultan ke masjid untuk salat dan berdoa.
Kolano Uci Sibea biasanya dimulai dari kedaton menuju masjid untuk melaksanakan salat Tarawih. Sekitar pukul setengah delapan waktu setempat, sultan akan ditandu oleh pasukan kerajaan menuju masjid dan diiringi alunan alat musik Totobuang (semacan gamelan) yang ditabuh oleh sekitar dua belas anak kecil yang mengenakan pakaian adat lengkap di depan tandu sultan.
Konon, alat musik ini merupakan pemberian Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) ketika salah seorang Sultan Ternate berguru kepadanya. Sebelum salat Tarawih dilakukan, para muadzin yang terdiri dari empat orang, mengumandangkan adzan secara bersama-sama. Menurut sebagian orang, ini untuk mengingatkan masyarakat Ternate tentang empat Soa (kelurahan pertama) di daerah Ternate.
Empat Soa ini yaitu Soa Heku (Kelurahan Dufa-Dufa), Soa Cim (Kelurahan Makassar), Soa Langgar (Kelurahan Koloncucu), dan Soa Mesjid sultan sendiri. Namun, ada juga yang percaya bahwa pengumandangan adzan oleh empat muadzin tersebut melambangkan empat kerajaan terkuat yang masih saling bersaudara di kawasan Maluku Utara, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Keempat kerajaan ini dalam kepercayaan masyarakat setempat biasa disebut Moloku Kie Raha (pemangku empat gunung atau kerajaan).
Usai melaksanakan Tarawih, sultan akan pulang ke kedaton dengan ditandu kembali seperti ketika keberangkatannya ke masjid. Di kedaton sultan bersama permaisuri (Boki) akan memanjatkan doa di ruangan khusus, tepatnya di atas makam keramat leluhur.
Usai berdoa, sultan dan permaisuri akan menerima rakyatnya untuk bertemu, bersalaman, bahkan menciumi kaki sultan dan permaisuri sebagai tanda kesetiaan. Tentu saja, pertemuan langsung antara sultan dan rakyatnya ini menarik minat masyarakat di seluruh Ternate dan pulau-pulau di sekitarnya.
Dalam satu tahun, ritual Kolano Uci Sabea dilaksanakan empat kali, antara lain pada Malam Qunut, Malam Lailatul Qadar (keduanya pada bulan Ramadhan), serta pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pelaksanaan Kolano Uci Sabea dilakukan secara turun temurun oleh setiap Sultan Ternate hingga kini.
Menurut kepercayaan, dalam kondisi apapun Kolano (Sultan) memang harus melakukan Sabea (salat) di Sigi Lamo (Mesjid Sultan). Selain mengunjungi masjid tua peninggalan Kesultanan Ternate ini, wisatawan juga dapat mengunjungi objek wisata sejarah lainnya, seperti Kedaton Kesultanan Ternate, Benteng Orange, Benteng Kastela, Benteng Sentosa, serta benteng-benteng peninggalan kolonial lainnya.