Surau.co
Menu Menu
Kisah Labid bin Rabi’ah dan Syair Terakhirnya

Kisah Labid bin Rabi’ah dan Syair Terakhirnya

Surau.co - Nama lengkapnya ialah Abu `Uqail Labid bin Rabi`ah a-l`Amiri (560-661M). Bapaknya dikenal sebagai orang yang prihatin terhadap orang faqir. Lantaran kerana pemurah dan senang didekati, Labid juga dididik dengan sifat-sifat mulia sedemikian. Labid hidup di tengah kaumnya secara kehidupan orang atasan (kepimpinan), memulikan tamu, menolong faqir miskin, menyusun puisi, berbangga dengan keturunan dan kedudukan, melakar gambaran alam dan mengungkapkan kata-kata hikmah. Demikian dia berterusan dengan tema dan identitas kepenyairannya hingga lahirnya Islam. (Fuad Afram al-Bustani, Al-Majani al-Hadithat, Beirut: Al-Matba`at al-Kathulikiyyat, tt. Jilid 1, hlm. 101).

Ia termasuk salah satu penyair yang disegani pada masa jahiliyyah. Ia berasal dari kabilah Bani 'Amir Ibnu Sho'sho'ah, yaitu salah satu pecahan dari kabilah Hawazin Mudhar.

Ibunya berasal dari kabilah 'Abas. Lubai dilahirkan sekitar tahun 560 M. Selain sebagai penyair, ia juga dikenal sebagai orang dermawan dan pemberani. Sifat kedermawanannya diwarisi dari ayahnya yang dijuluki dengan "Rabi' al-Muqtarin". Sedangkan sifat keberaniannya diwarisi dari kabilahnya.

Maka Labid bersama dengan kaum Amirinnya menerima Islam sekitar tahun 630 M. Kemudian dia berpindah ke Kufah dan meneruskan kerja-kerja kreatifnya dengan menggubah puisi dan meneruskan amal kebajikan terhadap masyarakat. Beliau meninggal pada awal pemerintahan Khalifah Mu`awiyah.  Dikatakan sejak kecil Labid mengalami pengalaman pertikaian, lantaran keluarganya difitnah di hadapan Raja Al-Nu`man bin Al-Munzir yang menyebabkan keluarganya tidak disenangi Raja Al-Nu`man. Kemudian Labid disebut-sebut sebagai penyair pertama yang menggubah puisi dengan menyerang para seterunya.  Dikatakan juga Labid mempunyai saudara lelaki yang sangat ia kasihi. Saudaranya ini meninggal akibat disambar petir. Lantaran itu banyak puisi-puisinya digubah mengenang dan mengungkapkan rintihan dan  kasih sayang terhadap saudaranya. Keadaan ini berterusan hingga ke zaman Islam.

Dialog Labid dengan al-Qur'an

Labid bin Rabi'ah al-Amiri adalah penyair Jahiliyyah yang memiliki usia yang panjang. Dia berumur 145 tahun, dan sempat mendapatkan masa Islam. Menurut Ahmad Hassan al-Zayyat, setelah masuk Islam Labid menghafal Al-Qur`an dan ia meninggalkan bakatnya dari menggubah puisi.

Walaupaun Labid bin Rabi’ah memeluk Islam, namun para kritikus sastera Arab tetap memasukan dia sebagai penyair era Jahiliyah. Hal itu dikarenakan, setelah menyatakan diri masuk Islam, Labid tak lagi membuat syair.

Labid telah terpukau dengan keindahan Al-Qur’an. Padahal, sebelum memeluk Islam, ia membuat ribuan bait-bait syair, termasuk yang selalu digantungkan di Ka’bah. Bahkan, Aisyah (radiallahu anha) istri Rasulallah SAW, menghafal sekitar seribu bait syair karya Labid bin Rabiah.

Satu-satunya bait syair yang dibuat oleh Labid bin Rabi’ah setelah ia masuk Islam adalah berikut ini:

الحمدُ لله ان لـَمْ يَأتـِنِى أَجَلِىْ * حـَتىَّ لـَبِسْتُ مِنَ اْلإسلامِ سِرْبالا

“Segala puji bagi Allah, yang belum mempertemukanku kepada ajalku * sampai aku mengenyam dalam Islam nafas kedamaian”.

Pada masa permulaan Islam, puisi-puisi Labid bin Rabi'ah sudah banyak terpengaruh oleh gaya bahasa al-Quran dan isinya banyak mengandung ajaran-ajaran yang bernafaskan Islam, dikarenakan setelah memasuki Islam, Labid lebih tekun mempelajari ajaran-ajaran agama Islam yang terkandung dalam ayat-ayat suci al-Quran, seperti dalam salah satu bait-bait puisinya yang menerangkan keimanannya terhadap hari kebangkitan, di bawah ini;

اَلاَ كُلُّ شَيْئٍ ماَ خَلا الله باَطِلُ # وَكلّ نــَعِيْمٍ لاَ مـَحَالـَةَ زَائِلُ

وكُلُّ أُناسٍ سَوْفَ تَدْخُلُ بَيْنَهُمْ # دَوِيـْهِيَّةٌ تـَصْفَرُّ مِنْها اْلأنامِلُ

وكُلّ امْرِئٍ يـَوْمًا سيَعْلَمُ غَيْبَهُ # إذا كُشِفَتْ عِنْد اْلاِلَهِ الْحَصَائِلُ

"Sesungguhnya segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap dan setiap kenikmatan pasti akan sirna"

"Dan pada suatu saat, setiap orang pasti akan didatangi oleh maut yang memutihkan jari-jari"

"Setiap orang kelak pada suatu hari pasti akan mengetahui amalannya jika telah dibuka catatannya di sisi Tuhan"

Dalam menanggapi kemantapan isi bait puisi di atas, Rasulullah SAW berkomentar dalam suatu sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim

اَصْدَقُ كَلِمَةٍ قَالـَها شَاعِرٌ كـَلِمَةُ لُبـَيْدٍ (الا كلّ شيئ ما خلا الله باطل)

"Sebaik-baik puisi yang pernah diucapkan seorang penyair adalah ucapan Labid yang berbunyi: "Sesungguhnya segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap"

Diriwayatkan pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, beliau menulis surat kepada gubernur Kufah, Al-Mughirah bin Shu`bah agar mendapat pandangan penyair yang menerima Islam selepas melalui zaman Jahiliyyah. Maka permohonan Khalifah Umar ini disampaikan kepada Labid, kemudian dijawab oleh Labid dengan menyalin sehalaman dari Surah Al-Baqarah kepada Khalifah Umar Ibn Al-Khattab dan dia menghantar jawabannya melalui Al-Mughirah dan berkata,

“Allah menggantikan kepadaku dengan Islam sebaik-baik ganti dari perpuisian !”

(Butrus al-Bustani, Udaba`  al-`Arab fi al-Jahiliyyah wa Sadr al-Islam, Dar Nazir Abud, Beirut, 1989: 145-146).

Banyak sekali pendapat yang mengatakan Labid tidak meneruskan karirnya di dalam perpuisian setelah masuk Islam. Namun hal ini juga memperoleh perbedaan pendapat. Pasalnya, terdapat gubahan-gubahan puisi beliau selepas ia masuk Islam. Umpamanya ia mengungkapkan:

Adakah tidak selepas hidup seratus tahun umur panjang

Melengkapkan dengan sepuluh tahun lagi  tambahan

Dan dia mengungkapkan lagi selepas umurnya bertambah:

Jemuku dari  kehidupan oleh umur panjang

Bertanya orang bagaimana dengan Labid ?

Tewas lelaki sedang dia tetap berterusan

Masa berubah bilangan bertambah

Hari kulihat datang bertukar malam

Keduanya pergi tetapi tetap datang kembali.

Setelah Labid melalui zaman Jahiliyyah hingga 90 tahun dan di penghujung hayatnya ia berkomitmen dengan Islam. Antara puisi-puisi akhirnya dia mengungkapkan puisi yang dituju kepada dua anak perempuannya ketika akhir ajalnya:

Bercita kedua anakku agar ayah terus hidup

Adakah ayahi dari Rabi`ah atau Mudar ?

Apabila hampir masa matinya ayah kamu

Janganlah berubah wajah jangan mencukur rambut

Katakalah dia adalah orang yang tidak medaratkan jiran

Tidak khianatkan kawan dan tidak menipu teman

Sempurnalah putaran zaman selamatlah kalian

Siapa yang tidak sempurna hidup kelilingan pohonlah kemaafan.

Butrus al-Bustani menghujah, bagaimana dikatakan dia tidak mengungkapkan puisi selepas Islam ? Menurutnya, “Kami melihat dia terus menggubah puisinya selepas Islam. Siapa yang mengambil tadabbur dari puisinya niscaya mengetahui bahwa puisinya bernafaskan keislaman.``

Contoh puisinya:

Sesungguhnya taqwa kepada Tuhan sebaik pencapaian

Dengan izin Allah berkat perjalanan lambat atau cepat

Aku puji Allah yang tiada ada bandingan bagi Nya

Di tanganNya kebaikan, apa Yang Dia Kehendak berlaku

Siapa diberi pertunjukan jalan kebaikan dapat jalan pertunjukan

Lembut hati, tapi siapa Dia kehendaki  kesesatan dalam kesesatan.

(Butrus al-Bustani, Udaba` al-`Arab, 1989: 146-147).

Labid tidak saja istimewa sebagai penyair Al-Mu`allaqah, tetapi ia juga seorang pembawa bendera dua zaman, yakni zaman Jahiliyyah yang berciri badawi yang ditinggalkannya dan zaman Islam yang diperjuangkan.

Dengan latarnya, maka Abu Yazid al-Qurashiyy berpendapat, Labid mempunyai kedudukan tinggi di zaman Jahiliyyah dan Islam..  Ibn Salam meletakkannya sebagai penyair golongan ketiga. Sebagai kesimpulan, peranan Labid di dalam berpuisi sangat penting, meskipun tidak setara dengan Imriul-Qays dari segi bandingan dan istiarah, juga tidak setara dengan Tarfah dari segi gambaran dan dari Zuhayr tentang gambaran peperangan dan siasat qabilah, tetapi Labid mengatasi mereka semua di dalam mengilustrasikan suasana. Ia istimewa dari segi rintihan dan waaz serta nasihat dan mencetuskan hikam yang mendalam dan mengukuhkan keimanan terhadap Allah

Akhirnya, Labid bin Rabi’ah mengembuskan nafas terakhirnya di Kufah Iraq pada sekitar tahun 661M / 41 Hijriah.