Surau.co
Menu Menu

Kiai Syamsuddin Madura, Biografi Singkat

Surau.co - Nama Kiai Syamsuddin alias Buju’ Latthong di Madura, khususnya Pamekasan, sangatlah populer. Berbagai kisah karomah dan keshalihan awliya Allah di bumi Gerbang Salam itu terus mengalir dalam sungai ingatan generasi setelahnya.

Madura memiliki dua wilayah bernama Batu Ampar. Yang satu terletak di kabupaten Sumenep, dan satunya lagi di wilayah kabupaten Pamekasan. Untuk membedakannya, lokasi pertama dikenal dengan Batu Ampar Timur—merujuk pada posisi Sumenep sebagai kabupaten paling timur di nusa garam, dan yang kedua populer dengan sebutan Batu Ampar Barat.

Masing-masing wilayah itu dahulu merupakan daerah keramat. Kekeramatan itu tak lepas dari keberadaan para sosok yang merupakan shohibul wilayah. Di Batu Ampar Timur, nama Kiai Abdullah alias Bindara Bungso begitu melegenda. Beliau merupakan cikal-bakal dari dinasti terakhir Keraton Sumenep yang dikenal dengan para rajanya yang alim dan berpangkat ‘arifbillah. Begitu juga di Batu Ampar Barat, nama Kiai Abu Syamsuddin alias Buju’ Latthong tak kalah melegenda. Sosok sentral di rubrik Jejak Ulama edisi kali ini.

Dalam buku Manaqib Buju’ Batu Ampar yang bersumber pada Kiai Haji Jakfar Shodiq Fauzi, Kiai Abu Syamsuddin adalah putra Kiai Abdurrahman atau Batsaniah alias Buju’ Tompeng, Batu Ampar dengan Nyai Basyiroh. Nama Abu Syamsuddin merupakan kunyah. Maknanya, ayah dari Syamsuddin. Syamsuddin ini adalah putra sulung Buju’ Latthong. Sedangkan nama kecil Buju’ Latthong ialah Kiai Su’adi.

Buju’ Tompeng, ayah dari Kiai Su’adi atau Abu Syamsuddin ini merupakan salah satu waliyullah besar Madura di masanya. Di buku manaqib tersebut tertera nasab Buju’ Tompeng, yaitu Buju’ Tompeng bin Kiai Abdul Manan (Buju’ Kosambi) bin Syarif Husain (Buju’ Banyu Sangka) bin Sunan Bonang bin Sunan Ampel.

Kiai Abdul Manan alias Buju’ Kosambi ini yang pertama kali bermukim di Batu Ampar, Pamekasan. Disebut Buju’ Kosambi karena beliau bertirakat di pohon kosambi (kesambi) selama empat puluh tahun. Pohon kesambi tempat tirakat beliau itu terletak di atas bukit yang dikelilingi pohon bambu. Di dekat pohon tersebut ada sebuah sumur yang disebut sumur Todhungi. Sumur inilah yang menjadi  tempat  keperluan beliau untuk minum dan wudlu.

Baca Juga : KH Hasyim Muzadi, Biografi Singkat

Todhungi ini berasal dari kata ekodhungi yang berarti ditutupi. Konon, sumur tersebut tertutup oleh batu yang dengan ijin Allah SWT, melalui karomah  Kiai Abdul Mannan (Syekh Abdul Mannan). Tutup sumur tersebut bisa terbuka dengan sendirinya manakala diperlukan beliau.

Buah memang tidak jatuh jauh dari pohonnya. Jika ayah dan kakeknya adalah ahli tirakat untuk membangun keshalihan, begitu pula dengan Kiai Su’adi Abu Syamsuddin. Pada usia remaja, beliau berangkat ke bukit Banyu Pelle untuk melakukan tirakat.