Surau.co – Dalam Babad Tanah Jawi, diceritakan bahwa Prabu Brawijaya berputra 117, diantaranya Raden Bondan Kejawan, yang berputra Ki Ageng Getaspendawa, yang menurunkan Ki Ageng Sela sampai Ki Ageng Pemanahan kemudian Danang Sutawijaya (Panembahan Senopati). Sementara Ki Ageng Mangir I yang menurunkan Ki Ageng Wanabaya III, merupakan keturunan Brawijaya ke-43.
Diceritakan juga bahwa Ki Ageng Wanabaya III merupakan tokoh yang sakti, maka tidak akan semudah itu Panembahan Senopati membunuhnya dengan cara membenturkan kepalanya ke tempat duduknya. Penyanggahan bahwa terjadi pembangkangan juga muncul dari masyarakat Desa Mangir.
Kembali pada cerita legenda, ketika mulai jaman keruntuhan Majapahit, para keturunan Prabu Brawijaya V ada yang memilih mengembara kearah barat menempati daerah-daerah subur yang dahulu pernah ditempati Kerajaan Mataram Kuno. Dalam Babad Tanah Jawi, konon Raden Megatsari (Ki Ageng Mangir I) tertarik dengan banyaknya pohon kelapa yang telah tumbuh menjadi hutan kelapa di tepian Sungai Progo. Daerah tersebut juga terdapat banyak satwa. Orang-orang ikut menempati Desa Mangir dan hidup sejahtera dengan bertani dan membuat gula kelapa.
Setelah ki Ageng Mangir 1 wafat, dusun Mangir dipimpin oleh ki Ageng Mangir II atau Raden Wonoboyo. Ki Ageng Mangir telah menjadi satu-satunya pemimpin, pengayom, guru dan tempat bertanya bagi masyarakat desa Mangir. Bahkan pengaruh ki Ageng Mangir telah meluas sampai ke desa-desa sekitarnya.
Diceritakan Putri Pembayun, putri kesayangan Panembahan Senopati telah bersedia menjadi duta menyelesaikan dan menundukkan Ki Ageng Mangir Wonoboyo (Ki Ageng Mangir IV) Para kerabat Mataram telah mengetahui bahwa Ki Ageng Mangir Wonoboyo dan para kakeknya adalah kerabat Majapahit. Kisah demikian telah beredar semenjak Ki Ageng Pemanahan dan Sunan Kalijogo masih hidup. Kekerabatan itu menjadi putus karena jarak yang sangat jauh dan dipisahkan oleh gunung dan hutan serta terputusnya kepentingan dan keyakinan hidup masing-masing. Oleh karena itu, sikap yang menjadi salah paham yaitu menjadi pembalela harus diselesaikan dengan damai.
Konon rombongan yang kesenian yang berangkat menuju Mangir terdiri dari para Punggawa terkemuka Negeri Mataram. Adipati Martalaya sebagai Dalang Sandiguna siap memimpin misi rahasia itu dibantu Ki Jayasupanta sebagai penabuh Ki Sandisasmita dan Ki Suradipa sebagai penggendang tak perlu berganti nama. Sedangkan Retna Pembayun yang menjadi waranggana sekaligus anak Ki Dalang dikawal oleh seorang bupati wanita yang bernama Nyai Adirasa. Dikisahkan bahwa rombongan itu membawa peralatan gamelan, wayang dan para wiyaga (penabuh gamelan) yang cukup banyak. Dan perjalanannya telah sampai di Kademangan Mangir.
Kebetulan kala itu di kademangan Mangir memang sedang merayakan Merti Dusun yaitu menyambut pepanenan hasil pertanian yang diadakan setiap tahun, tidak menyangka ada rombongan kesenian dari luar desa.Tentu saja Ki Ageng dapat menerima kedatangan mereka dengan senang hati.
Tontonan itupun segera digelar sehingga seluruh kademangan Mangir menjadi hingar bingar. Ki Ageng Mangir Wonoboyo IV yang masih perjaka terpikat akan kecantikan Sang Waranggana yang duduk dibelakang Ki Dalang Sandiguna.
Selesai mendalang, mereka dijamu di dalam rumah Ki Ageng. Rumah itu memang sepi karena memang KI Ageng belum berkeluarga. Belum ada wanita yang mampu menundukkan hatinya. Tetapi ketika melihat Sang Waranggana yang konon Putri Ki Dalang Sandiguna, hatinya berbicara lain dan sepertinya mulai tumbuh benih-benih cinta. Ki Ageng Mangir terkena panah asmara dan ingin melamar Sang Ayu untuk menjadi istrinya.
Konon keduanya telah direstui untuk menjadi suami istri. Retno Pembayun dengan sepenuh hati telah rela untuk menjadi Nyai Ageng Mangir Wonoboyo. Dengan pernikahan itu sesungguhnya bumi Mangir dikatakan telah menjadi bagian dari Istana Mataram.
Tetapi kiranya tak semudah itu untuk menundukkan sebuah keyakinan. Ki Ageng Mangir Wonoboyo tidak mengira bahwa istrinya itu adalah Sekar Kedaton Kerajaan Mataream. Ia tidak pernah tunduk kepada Panembahan Senopati kenapa bisa menjadi menantu penguasa Mataram itu? Konon Ki Ageng masih bertanya-tanya dengan penuh keraguan, namun toh pupus dengan keyakinan bahwa semuanya itu telah menjadi suratan takdir Yang Maha Kuasa.
Benih-benih cinta tetap mekar dan bersemi di hari keduanya. Tetapi untuk menghadapkan sembah kepada mertuanya di Mataram? Harga diri dan pesan wanti-wanti kakek moyangnya selalu saja mengganggunya. Kemandirian Desa Mangir harus diteruskan tanpa mengekor kepada kekuasaan lain. Tidak ada ketundukan tanpa kesadaran dan keikhlasan. Konon Ki Ageng Mangir benar-benar berada di simpang jalan.
Nyai Ageng Mangir alias Retno Pembayun, yang ternyata seorang Putri Kedaton tak habis-habisnya merayu sang suami untuk segera menghadap ayahanda di Mataram. Ki Ageng berpikir sungguh-sungguh untuk mengambil sikap yang terbaik. Apakah maksud sesungguhnya dari seorang Putri Panembahan Senopati sehingga mau menjadi Nyai Ageng Mangir? Sehingga benih cinta darinya sudah bersemi di dalam kandungan Sang Putri yang konon semestinya masih bermanja-manja di Istana Keputren? Demikianlah, suratan takdir sudah terjadi. Ki Ageng Mangir Wonoboyo muda harus bertanggungjawab menghadapi kenyataan yang terjadi. Ia telah siap menghadapi kenyataan yang terjadi. Ia telah siap untuk menghadapi mertuanya Sang Panembahan Senopati di Mataram.
Tetapi kewibawaan Mangir tak boleh sirna. Para pemuda Mangir harus ikut serta dan tombak pusaka Kiai Barukuping harus dibawa. Ia pun akan menghadap Panembahan Senopati sebagai seorang Ksatria yang memiliki harga diri dan martabat yang sama. Bukankah di Bumi Mangir sudah tidak ada lagi.
Baca Juga : KH. Idham Chalid, Biografi Singkat
Sembah-menyembah dan kasta-kasta? Selanjutnya Ki Ageng Mangir menuruti permintaan istrinya untuk segera pergi ke istana. Konon para kerabat Kraton Mataram telah mempersiapkan upacara penyambutan yang lazimnya disebut “ngunduh mantu” dengan tatacara yang meriah. Perjalanan Ki Ageng dan Nyai Ageng Mangir menuju Mataram diikuti para kerabat Mangir yang cukup banyak.
Cerita mengenai saat-saat boyongan dari Mangir ke Mataram ini ada satu versi sejarah jutru merupakan sebuah kisah yang dramatis, hanya sayang tidak banyak masyarakat yang mengetahuinya. Kisah ini dapat dibaca dalam Babad Mangir. Dalam adegan ini pulalah kata Bantul berasal, karena banyaknya Emban yang membawa uba rampe serta srah-srahan dengan cara dipikul yang Mentul-mentul. Itulah asal dari kata Bantul, yang kini menjadi salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, emBAN dan menTUL.