Surau.co – Muhammad Adlan Aly, (1900-1990). Lahir pada tanggal 3 Juni 1900 di Pesantren Maskumambang, Dukun, Sedayu, Gresik, dari pasangan Nyai Hj. Muchsinah binti K.H. Abdul Jabbar dan K.H. Ali. Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Putri Wali Songo, Cukir, Jombang, Jawa Timur, dan Ketua Umum pertama Jam’iyyah Ahli-t-Thariqah Al-Mu’tabarahan-Nahdliyyah (JATMAN), organisasi tarekat di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ini dikenal sebagai sosok yang wara’, zuhud, dan tawadlu’.
Saudaranya adalah K.H. Ma’shum, H.M. Mahbub, dan Nyai Mus’idah Rohimah. Kakaknya, K.H. Ma’shum Ali, kemudian menjadi menantu K.H. Hasyim Asy’ari dan penulis buku terkenal. Kiai Adlan Aly tumbuh dan dididik sejak kecil dalam lingkungan keluarga pesantren. Kakeknya, K.H. Abdul Jabbar (wafat 1903), adalah pendiri Pondok Pesantren Maskumambang Gresik di tahun 1859. Awalnya Kiai Adlan Aly nyantri kepada sang ayah, KH. Ali, di Pesantren Maskumambang. Kemudian menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng, dan terbilang sebagai santri generasi awal KH. Hasyim Asy’ari. Adalah kebanggaan para santri di Jawa waktu itu menambah ilmu dan berguru kepada pendiri NU ini.
KH. M. Adlan Aly semenjak kecil kurang lebih berusia 5 tahun belajar agama Islam kepada pamannya yaitu KH.Fariq di pondok pesantren Maskumambang ,setelah berusia 14 tahun beliau belajar menghafal Al-Qur’an kedapa KH.Munawar Kauman Sedayu Gresik.Empat tahun kemudian beliau mengikuti kakaknya mondok di pesantren jombang .Setelah KH.Ma’shum Aly mendirikan pondok sendiri, yaitu pondok pesantren Seblak Diwek Jombang, KH.M.Dahlan Aly ikut pindah kesana walau tetap menuntut ilmu di Tebuireng.Ketika H.M.Mahbub Aly membuat rumah di Cukir dan membuka toko kitab di muka pasar Cukir, KH.M.Adlan Aly diminta membantu kakaknya mengurusi toko.
Setelah NU berdiri, K.H. Hasyim Asy’ari memanggil santri favoritnya ini, bersama-sama K.H. Abdul Karim Gresik dan H. Sufri, untuk membentuk kepengurusan NU di Kecamatan Diwek. Dari Pesantren Cukir inilah Kiai Adlan Aly berkiprah di NU hingga ke level nasional. Dalam Muktamar NU yang ke-8 di Cirebon pada Agustus 1931, Kiai Adlan Ali dipercaya sebagai pemimpin sidang. Termasuk ketika membahas masalah Tarekat Tijaniyah yang sempat bikin panas muktamar. Meski akhirnya forum perdebatan yang langsung dipimpin sendiri oleh K.H. Hasyim Asy’ari itu memutuskan bahwa Tijaniyah dianggap sebagai tarekat mu’tabarah.
Kiai Adlan Aly memang dikenal sebagai tokoh tarekat dan menjadi mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Padahal gurunya sendiri, K.H. Hasyim Asy‘ari, dan komunitas Pesantren Tebuireng, tidak mengamalkan satu tarekat pun. Ijazah irsyad (perkenan untuk menjadi mursyid atau guru dalam satu tarekat) beliau dapatkan dari guru tarekatnya, K.H. Muslih Abdurrahman Mranggen, Demak. Yang terakhir ini memang dikenal sebagai mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan banyak memberi ijazah kepada para ulama Jawa. Selain itu, Kiai Adlan Aly juga memperoleh ijazah tarekat tersebut dari K.H. Romly Tamim Rejoso, Jombang.
Kemudian, pada Muktamar NU ke-26 di Semarang tahun 1979, Kiai Adlan Aly terpilih sebagai ketua umum pertama Jam’iyyah Ahli-t-Thariqah Al-Mu’tabarahan-Nahdliyyah (JATMAN). Dan memang baru pada muktamar kali ini NU punya organisasi tarekat sendiri berskala nasional. Karena sebelumnya ada organisasi tarekat yang dipimpin oleh K.H. Musta’in Romly, putra K.H. Romly Tamim Rejoso.
Tapi para kiai dan ulama tarekat meninggalkan organisasi tarekat bernama Jam’iyyah Ahli-t-Thariqah al-Mu’tabarah ini. Soalnya K.H. Musta’in Romly bergabung ke Golkar bersama dengan organisasi tarekatnya di tahun 1970-an. Ketika Kiai Adlan Aly terpilih sebagai Ketua Umum JATMAN, muncul suara miring yang menyebut beliau berambisi memimpin organisasi tarekat karena bersaing dengan Kiai Musta’in yang sama-sama ulama tarekat Jombang. Namun, tuduhan itu terbukti tidak benar. Karena ternyata yang meminta pembentukan organisasi tarekat baru itu di Muktamar NU Semarang adalah K.H. Muslih Abdurrahman sendiri, guru tarekat para ulama pesantren.
Sejak itu, anak-anak Pesantren Tebuireng kalau ingin gabung ke tarekat, patronnya adalah Kiai Adlan Aly. Di Tebuireng beliau juga mengajar kitab-kitab, seperti Fathul Qarib, Fathul Wahab, al-Muhadzab, Manhaj Dzawinnazhar, Jam’ul Jawami, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Munir karya Syaikh Nawawi al-Bantani, dan juga kitab Shahih Bukhari–Muslim. Ketika Kiai K.H. Hasyim Asy’ari memimpin Tebuireng (1955-1965), Kiai Adlan Aly bersama K.H. Idris Kamali juga dipercaya memimpin pengajian kitab-kitab kelas tinggi.
Kiai Adlan Aly dikenal dekat dengan masyarakat, sekaligus aktif berjuang membela kepentingan mereka. Bahkan setiap undangan dari para jamaahnya selalu beliau datangi. Bahkan di usia senjanya, rela dibonceng dengan sepeda motor untuk menempuh jarak sejauh untuk mendatangi undangan seorang jamaahnya. Padahal beliau dikenal di masa mudanya – di sekitar tahun 1925 – sebagai jago balap mobil. Waktu lampu mobil masih menggunakan karbit, beliau sudah sering ngebut.
Baca Juga : KH Ali Maksum, Biografi Singkat: Didikan keras keagamaan Hingga Berjalan Kaki ke Pesantren Termas
Di masa pendudukan Jepang, sewaktu menjabat sebagai Rois Syuriyah NU di Jawa Timur, Kiai Adlan Aly bersama H. Sufri aktif mengurus kepentingan warga yang keluarganya kena wajib romusha. Bahkan beliau sempat ditangkap oleh tentara Jepang untuk dipekerjakan dalam rombongan romusha. Tapi sempat menghilang dan akhirnya kembali ke rumah dengan selamat. Usai Proklamasi Kemerdekaan 1945, beliau bergabung ke dalam Barisan Sabilillah – sebuah laskar ulama-pesantren yang dikomandani langsung oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah di tingkat nasional. Selain menggalang dana untuk perjuangan laskar-laskar santri dan ulama, Sabilillah dan Hizbullah, Kiai Adlan Aly juga ikut berperang di garis depan untuk membendung laju tentara Belanda yang bermaksud menguasai kembali daerah Jawa Timur pasca perang 10 November 1945 di Surabaya.
Usai revolusi kemerdekaan, Kiai Adlan Aly kembali ke pesantren membenahi sistem pendidikan. Fokus utama beliau adalah pendirian pondok putri, mewujudkan amanah gurunya, K.H. Hasyim Asy’ari. Pada awal abad ke-20 kebanyakan yang nyantri di pondok adalah laki-laki. Meski ada perempuan yang nyantri, mereka tidak mondok. Karena pesantren memang tidak menyediakan asrama putri. Beberapa lama kemudian, ada inovasi baru, sejumlah pesantren mulai membuka pondok putri. Pesantren Manba’ul Ma’arif Denanyar, Jombang, misalnya, di bawah asuhan K.H. Bisri Syansuri (salah seorang pendiri NU), sudah memulai membuka pondok putri. Sementara Pesantren Tebuireng sendiri belum melakukannya, meski banyak perempuan santri yang ingin mondok di pesantren. Masalah itu segera direspons oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Beliau menunjuk K.H. Adlan Aly, santri kesayangan beliau, untuk membuka pesantren putri di Desa Cukir.
Empat tahun setelah wafatnya sang guru di tahun 1947, Kiai Adlan Aly baru bisa merealisasikan rencana itu. Pondok putri itu diberi nama Madrasah Mu’allimat Cukir. Pondok itu juga bernilai strategis bagi masyarakat Jombang. Diketahui banyak anak-anak putri tamatan Madrasah Ibtidaiyyah tidak dapat melanjutkan belajar keluar daerah karena keterbatasan biaya. Daerah Cukir dan sekitarnya juga belum memiliki sekolah lanjutan setingkat SMP dan SMA. Akhirnya diadakan musyawarah dan sepakat mendirikan pondok dengan nama Madrasah Mu’allimat Cukir. Bersamaan dengan kedatangan para santri putri dan pelajar putri yang ingin mondok, Kiai Adlan Aly lalu membangun asrama sederhana di belakang rumahnya.
Pondok itu kemudian berkembang. Para santri putri kian banyak. Terutama dari luar Jombang, sehingga pondok itu dikenal dengan nama Pondok Pesantren Putri Wali Songo. Dan hingga kini pesantren itu berkembang menjadi sebuah pesantren modern, lengkap dengan berbagai fasilitas belajar-mengajar dan penunjang kehidupan kaum santri di dalam pondok. Tidak terkecuali, pelajaran ngaji kitab kuning, yang wajib untuk semua santri, tetap dilestarikan dan dikembangkan.
Sukses mengembangkan pesantren dan organisasi tarekat, Kiai Adlan Aly kemudian berkecimpung dalam dunia politik, meski hanya sebatas di lingkungan Kabupaten Jombang. Menjelang Pemilu 1987, Kiai Adlan Aly berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan, lalu terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Jombang, Jawa Timur, periode 1988-1993.
K.H. Adlan Aly wafat pada tanggal 17 Rabiul Awal 1411 H/6 Oktober 1990 M dalam usia 90 tahun. Ulama kharismatik ini kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng, Jombang.