
Ketika Sahabat Abu Dzar Ingin Diinjak Pipinya
SURAU.CO. Keteladanan sahabat Nabi Muhammad SAW bisa contoh bagaimana sebaiknya menjaga akhlak. Salah satunya adalah kisah antara sahabat Abu Dzar al Ghifari dan Bilal bin Rabah. Perilaku kedua sahabat utama Rasulullah saw ini Kisah keduanya mencerminkan saling respek satu sama lain. Mereka berdua sangat menghargai satu sama lain.
Dalam kitab Risalah Qusyairiyah mengisahkan bahwa Abu Dzar dan Bilal pernah saling berbantah-bantahan. Hal tersebut terjadi dalam sebuah majelis. Tampak hadir sahabat senior di antaranya Khalid bin Al-Walid, Abdurrahman bin Auf dan lain sebagainya. Kedua sahabat itu kemudian saling beradu argumen tentang suatu masalah.
Yang terjadi perdebatan semakin panas hingga Abu Dzar kemudian mencela sahabat Bilal dengan perkataan yang sedikit rasis. Abu Dzar menyebut sahabat ibu sahabat Bilal dengan kata “hitam.”
Selain itu para sahabat berkumpul di suatu majlis yang tidak dihadiri Rasulullah SAW. Di majlis tersebut ada beberapa . perkataan itu menyinggung Bilal dan kemudian mengadukannya kepada Rasulullah SAW.
Perkataan itu sampai ke Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw kemudian berkata,” Wahai Abu Dzar di dalam hatimu masih terdapat sifat sombong seperti kesombongan orang-orang jahiliah.”
Mendengar sabda Rasulullah SAW tersebut, Abu Dzar langsung merasa berdosa kepada Bilal dan kemudian dirinya bersumpah untuk tidak mengangkat kepalanya sebelum Bilal menginjak pipinya dengan telapak kakinya. Abu Dzar bahkan tidak akan mengangkat kepalanya sehingga Bilal melaksanakan apa yang diinginkannya.
Nilai Ketawadukan
Itulah kisah dua sahabat Rasulullah SAW yang di dalamnya terkandung nilai-nilai ketawadukan. Para sufi menempatkan sikap tawaduk dalam kesehariannya. Salah satu sufi masyhur Junaid Al Baghdadi pernah ditanya tentang apa itu tawaduk. Maka ia kemudian menjawab,” Merendahkan lambung ke orang lain dan bersikap lemah lembut kepada mereka.”
Sementara itu Abu Yazid al-Busthomi pernah ditanya:” Kapan orang itu tawaduk? Maka Beliau menjawab “Jika sudah tidak merasa ada kedudukan dan kemuliaan pada dirinya, dan dia tidak melihat makhluk (orang) lain itu lebih jelek/hina daripada dirinya.” (dari berbagai sumber)