Surau.co
Menu Menu
Begal Ramadhan

Iftar al-Sokak, Tradisi Unik “Begal Ramadan” yang Menyenangkan di Jalanan Sudan

Di pinggir jalan yang ramai, sore menjelang magrib, sekelompok anak muda mencegat sebuah mobil tua melintas perlahan. "Pak, parkir sebentar, mari buka bersama!" teriak salah satunya sambil menunjuk tikar penuh makanan di dekatnya. Awalnya, pria asing itu bingung, tapi anak-anak muda itu tak menyerah. Mereka mendekat dengan ramah, membukakan pintu mobil, dan akhirnya pria itu tersenyum kecil, memarkir kendaraannya. Tak lama, ia duduk bersila, menikmati minuman dingin sambil mengangguk mendengar obrolan tentang pertandingan sepak bola kemarin.

Di sudut lain, aroma makanan tradisional tercium dari tikar-tikar yang ditata rapi di trotoar. Seorang ibu rumah tangga sibuk mengatur piring sederhana bersama tetangga, sesekali melirik jam. Ketika azan magrib berkumandang, ia melihat seorang pria muda berjalan tergesa-gesa dengan tas lusuh di pundak. Dengan senyum lebar, ia melangkah cepat, tangannya terulur lembut sambil berkata, "Ayo, nak, berbuka dulu bersama kami!" Pria itu terkejut, ragu sejenak, tapi kehangatan suaranya membuatnya tak kuasa menolak. Ia pun duduk di tikar, bergabung dengan warga lain yang tertawa kecil sambil berbagi cerita hari itu.

Bulan Ramadhan selalu menjadi momen istimewa bagi umat Muslim di seluruh dunia, termasuk di Sudan. Di negara yang terletak di Afrika Timur Laut ini, Ramadhan tidak hanya dirayakan dengan ibadah puasa, salat tarawih, dan kegiatan keagamaan lainnya, tetapi juga dengan tradisi unik yang mencerminkan nilai-nilai solidaritas dan kebersamaan. Salah satu tradisi yang paling menonjol dan menjadi sorotan dunia muslim lain adalah tradisi “Begal Ramadan” itu. Yakni, tradisi mencegat orang yang sedang melintas di jalanan untuk parkir sejenak dan berbuka Bersama. Sebagaimana diliput oleh Sudanow Magazine, tradisi ini menjadi simbol keramahan dan semangat berbagi yang kuat di kalangan rakyat Sudan.

Asal-Usul dan Makna Tradisi Begal Ramadan

Tradisi berbuka bersama di pinggir jalan, yang dikenal sebagai "iftar al-sokak" yang oleh orang Indonesia dipadankan dengan "Begal Ramadan", memiliki akar yang dalam dalam budaya Sudan. Menurut laporan dari Sudanow Magazine, tradisi ini bukanlah hal baru, melainkan telah diwariskan dari generasi ke generasi. Pada masa lalu, ketika transportasi belum semaju sekarang, para pelancong atau pedagang yang melintasi kota-kota besar seperti Khartoum atau Omdurman sering kali tidak memiliki tempat untuk berbuka puasa. Masyarakat Sudan, yang dikenal dengan keramahannya, kemudian menginisiasi tradisi ini dengan menyediakan makanan di tepi jalan untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang kelaparan saat waktu berbuka tiba.

Tradisi ini juga mencerminkan ajaran Islam tentang pentingnya berbagi rezeki. Dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera, seorang penduduk lokal di Khartoum, Ahmed Osman, mengatakan, "Di Sudan, kami percaya bahwa Ramadhan adalah waktu untuk memberi, bukan hanya menerima. Menyediakan makanan untuk orang asing adalah cara kami menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang kami miliki." Nilai-nilai ini selaras dengan semangat Ramadhan yang menekankan empati terhadap sesama, terutama mereka yang kurang beruntung.

Pelaksanaan Tradisi

Pelaksanaan iftar jalanan di Sudan dilakukan dengan cara yang sederhana namun penuh makna. Menurut Sudanow Magazine, sebelum waktu magrib tiba, warga di berbagai lingkungan berkumpul untuk menyiapkan tempat berbuka di pinggir jalan. Mereka membawa berbagai makanan tradisional seperti ful medames (kacang fava rebus), ta’miya (falafel Sudan), roti lokal, dan minuman seperti karkadeh (teh bunga hibiskus). Meja-meja kecil atau tikar ditata di trotoar, dan makanan disusun rapi untuk menyambut siapa saja yang lewat.

Yang membuat tradisi ini unik adalah kebiasaan warga menghentikan para pejalan kaki, pengendara sepeda, atau bahkan pengemudi mobil untuk bergabung. Tidak ada pengecualian—baik penduduk lokal, pelancong, atau bahkan turis asing, semua diundang dengan ramah. Seorang jurnalis dari BBC yang pernah meliput tradisi ini di Khartoum menggambarkan pengalamannya: "Saya sedang berjalan menuju hotel ketika seseorang menarik tangan saya dengan lembut dan berkata, ‘Ayo, bergabunglah dengan kami!’ Saya tidak bisa menolak senyuman hangat mereka."

Tantangan dan Adaptasi di Masa Modern

Meskipun tradisi ini tetap populer, tantangan modern seperti urbanisasi dan situasi ekonomi yang sulit di Sudan telah memengaruhi pelaksanaannya. Dalam beberapa tahun terakhir, konflik dan krisis ekonomi menyebabkan kenaikan harga pangan, sehingga tidak semua keluarga mampu menyumbang makanan dalam jumlah besar. Namun, semangat kebersamaan tidak pudar. Sebuah artikel di Middle East Eye menyoroti bagaimana komunitas di Port Sudan beradaptasi dengan mengumpulkan donasi kecil dari warga untuk memastikan tradisi ini tetap berjalan. "Kami mungkin tidak punya banyak, tapi kami punya hati yang besar," kata seorang ibu rumah tangga dalam laporan tersebut.

Selain itu, pandemi COVID-19 juga sempat mengganggu tradisi ini. Pada tahun 2020 dan 2021, pembatasan sosial memaksa warga untuk mengurangi kerumunan. Namun, seperti dilaporkan Al Jazeera, banyak keluarga beralih dengan membagikan paket makanan kepada tetangga atau orang-orang yang membutuhkan sebagai pengganti iftar jalanan skala besar.

Dampak Sosial dan Budaya

Tradisi iftar jalanan tidak hanya tentang berbagi makanan, tetapi juga memperkuat ikatan sosial. Dalam masyarakat Sudan yang multietnis—dengan ratusan suku seperti Nubian, Arab, dan Beja—tradisi ini menjadi jembatan yang menyatukan perbedaan. The Guardian pernah menulis bahwa iftar jalanan adalah "cerminan nyata dari keberagaman Sudan yang harmonis." Di tengah hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan tantangan politik yang sering mengguncang negara ini, momen berbuka bersama memberikan ruang bagi warga untuk saling mendukung.

Bagi anak-anak muda, tradisi ini juga menjadi sarana pembelajaran nilai-nilai kemanusiaan. Seorang aktivis muda, Fatima Ali, yang diwawancarai oleh Sudanow Magazine, mengatakan, "Saya belajar dari kecil bahwa Ramadhan bukan hanya soal menahan lapar, tapi juga tentang memahami kesulitan orang lain. Tradisi ini mengajarkan saya untuk peduli."

Resonansi Internasional

Tradisi iftar jalanan Sudan telah menarik perhatian media internasional dan menginspirasi komunitas lain di luar negeri. Misalnya, komunitas diaspora Sudan di Inggris dan Amerika Serikat mulai mengadopsi konsep serupa dengan menggelar iftar komunal di taman-taman kota. Laporan dari Reuters menyebutkan bahwa acara semacam ini tidak hanya mempertahankan identitas budaya Sudan, tetapi juga memperkenalkan keramahan Sudan kepada dunia.

Tradisi berbuka bersama di pinggir jalan adalah salah satu harta budaya Sudan yang patut dilestarikan. Di balik kesederhanaannya, tradisi ini membawa pesan mendalam tentang solidaritas, keramahan, dan kebersamaan yang melampaui batas sosial, ekonomi, dan etnis. Seperti yang diungkapkan dalam Sudanow Magazine, "Ini bukan sekadar makan bersama; ini adalah perayaan kemanusiaan." Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi Sudan, tradisi ini tetap menjadi pengingat bahwa semangat Ramadhan—berbagi dan peduli—akan selalu hidup di hati rakyatnya.

Dengan terus menjaga tradisi ini, Sudan tidak hanya memperkaya warisan budayanya, tetapi juga menawarkan pelajaran berharga kepada dunia tentang arti sejati dari kebersamaan. Ramadhan di Sudan, melalui iftar jalanan, adalah bukti bahwa bahkan di saat sulit, hati yang terbuka dan tangan yang terulur selalu mampu menciptakan keajaiban.