Ramadan
SURAU.CO. Selama bulan Ramadhan 1446 H, Kementerian Agama telah mengirim 1000 dai ke wilayah terluar, terdepan dan tertinggal. Dari jumlah tersebut sebanyak 213 merupakan daiyah atau dai perempuan. Pengiriman ini merupakan bagian dari program penguatan peran perempuan dalam dakwah.
Para daiyah ini menurut Ahmad Zayadi, Direktur Penerangan Agama Islam Kemenag, tidak hanya menyampaikan ajaran agama saja. Namun, lanjutnya juga berperan dalam memberdayakan perempuan. “Daiyah tidak hanya menyampaikan ajaran Islam, tetapi juga berperan dalam pemberdayaan perempuan, pendidikan keagamaan anak-anak, serta memperkuat ketahanan sosial di masyarakat. Kehadiran mereka sangat dibutuhkan, terutama di daerah yang selama ini memiliki keterbatasan akses terhadap layanan keagamaan,” ujarnya, Minggu (9/3).
Pelibatan para daiyah, menurut Zayadi menjadi bagian dari strategi penguatan peran perempuan dalam dakwah Islam yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Kemudian dirinya juga berharap program pengiriman dai ini bermanfaat untuk masyarakat di wilayah 3T. Selain itu juga tahun depan semakin banyak daiyah yang terlibat . “Kami ingin memastikan bahwa dakwah di Indonesia semakin inklusif dan bisa menyentuh semua lapisan masyarakat. Peran perempuan dalam dakwah harus terus diperkuat agar semakin banyak komunitas yang mendapatkan manfaatnya,” jelasnya.
Menjawab Persoalan Fiqih Perempuan
Sementara itu Analis Kebijakan Ahli Muda pada Subdirektorat Dakwah dan Hari Besar Islam, Kemenag, Subhan Nur menyebut peran daiyah sangat strategis. Menurutnya hal penting peran daiyah itu adalah memberi pemahaman agama dekat dengan kehidupan keseharian. Bagi Subhan, peran kunci daiyah adalah memberi bimbingan dan konsultasi keagamaan terkait permasalahan fikih wanita. Padahal hal inilah yang sering menjadi kendala bagi perempuan utamanya daerah terpencil.
“Kehadiran daiyah sangat penting, terutama untuk menjawab berbagai persoalan fikih wanita yang sering kali sulit dibahas secara terbuka di masyarakat. Dengan pendekatan yang lebih personal, mereka dapat menjadi tempat konsultasi bagi para ibu dan remaja perempuan dalam memahami hukum Islam terkait haid, nifas, pernikahan, serta peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat,” jelasnya.
Selain memberi ceramah dan mengajar mengaji, para daiyah juga terlibat dalam berbagai program sosial. Program tersebut antara lain adalah pemberdayaan ekonomi perempuan, edukasi kesehatan keluarga, hingga pembinaan akhlak generasi muda.
SURAU.CO. Durasi waktu dalam menjalankan ibadah Puasa setiap daerah berbeda-beda. Pada bulan Ramadhan tahun ini beberapa negara ada yang menjalankannya dengan durasi yang panjang. Bahkan ada yang melaksanakan puasanya hingga 16 jam.
Bagi kaum muslimin yang ada di negara-negara paling selatan di dunia, seperti Selandia Baru atau Chile durasi berpuasa umat Islam adalah sekitar 13 jam. Sedangkan umat Islam yang ada di negara-negara paling utara, seperti Islandia atau Greenland durasi berpuasa selama 16 jam atau lebih. Hal itu tergantung hari-hari panjang mereka.
Namun tahun ini umat Islam yang berada di belahan Bumi Utara durasi puasanya lebih pendek. Kondisi ini akan terus berkurang hingga tahun 2031. Hal ini karena bulan Ramadan akan mencakup titik balik matahari musim dingin yaitu hari terpendek dalam setahun. Setelah itu, jam puasa akan meningkat di Belahan Bumi Utara hingga titik balik matahari musim panas dimana menjadi hari terpanjang dalam setahun. Namun untuk kaum muslimin bagian selatan khatulistiwa yang terjadi adalah sebaliknya.
Negara yang mempunyai durasi puasa terpanjang di dunia tahun ini adalah Greenland. Menjalankan puasa di negara tersebut akan berlangsung selama 17 jam 52 menit. Kemudian negara-negara Skandinavia menjalankan durasi puasa juga sangat panjang. Di kota Helsinki, Finlandia, umat Muslim berpuasa selama 17 jam 9 menit. Sedangkan kaum muslimin kota Oslo, Norwegia akan berpuasa selama 16 jam 54 menit. Sementara wilayah Eropa Barat, durasi puasa menjadi sedikit lebih pendek dibanding negara-negara Skandinavia.
Kota Madrid, Spanyol, durasi berpuasa mencapai 16 jam. Sedangkan kota Paris, Prancis selama 15 jam. Untuk kota London, Inggris, durasi puasanya sekitar 14 jam 55 menit. Mengutip Al Jazeera, Rabu (5/3) berikut durasi berpuasa dari berbagai kota di sejumlah negara :
Nuuk, Greenland: 16 jam
Reykjavik, Islandia: 16 jam
Helsinki, Finlandia: 15 jam
Oslo, Norwegia: 15 jam
Stockholm, Swedia: 15 jam
Glasgow, Skotlandia: 15 jam
Berlin, Jerman: 14 jam
Dublin, Irlandia: 14 jam
Moskow, Rusia: 14 jam
Amsterdam, Belanda: 14 jam
Warsawa, Polandia: 14 jam
Astana, Kazakhstan: 14 jam
namun ada juga negara - negara yang durasinya pendek. Negara-negara tersebut adalah negara terletak lebih dekat dengan garis khatulistiwa. Indonesia merupakan salah satu negara dengan durasi puasa terpendek, sekitar 13 jam.
Berikut daftar negara dengan durasi puasa terpendek :
1. Christchurch, Selandia Baru - 12 jam
2. Puerto Montt, Chili - 12 jam
3. Buenos Aires, Argentina - 12 jam
4. Jakarta, Indonesia - 13 hours
5. Nairobi, Kenya - 13 jam
6. Karachi, Pakistan - 13 hingga 14 jam
7. New Delhi, India - 13 hingga 14 jam
SURAU.CO. Ramadhan tahun ini Badan amil Zakat Nasional (Baznas) RI menyasar 1,1 juta mustahik di seluruh Indonesia. Pada tahun ini fokus kegiatan Ramadhan tahun ini berfokus pada perbaikan fasilitas dan pelayanan peribadatan. Selain itu juga bantuan bagi mustahik agar siap menjalankan ibadah puasa melalui akses makanan dan pembekalan dan layanan bagi musafir yang ingin mudik
Pimpinan baznas RI Bidang Pendistribusian dan Pendayagunaan Saidah Sakwan menyebut pihaknya telah menyiapkan sebanyak 30 program pada Ramadhan 2025/1446 Hijriah ini. Dengan berbagai program ini, Baznas berharap dapat memberikan dampak luas bagi masyarakat. Selain itu Saidah juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk turut serta menyukseskan berbagai program Ramadhan ini. "Kami ingin memastikan bahwa zakat yang dititipkan kepada Baznas bisa sampai ke yang berhak dan memberikan manfaat sebesar-besarnya," ujarnya.
Dalam keterangan persnya, Saidah menyebut pada kategori Program Nasional Ramadhan, Baznas menghadirkan beberapa inisiatif program. Diantara program tersebut adalah Pos Siaga Mudik, BTB Goes to School Ramadhan, Training Smart Ramadhan. Selain itu juga ada Imam Muda Ramadhan, Pesantren 5.000 Kaum Marjinal, Pesantren 1.000 Cahaya Ramadhan, Penyaluran 50.000 Sarung, dan Vaksinasi Jelang Ramadhan.
Sedangkan pada Program Tematik Pendistribusian Ramadhan, lanjut Saidah akan menyalurkan berbagai bantuan seperti Zakat Fitrah, Hidangan Ramadhan. Kemudian ada Paket Ramadhan Bahagia, Rumah Layak Huni Baznas. Selain itu juga ada Mudik Bahagia Bersama Baznas RI, Masjid dan Mushola Berseri, Gerai Z-Ifthar, dan Zmart Ramadhan. "Selain itu ada juga Gerakan Mata Sehat Bercahaya, Layanan Kesehatan Posko Mudik dan Balik, serta Ramadhan Sehat Bercahaya," tambahnya.
Dalam kategori Program Tematik Pendayagunaan Ramadhan, Saidah menambahkan pihaknya akan melaksanakan berbagai inisiatif untuk memberdayakan masyarakat secara ekonomi. Program ini mencakup Pelatihan dan Inkubasi Pemasaran Berbasis Digital, juga Optimalisasi Pemasaran ZCorner melalui Event Tematik Ramadhan.
"Tidak hanya itu, ada juga program Hampers Produk Mustahik, Santri Memberdayakan Desa, Advokasi dan Fasilitasi Bazar Event Eksternal, serta Sertifikasi Halal untuk Produk UMKM Selama Ramadhan," ujarnya.
Di pinggir jalan yang ramai, sore menjelang magrib, sekelompok anak muda mencegat sebuah mobil tua melintas perlahan. "Pak, parkir sebentar, mari buka bersama!" teriak salah satunya sambil menunjuk tikar penuh makanan di dekatnya. Awalnya, pria asing itu bingung, tapi anak-anak muda itu tak menyerah. Mereka mendekat dengan ramah, membukakan pintu mobil, dan akhirnya pria itu tersenyum kecil, memarkir kendaraannya. Tak lama, ia duduk bersila, menikmati minuman dingin sambil mengangguk mendengar obrolan tentang pertandingan sepak bola kemarin.
Di sudut lain, aroma makanan tradisional tercium dari tikar-tikar yang ditata rapi di trotoar. Seorang ibu rumah tangga sibuk mengatur piring sederhana bersama tetangga, sesekali melirik jam. Ketika azan magrib berkumandang, ia melihat seorang pria muda berjalan tergesa-gesa dengan tas lusuh di pundak. Dengan senyum lebar, ia melangkah cepat, tangannya terulur lembut sambil berkata, "Ayo, nak, berbuka dulu bersama kami!" Pria itu terkejut, ragu sejenak, tapi kehangatan suaranya membuatnya tak kuasa menolak. Ia pun duduk di tikar, bergabung dengan warga lain yang tertawa kecil sambil berbagi cerita hari itu.
Bulan Ramadhan selalu menjadi momen istimewa bagi umat Muslim di seluruh dunia, termasuk di Sudan. Di negara yang terletak di Afrika Timur Laut ini, Ramadhan tidak hanya dirayakan dengan ibadah puasa, salat tarawih, dan kegiatan keagamaan lainnya, tetapi juga dengan tradisi unik yang mencerminkan nilai-nilai solidaritas dan kebersamaan. Salah satu tradisi yang paling menonjol dan menjadi sorotan dunia muslim lain adalah tradisi “Begal Ramadan” itu. Yakni, tradisi mencegat orang yang sedang melintas di jalanan untuk parkir sejenak dan berbuka Bersama. Sebagaimana diliput oleh Sudanow Magazine, tradisi ini menjadi simbol keramahan dan semangat berbagi yang kuat di kalangan rakyat Sudan.
Asal-Usul dan Makna Tradisi Begal Ramadan
Tradisi berbuka bersama di pinggir jalan, yang dikenal sebagai "iftar al-sokak" yang oleh orang Indonesia dipadankan dengan "Begal Ramadan", memiliki akar yang dalam dalam budaya Sudan. Menurut laporan dari Sudanow Magazine, tradisi ini bukanlah hal baru, melainkan telah diwariskan dari generasi ke generasi. Pada masa lalu, ketika transportasi belum semaju sekarang, para pelancong atau pedagang yang melintasi kota-kota besar seperti Khartoum atau Omdurman sering kali tidak memiliki tempat untuk berbuka puasa. Masyarakat Sudan, yang dikenal dengan keramahannya, kemudian menginisiasi tradisi ini dengan menyediakan makanan di tepi jalan untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang kelaparan saat waktu berbuka tiba.
Tradisi ini juga mencerminkan ajaran Islam tentang pentingnya berbagi rezeki. Dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera, seorang penduduk lokal di Khartoum, Ahmed Osman, mengatakan, "Di Sudan, kami percaya bahwa Ramadhan adalah waktu untuk memberi, bukan hanya menerima. Menyediakan makanan untuk orang asing adalah cara kami menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang kami miliki." Nilai-nilai ini selaras dengan semangat Ramadhan yang menekankan empati terhadap sesama, terutama mereka yang kurang beruntung.
Pelaksanaan Tradisi
Pelaksanaan iftar jalanan di Sudan dilakukan dengan cara yang sederhana namun penuh makna. Menurut Sudanow Magazine, sebelum waktu magrib tiba, warga di berbagai lingkungan berkumpul untuk menyiapkan tempat berbuka di pinggir jalan. Mereka membawa berbagai makanan tradisional seperti ful medames (kacang fava rebus), ta’miya (falafel Sudan), roti lokal, dan minuman seperti karkadeh (teh bunga hibiskus). Meja-meja kecil atau tikar ditata di trotoar, dan makanan disusun rapi untuk menyambut siapa saja yang lewat.
Yang membuat tradisi ini unik adalah kebiasaan warga menghentikan para pejalan kaki, pengendara sepeda, atau bahkan pengemudi mobil untuk bergabung. Tidak ada pengecualian—baik penduduk lokal, pelancong, atau bahkan turis asing, semua diundang dengan ramah. Seorang jurnalis dari BBC yang pernah meliput tradisi ini di Khartoum menggambarkan pengalamannya: "Saya sedang berjalan menuju hotel ketika seseorang menarik tangan saya dengan lembut dan berkata, ‘Ayo, bergabunglah dengan kami!’ Saya tidak bisa menolak senyuman hangat mereka."
Tantangan dan Adaptasi di Masa Modern
Meskipun tradisi ini tetap populer, tantangan modern seperti urbanisasi dan situasi ekonomi yang sulit di Sudan telah memengaruhi pelaksanaannya. Dalam beberapa tahun terakhir, konflik dan krisis ekonomi menyebabkan kenaikan harga pangan, sehingga tidak semua keluarga mampu menyumbang makanan dalam jumlah besar. Namun, semangat kebersamaan tidak pudar. Sebuah artikel di Middle East Eye menyoroti bagaimana komunitas di Port Sudan beradaptasi dengan mengumpulkan donasi kecil dari warga untuk memastikan tradisi ini tetap berjalan. "Kami mungkin tidak punya banyak, tapi kami punya hati yang besar," kata seorang ibu rumah tangga dalam laporan tersebut.
Selain itu, pandemi COVID-19 juga sempat mengganggu tradisi ini. Pada tahun 2020 dan 2021, pembatasan sosial memaksa warga untuk mengurangi kerumunan. Namun, seperti dilaporkan Al Jazeera, banyak keluarga beralih dengan membagikan paket makanan kepada tetangga atau orang-orang yang membutuhkan sebagai pengganti iftar jalanan skala besar.
Dampak Sosial dan Budaya
Tradisi iftar jalanan tidak hanya tentang berbagi makanan, tetapi juga memperkuat ikatan sosial. Dalam masyarakat Sudan yang multietnis—dengan ratusan suku seperti Nubian, Arab, dan Beja—tradisi ini menjadi jembatan yang menyatukan perbedaan. The Guardian pernah menulis bahwa iftar jalanan adalah "cerminan nyata dari keberagaman Sudan yang harmonis." Di tengah hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan tantangan politik yang sering mengguncang negara ini, momen berbuka bersama memberikan ruang bagi warga untuk saling mendukung.
Bagi anak-anak muda, tradisi ini juga menjadi sarana pembelajaran nilai-nilai kemanusiaan. Seorang aktivis muda, Fatima Ali, yang diwawancarai oleh Sudanow Magazine, mengatakan, "Saya belajar dari kecil bahwa Ramadhan bukan hanya soal menahan lapar, tapi juga tentang memahami kesulitan orang lain. Tradisi ini mengajarkan saya untuk peduli."
Resonansi Internasional
Tradisi iftar jalanan Sudan telah menarik perhatian media internasional dan menginspirasi komunitas lain di luar negeri. Misalnya, komunitas diaspora Sudan di Inggris dan Amerika Serikat mulai mengadopsi konsep serupa dengan menggelar iftar komunal di taman-taman kota. Laporan dari Reuters menyebutkan bahwa acara semacam ini tidak hanya mempertahankan identitas budaya Sudan, tetapi juga memperkenalkan keramahan Sudan kepada dunia.
Tradisi berbuka bersama di pinggir jalan adalah salah satu harta budaya Sudan yang patut dilestarikan. Di balik kesederhanaannya, tradisi ini membawa pesan mendalam tentang solidaritas, keramahan, dan kebersamaan yang melampaui batas sosial, ekonomi, dan etnis. Seperti yang diungkapkan dalam Sudanow Magazine, "Ini bukan sekadar makan bersama; ini adalah perayaan kemanusiaan." Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi Sudan, tradisi ini tetap menjadi pengingat bahwa semangat Ramadhan—berbagi dan peduli—akan selalu hidup di hati rakyatnya.
Dengan terus menjaga tradisi ini, Sudan tidak hanya memperkaya warisan budayanya, tetapi juga menawarkan pelajaran berharga kepada dunia tentang arti sejati dari kebersamaan. Ramadhan di Sudan, melalui iftar jalanan, adalah bukti bahwa bahkan di saat sulit, hati yang terbuka dan tangan yang terulur selalu mampu menciptakan keajaiban.