Surau.co
Menu Menu

Artikel

Surau Surau
1 hari yang lalu

Sejak 2015, Jerman telah menjadi saksi perubahan signifikan dalam komunitas Muslim dan diskursus keislaman, sebagian besar dipicu oleh gelombang Imigran dari Suriah. Krisis perang saudara di Suriah mendorong lebih dari satu juta pengungsi—mayoritas Muslim—memasuki Jerman, terutama melalui kebijakan pintu terbuka Kanselir Angela Merkel. Fenomena ini tidak hanya meningkatkan jumlah umat Muslim di negara ini, tetapi juga membawa dinamika baru dalam praktik keagamaan, identitas komunitas, dan persepsi publik tentang Islam. Artikel ini meneliti bagaimana imigran Suriah membentuk wajah Islam di Jerman, dari kontribusi positif hingga tantangan yang muncul dalam masyarakat multikultural.

Lonjakan Populasi Muslim

Sebelum 2015, populasi Muslim di Jerman sudah signifikan, mencapai sekitar 4,7 juta jiwa, didominasi oleh komunitas Turki. Namun, kedatangan pengungsi Suriah mempercepat pertumbuhan ini. Hingga 2025, jumlah Muslim diperkirakan melampaui 5,5 juta, dengan imigran Suriah menjadi salah satu kelompok terbesar setelah Turki. Banyak dari mereka menetap di kota-kota besar seperti Berlin, Hamburg, dan Munich, membentuk komunitas kecil yang memperkaya keragaman Islam lokal. Tidak seperti migran Turki yang datang sebagai pekerja pada 1960-an, pengungsi Suriah tiba dalam kondisi krisis, membawa serta pengalaman trauma, tetapi juga semangat untuk memulai hidup baru.

Kehadiran mereka meningkatkan visibilitas Islam di ruang publik. Masjid-masjid yang sebelumnya didominasi oleh komunitas Turki kini mulai merangkul jemaah Suriah, dengan khutbah dan kegiatan yang lebih beragam secara bahasa dan budaya. Di beberapa daerah, masjid sementara atau ruang shalat didirikan untuk mengakomodasi kebutuhan spiritual pengungsi, sering kali dengan dukungan organisasi lokal atau donasi komunitas.

Pengaruh pada Praktik Keislaman

Imigran Suriah membawa tradisi keislaman yang berbeda dari komunitas Turki yang cenderung konservatif dan terorganisir di bawah naungan DITIB. Banyak pengungsi Suriah menganut Islam Sunni dengan pengaruh budaya Levantin yang lebih fleksibel, sering kali mencerminkan pengalaman hidup di tengah masyarakat multireligi di Suriah sebelum perang. Hal ini terlihat dalam kegiatan komunal seperti perayaan Ramadan, di mana hidangan Suriah seperti fatayer atau kibbeh menjadi bagian dari buka puasa bersama, menambah warna pada tradisi lokal.

Selain itu, beberapa imigran Suriah membawa pendekatan yang lebih personal terhadap agama, dipengaruhi oleh kondisi perang yang membuat mereka fokus pada esensi spiritual ketimbang formalitas ritual. Misalnya, kelompok kecil di Berlin mengadakan diskusi keislaman informal yang membahas topik seperti ketahanan iman di masa sulit—sebuah refleksi dari pengalaman mereka. Pendekatan ini kadang kontras dengan struktur keagamaan Turki yang lebih hierarkis, memicu dialog tentang bagaimana Islam dapat dijalankan di Jerman modern.

Diskursus Keislaman: Tantangan dan Peluang

Kedatangan imigran Suriah juga memengaruhi diskursus keislaman di Jerman, baik secara positif maupun negatif. Di satu sisi, mereka memperkuat narasi Islam sebagai agama damai melalui kontribusi sosial. Banyak pengungsi terlibat dalam kegiatan sukarela, seperti mendistribusikan makanan atau mengajar bahasa Arab kepada anak-anak Muslim, menunjukkan sisi kemanusiaan yang sering terabaikan di tengah stereotip. Inisiatif seperti “iftar terbuka” di taman-taman publik menjadi cara untuk membangun hubungan dengan warga Jerman non-Muslim, memperluas pemahaman tentang Islam.

Namun, gelombang ini juga memicu ketegangan. Krisis pengungsi 2015 memicu gelombang islamofobia, terutama setelah serangan teroris di Eropa yang dikaitkan dengan kelompok ekstrem seperti ISIS—meskipun mayoritas pengungsi Suriah justru melarikan diri dari kelompok tersebut. Partai sayap kanan seperti AfD memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat narasi anti-imigran, menuding pengungsi sebagai ancaman terhadap identitas Jerman. Insiden seperti serangan pisau di Solingen pada 2024 oleh seorang pelaku asal Suriah semakin memperkeruh diskursus, meskipun kasus ini adalah pengecualian, bukan aturan.

Di kalangan Muslim sendiri, kehadiran imigran Suriah memunculkan perdebatan tentang integrasi. Generasi muda Muslim Jerman, yang sudah terbiasa dengan pendekatan lokal, kadang memandang pengungsi sebagai “terlalu tradisional” atau sulit beradaptasi. Sebaliknya, beberapa imigran Suriah merasa komunitas Muslim yang ada—terutama Turki—kurang terbuka terhadap keragaman. Ini mendorong munculnya ruang-ruang baru, seperti kelompok diskusi atau masjid independen, yang mencoba menjembatani perbedaan.

Dampak Sosial dan Budaya

Secara sosial, imigran Suriah berkontribusi pada ekonomi dan budaya Jerman. Banyak yang membuka usaha kecil seperti restoran atau toko kelontong, memperkenalkan kuliner Suriah yang kini populer di kalangan warga lokal. Di bidang pendidikan, para profesional Suriah—dokter, insinyur, atau akademisi—berusaha masuk pasar kerja, meski sering terhambat oleh birokrasi pengakuan kualifikasi. Anak-anak pengungsi, yang kini bersekolah di Jerman, menjadi jembatan generasi yang membawa harapan integrasi jangka panjang.

Namun, tantangan integrasi tetap ada. Banyak pengungsi menghadapi diskriminasi, kesulitan bahasa, dan trauma perang, yang memperlambat proses adaptasi. Di sisi lain, kehadiran mereka memaksa Jerman menghadapi pertanyaan besar: bagaimana mendefinisikan identitas nasional di era multikulturalisme? Diskursus tentang hijab, pendidikan agama Islam di sekolah, dan ruang ibadah semakin intens seiring meningkatnya kebutuhan komunitas Muslim yang kini lebih beragam.

Menuju Wajah Islam yang Baru

Pengaruh imigran Suriah terhadap Islam di Jerman adalah kisah tentang transformasi. Mereka tidak hanya menambah jumlah, tetapi juga membawa perspektif baru yang memperkaya keislaman lokal. Dari masjid yang lebih inklusif hingga diskusi tentang makna Islam di Barat, kontribusi mereka membentuk wajah Islam yang lebih dinamis. Namun, tantangan seperti islamofobia dan integrasi menunjukkan bahwa perjalanan ini belum selesai.

Di tengah gelombang perubahan ini, Islam di Jerman kini berdiri di persimpangan: antara menjadi kekuatan yang menyatukan keragaman atau terus dipandang sebagai “orang asing.” Imigran Suriah, dengan ketahanan dan semangat mereka, telah menorehkan jejak yang tak terhapuskan—mengajak Jerman, dan dunia, untuk melihat Islam melalui lensa yang lebih luas dan manusiawi.

 

Surau Surau
1 hari yang lalu

Ka’bah, bangunan suci yang berdiri di tengah Masjidil Haram, Mekah, adalah simbol kesatuan umat Islam di seluruh dunia. Sebagai kiblat bagi jutaan Muslim yang melaksanakan salat setiap hari, Ka’bah tidak hanya menjadi pusat ibadah, tetapi juga cerminan sejarah panjang keimanan manusia kepada Allah SWT. Artikel ini akan mengulas asal-usul pembangunan Ka’bah, perkembangannya dalam sejarah, serta peran krusialnya dalam ibadah haji yang menjadi salah satu rukun Islam.

Asal-Usul Ka’bah dalam Tradisi Islam

Menurut ajaran Islam, Ka’bah pertama kali dibangun oleh Nabi Adam AS sebagai tempat ibadah kepada Allah. Al-Qur’an dalam Surah Ali Imran (3:96) menyebutkan bahwa "Sesungguhnya rumah yang pertama kali dibangun untuk (tempat ibadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah)." Meski demikian, bangunan awal ini diyakini hancur akibat banjir besar pada masa Nabi Nuh AS. Tradisi Islam kemudian mencatat bahwa Ka’bah dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim AS bersama putranya, Nabi Ismail AS, atas perintah langsung dari Allah.

Kisah pembangunan ini diabadikan dalam Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah (2:127): "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membangun) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): 'Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.'" Nabi Ibrahim dan Ismail mendirikan Ka’bah dengan batu-batu dari lima bukit di sekitar Mekah, termasuk Hajar Aswad, batu suci yang diyakini berasal dari surga. Proses ini tidak hanya menandai pembangunan fisik, tetapi juga simbolisasi ketaatan kepada Allah.

Ka’bah di Era Jahiliah

Setelah masa Nabi Ibrahim, Ka’bah tetap menjadi pusat spiritual, namun fungsinya berubah seiring waktu. Pada masa jahiliah, sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, Ka’bah dikelilingi oleh ratusan berhala yang disembah oleh suku-suku Arab. Meski demikian, masyarakat Arab tetap menghormati Ka’bah sebagai warisan Nabi Ibrahim, dan mereka melakukan tawaf sebagai tradisi turun-temurun, meskipun telah bercampur dengan praktik syirik.

Pada periode ini, Ka’bah beberapa kali mengalami kerusakan akibat banjir dan konflik antarsuku. Salah satu rekonstruksi penting terjadi pada tahun 605 M, beberapa tahun sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW. Suku Quraisy, yang saat itu bertanggung jawab atas pemeliharaan Ka’bah, sepakat untuk membangun ulang bangunan yang rusak akibat banjir. Nabi Muhammad, yang saat itu belum diutus sebagai rasul, turut membantu dengan menempatkan Hajar Aswad kembali ke posisinya, menyelesaikan sengketa antarsuku dengan bijaksana.

Ka’bah di Masa Islam

Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dan memulai dakwahnya, Ka’bah menjadi salah satu fokus utama untuk dikembalikan ke fungsi aslinya: tempat ibadah kepada Allah semata. Pada tahun 630 M, saat Fathu Makkah (Pembebasan Mekah), Nabi Muhammad menghancurkan semua berhala di sekitar Ka’bah dan menyucikannya dari praktik syirik. Peristiwa ini menandai titik balik penting, menegaskan kembali Ka’bah sebagai simbol tauhid.

Sejak itu, Ka’bah terus dirawat dan diperbaiki oleh berbagai kekhalifahan Islam, mulai dari masa Khulafaur Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, hingga kekuasaan Dinasti Saudi modern. Setiap renovasi dilakukan dengan hati-hati untuk mempertahankan bentuk aslinya, termasuk penggunaan Kiswah, kain penutup Ka’bah yang diganti setiap tahun sebagai bagian dari tradisi.

Peran Ka’bah dalam Ibadah Haji

Ka’bah memiliki peran sentral dalam ibadah haji, salah satu dari lima rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mampu. Setiap tahun, jutaan jemaah dari seluruh dunia berkumpul di Mekah untuk menjalankan rangkaian ibadah haji, yang mencakup tawaf, sai, dan wukuf, dengan Ka’bah sebagai poros utamanya.

Tawaf: Ritual mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali adalah salah satu puncak ibadah haji dan umrah. Tawaf melambangkan kesatuan umat Islam dalam mengorbit pada satu titik spiritual, serupa dengan malaikat yang mengelilingi Arsy Allah. Jemaah biasanya berusaha mencium atau menyentuh Hajar Aswad sebagai bentuk penghormatan, mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW.

Kiblat Salat: Selama haji, jemaah melaksanakan salat menghadap Ka’bah, mengingatkan mereka pada perintah Allah dalam Surah Al-Baqarah (2:144) untuk menjadikan Ka’bah sebagai arah kiblat. Ini juga berlaku bagi umat Islam di seluruh dunia, menjadikan Ka’bah sebagai simbol persatuan global.

Makna Spiritual: Ka’bah bukan sekadar bangunan fisik, tetapi representasi hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Dalam wukuf di Arafah, meski jemaah tidak berada di dekat Ka’bah, kesadaran akan keberadaannya tetap menguatkan dimensi spiritual ibadah haji.

Ka’bah di Era Modern

Di bawah pemerintahan Kerajaan Arab Saudi, Ka’bah dan Masjidil Haram terus mengalami perluasan untuk menampung jumlah jemaah yang kian meningkat. Proyek-proyek seperti penambahan fasilitas dan teknologi modern untuk pengelolaan haji menunjukkan upaya menjaga relevansi Ka’bah di tengah tantangan zaman. Namun, esensi spiritualnya tetap terjaga, sebagaimana doa Nabi Ibrahim yang abadi: “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus…” (QS Al-Hajj: 27).

Sejarah pembangunan Ka’bah adalah cerminan perjalanan panjang keimanan manusia, dari Nabi Adam hingga masa kini. Dari struktur sederhana yang didirikan Nabi Ibrahim hingga menjadi pusat spiritual umat Islam global, Ka’bah tidak hanya menyimpan nilai historis, tetapi juga makna mendalam dalam ibadah haji. Sebagai lambang tauhid dan kesatuan, Ka’bah terus menginspirasi jutaan Muslim untuk mendekat kepada Allah, menjadikannya lebih dari sekadar bangunan—ia adalah jantungan spiritual umat Islam di seluruh dunia.

 

Surau Surau
1 hari yang lalu

Haji, salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat Muslim yang mampu, telah menjadi perjalanan spiritual yang monumental selama berabad-abad. Setiap tahun, jutaan jemaah dari seluruh dunia berkumpul di Mekah, Arab Saudi, untuk menunaikan ibadah ini. Namun, di balik kesucian ritual tersebut, tantangan logistik dan pengelolaan menjadi semakin kompleks seiring bertambahnya jumlah jemaah. Di era digital, Arab Saudi telah memanfaatkan teknologi mutakhir untuk mentransformasi pengelolaan haji dan umrah, mempermudah perjalanan ibadah, meningkatkan keamanan, dan memberikan pengalaman yang lebih baik bagi para tamu Allah. Artikel ini akan membahas bagaimana teknologi menjadi tulang punggung revolusi ini, khususnya dalam konteks haji dan umrah.

Tantangan Tradisional dalam Pengelolaan Haji

Sebelum era digital, pengelolaan haji menghadapi banyak kendala. Jutaan jemaah yang tiba dalam waktu singkat—biasanya antara 8 hingga 13 Zulhijah—menyebabkan kepadatan luar biasa di Mekah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan Muzdalifah. Masalah seperti kemacetan transportasi, risiko kesehatan, dan kesulitan koordinasi antarlembaga sering kali muncul. Selain itu, proses manual seperti pendaftaran, visa, dan pengecekan identitas memakan waktu dan rentan terhadap kesalahan manusia. Bagi jemaah, tantangan ini sering kali mengurangi kekhusyukan ibadah mereka.

Arab Saudi, sebagai penjaga dua masjid suci, menyadari bahwa pendekatan tradisional tidak lagi cukup. Dengan ambisi besar melalui Saudi Vision 2030, pemerintah kerajaan bertekad meningkatkan kapasitas haji hingga 30 juta jemaah per tahun pada 2030. Untuk mencapai target ini, transformasi digital menjadi keharusan, dan teknologi pun diadopsi secara masif.

Digitalisasi Proses Pra-Keberangkatan

Salah satu langkah awal dalam transformasi ini adalah digitalisasi proses pra-keberangkatan. Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi meluncurkan platform Nusuk, sebuah portal daring yang memungkinkan jemaah dari seluruh dunia mendaftar, mengajukan visa, dan memesan layanan seperti akomodasi serta transportasi. Tersedia dalam sembilan bahasa, Nusuk mempersingkat waktu pengurusan visa elektronik (e-visa) menjadi kurang dari 24 jam, sebuah lompatan besar dari proses manual yang bisa memakan mingguan.

Selain itu, teknologi biometrik kini digunakan untuk verifikasi identitas. Jemaah yang tiba di bandara, seperti Bandara Internasional King Abdulaziz di Jeddah, dapat memindai sidik jari atau wajah mereka melalui sistem yang terhubung dengan data imigrasi. Ini tidak hanya mempercepat proses masuk, tetapi juga meningkatkan keamanan dengan mencegah penyalahgunaan identitas.

Teknologi di Lapangan: Smart ID dan Aplikasi Pendukung

Selama pelaksanaan haji, Arab Saudi memperkenalkan Hajj Smart ID, sebuah kartu pintar yang dilengkapi kode batang dan teknologi RFID (Radio Frequency Identification). Kartu ini menyimpan informasi penting jemaah, seperti data medis, lokasi penginapan, dan kontak kelompok haji. Dengan Smart ID, petugas dapat dengan cepat mengidentifikasi jemaah yang tersesat atau membutuhkan bantuan, terutama di tengah kerumunan besar seperti saat wukuf di Arafah atau lempar jumrah di Mina.

Aplikasi pendamping seperti Hajj Staff dan Hajj Organizer juga diperkenalkan. Aplikasi ini memungkinkan petugas haji memantau lokasi jemaah secara real-time, berkomunikasi langsung dengan mereka, dan mengelola data kelompok. Bagi jemaah, aplikasi seperti Manasik menyediakan panduan ritual, peta digital, dan layanan darurat dalam berbagai bahasa. Robot pemandu yang dilengkapi kecerdasan buatan (AI) bahkan dikerahkan di Masjidil Haram untuk menjelaskan tata cara ibadah dalam 11 bahasa, membantu jemaah dari latar belakang beragam.

Pengelolaan Kerumunan dan Keamanan

Salah satu tantangan terbesar haji adalah pengelolaan kerumunan (crowd management). Teknologi telah menjadi solusi kunci di sini. Kamera CCTV dengan analitik AI dipasang di seluruh lokasi suci untuk memantau kepadatan jemaah secara real-time. Sistem ini memungkinkan otoritas mengalihkan arus jemaah jika suatu area terlalu penuh, mencegah insiden seperti desak-desakan yang pernah terjadi di masa lalu.

Internet of Things (IoT) juga dimanfaatkan melalui gelang pintar (e-bracelet) yang dikenakan jemaah. Gelang ini tidak hanya melacak lokasi, tetapi juga memantau tanda vital seperti detak jantung dan suhu tubuh, memberikan peringatan dini jika jemaah mengalami heatstroke—masalah umum di tengah cuaca panas Mekah. Data dari gelang ini terintegrasi dengan pusat kontrol elektronik Kementerian Haji dan Umrah, memungkinkan respons cepat dalam situasi darurat.

Transportasi dan Logistik Digital

Transportasi adalah tulang punggung haji, dan Arab Saudi telah mengoptimalkannya dengan teknologi. Kereta cepat Haramain, yang menghubungkan Jeddah, Mekah, dan Madinah, dilengkapi sistem tiket digital yang terintegrasi dengan Nusuk. Dengan kecepatan hingga 300 km/jam, kereta ini mengangkut ribuan jemaah setiap hari, mengurangi kemacetan jalan raya. Armada 15.000 bus haji juga dikelola melalui sistem GPS terpusat, memastikan distribusi jemaah ke lokasi ritual berjalan lancar.

Logistik lainnya, seperti distribusi air Zamzam dan makanan, kini menggunakan platform berbasis cloud. Teknologi ini memungkinkan otoritas melacak kebutuhan jemaah secara real-time, meminimalkan pemborosan dan memastikan ketersediaan yang merata.

Dampak pada Pengalaman Jemaah

Transformasi digital ini membawa dampak besar pada pengalaman jemaah. Proses yang dulunya memakan waktu dan melelahkan kini menjadi lebih efisien, memungkinkan jemaah fokus pada ibadah mereka. Layanan kesehatan, yang didukung data dari Smart ID dan gelang pintar, menjadi lebih responsif, menyelamatkan nyawa dalam kasus darurat seperti serangan panas atau penyakit menular. Jemaah dari negara non-Arab, yang sering kesulitan dengan bahasa, kini mendapat bantuan dari aplikasi dan robot multibahasa.

Selain itu, digitalisasi meningkatkan inklusivitas. Jemaah lansia atau penyandang disabilitas mendapat perhatian khusus melalui teknologi pelacakan dan prioritas layanan, memastikan mereka dapat menjalankan ibadah dengan nyaman.

Tantangan dan Masa Depan

Meski sukses, transformasi ini tidak tanpa tantangan. Infrastruktur teknologi membutuhkan investasi besar—lebih dari $100 miliar telah dikeluarkan sejak 1950-an—dan pemeliharaan yang berkelanjutan. Selain itu, tidak semua jemaah akrab dengan teknologi, terutama dari negara berkembang, sehingga edukasi digital menjadi kebutuhan mendesak. Keamanan data juga menjadi isu, mengingat informasi sensitif jemaah tersimpan dalam sistem digital.

Ke depan, Arab Saudi berencana memperluas penggunaan AI dan blockchain. AI dapat memprediksi pola kerumunan dan kebutuhan logistik, sementara blockchain bisa menjamin transparansi dalam pengelolaan dana haji. Dengan target 30 juta jemaah pada 2030, inovasi ini akan menjadi kunci untuk menjaga kualitas layanan.

Haji di era digital menunjukkan bagaimana Arab Saudi memadukan tradisi suci dengan teknologi modern. Dari Nusuk hingga Smart ID, transformasi ini telah merevolusi pengelolaan jemaah, menjadikan haji dan umrah lebih mudah, aman, dan inklusif. Di tengah tantangan abad ke-21, teknologi tidak hanya mempermudah logistik, tetapi juga memperkaya pengalaman spiritual jemaah. Dengan komitmen kuat melalui Saudi Vision 2030, Arab Saudi terus membuktikan bahwa mereka bukan hanya penjaga tanah suci, tetapi juga pelopor inovasi dalam melayani tamu Allah.

Surau Surau
3 minggu yang lalu

Di pinggir jalan yang ramai, sore menjelang magrib, sekelompok anak muda mencegat sebuah mobil tua melintas perlahan. "Pak, parkir sebentar, mari buka bersama!" teriak salah satunya sambil menunjuk tikar penuh makanan di dekatnya. Awalnya, pria asing itu bingung, tapi anak-anak muda itu tak menyerah. Mereka mendekat dengan ramah, membukakan pintu mobil, dan akhirnya pria itu tersenyum kecil, memarkir kendaraannya. Tak lama, ia duduk bersila, menikmati minuman dingin sambil mengangguk mendengar obrolan tentang pertandingan sepak bola kemarin.

Di sudut lain, aroma makanan tradisional tercium dari tikar-tikar yang ditata rapi di trotoar. Seorang ibu rumah tangga sibuk mengatur piring sederhana bersama tetangga, sesekali melirik jam. Ketika azan magrib berkumandang, ia melihat seorang pria muda berjalan tergesa-gesa dengan tas lusuh di pundak. Dengan senyum lebar, ia melangkah cepat, tangannya terulur lembut sambil berkata, "Ayo, nak, berbuka dulu bersama kami!" Pria itu terkejut, ragu sejenak, tapi kehangatan suaranya membuatnya tak kuasa menolak. Ia pun duduk di tikar, bergabung dengan warga lain yang tertawa kecil sambil berbagi cerita hari itu.

Bulan Ramadhan selalu menjadi momen istimewa bagi umat Muslim di seluruh dunia, termasuk di Sudan. Di negara yang terletak di Afrika Timur Laut ini, Ramadhan tidak hanya dirayakan dengan ibadah puasa, salat tarawih, dan kegiatan keagamaan lainnya, tetapi juga dengan tradisi unik yang mencerminkan nilai-nilai solidaritas dan kebersamaan. Salah satu tradisi yang paling menonjol dan menjadi sorotan dunia muslim lain adalah tradisi “Begal Ramadan” itu. Yakni, tradisi mencegat orang yang sedang melintas di jalanan untuk parkir sejenak dan berbuka Bersama. Sebagaimana diliput oleh Sudanow Magazine, tradisi ini menjadi simbol keramahan dan semangat berbagi yang kuat di kalangan rakyat Sudan.

Asal-Usul dan Makna Tradisi Begal Ramadan

Tradisi berbuka bersama di pinggir jalan, yang dikenal sebagai "iftar al-sokak" yang oleh orang Indonesia dipadankan dengan "Begal Ramadan", memiliki akar yang dalam dalam budaya Sudan. Menurut laporan dari Sudanow Magazine, tradisi ini bukanlah hal baru, melainkan telah diwariskan dari generasi ke generasi. Pada masa lalu, ketika transportasi belum semaju sekarang, para pelancong atau pedagang yang melintasi kota-kota besar seperti Khartoum atau Omdurman sering kali tidak memiliki tempat untuk berbuka puasa. Masyarakat Sudan, yang dikenal dengan keramahannya, kemudian menginisiasi tradisi ini dengan menyediakan makanan di tepi jalan untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang kelaparan saat waktu berbuka tiba.

Tradisi ini juga mencerminkan ajaran Islam tentang pentingnya berbagi rezeki. Dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera, seorang penduduk lokal di Khartoum, Ahmed Osman, mengatakan, "Di Sudan, kami percaya bahwa Ramadhan adalah waktu untuk memberi, bukan hanya menerima. Menyediakan makanan untuk orang asing adalah cara kami menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang kami miliki." Nilai-nilai ini selaras dengan semangat Ramadhan yang menekankan empati terhadap sesama, terutama mereka yang kurang beruntung.

Pelaksanaan Tradisi

Pelaksanaan iftar jalanan di Sudan dilakukan dengan cara yang sederhana namun penuh makna. Menurut Sudanow Magazine, sebelum waktu magrib tiba, warga di berbagai lingkungan berkumpul untuk menyiapkan tempat berbuka di pinggir jalan. Mereka membawa berbagai makanan tradisional seperti ful medames (kacang fava rebus), ta’miya (falafel Sudan), roti lokal, dan minuman seperti karkadeh (teh bunga hibiskus). Meja-meja kecil atau tikar ditata di trotoar, dan makanan disusun rapi untuk menyambut siapa saja yang lewat.

Yang membuat tradisi ini unik adalah kebiasaan warga menghentikan para pejalan kaki, pengendara sepeda, atau bahkan pengemudi mobil untuk bergabung. Tidak ada pengecualian—baik penduduk lokal, pelancong, atau bahkan turis asing, semua diundang dengan ramah. Seorang jurnalis dari BBC yang pernah meliput tradisi ini di Khartoum menggambarkan pengalamannya: "Saya sedang berjalan menuju hotel ketika seseorang menarik tangan saya dengan lembut dan berkata, ‘Ayo, bergabunglah dengan kami!’ Saya tidak bisa menolak senyuman hangat mereka."

Tantangan dan Adaptasi di Masa Modern

Meskipun tradisi ini tetap populer, tantangan modern seperti urbanisasi dan situasi ekonomi yang sulit di Sudan telah memengaruhi pelaksanaannya. Dalam beberapa tahun terakhir, konflik dan krisis ekonomi menyebabkan kenaikan harga pangan, sehingga tidak semua keluarga mampu menyumbang makanan dalam jumlah besar. Namun, semangat kebersamaan tidak pudar. Sebuah artikel di Middle East Eye menyoroti bagaimana komunitas di Port Sudan beradaptasi dengan mengumpulkan donasi kecil dari warga untuk memastikan tradisi ini tetap berjalan. "Kami mungkin tidak punya banyak, tapi kami punya hati yang besar," kata seorang ibu rumah tangga dalam laporan tersebut.

Selain itu, pandemi COVID-19 juga sempat mengganggu tradisi ini. Pada tahun 2020 dan 2021, pembatasan sosial memaksa warga untuk mengurangi kerumunan. Namun, seperti dilaporkan Al Jazeera, banyak keluarga beralih dengan membagikan paket makanan kepada tetangga atau orang-orang yang membutuhkan sebagai pengganti iftar jalanan skala besar.

Dampak Sosial dan Budaya

Tradisi iftar jalanan tidak hanya tentang berbagi makanan, tetapi juga memperkuat ikatan sosial. Dalam masyarakat Sudan yang multietnis—dengan ratusan suku seperti Nubian, Arab, dan Beja—tradisi ini menjadi jembatan yang menyatukan perbedaan. The Guardian pernah menulis bahwa iftar jalanan adalah "cerminan nyata dari keberagaman Sudan yang harmonis." Di tengah hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan tantangan politik yang sering mengguncang negara ini, momen berbuka bersama memberikan ruang bagi warga untuk saling mendukung.

Bagi anak-anak muda, tradisi ini juga menjadi sarana pembelajaran nilai-nilai kemanusiaan. Seorang aktivis muda, Fatima Ali, yang diwawancarai oleh Sudanow Magazine, mengatakan, "Saya belajar dari kecil bahwa Ramadhan bukan hanya soal menahan lapar, tapi juga tentang memahami kesulitan orang lain. Tradisi ini mengajarkan saya untuk peduli."

Resonansi Internasional

Tradisi iftar jalanan Sudan telah menarik perhatian media internasional dan menginspirasi komunitas lain di luar negeri. Misalnya, komunitas diaspora Sudan di Inggris dan Amerika Serikat mulai mengadopsi konsep serupa dengan menggelar iftar komunal di taman-taman kota. Laporan dari Reuters menyebutkan bahwa acara semacam ini tidak hanya mempertahankan identitas budaya Sudan, tetapi juga memperkenalkan keramahan Sudan kepada dunia.

Tradisi berbuka bersama di pinggir jalan adalah salah satu harta budaya Sudan yang patut dilestarikan. Di balik kesederhanaannya, tradisi ini membawa pesan mendalam tentang solidaritas, keramahan, dan kebersamaan yang melampaui batas sosial, ekonomi, dan etnis. Seperti yang diungkapkan dalam Sudanow Magazine, "Ini bukan sekadar makan bersama; ini adalah perayaan kemanusiaan." Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi Sudan, tradisi ini tetap menjadi pengingat bahwa semangat Ramadhan—berbagi dan peduli—akan selalu hidup di hati rakyatnya.

Dengan terus menjaga tradisi ini, Sudan tidak hanya memperkaya warisan budayanya, tetapi juga menawarkan pelajaran berharga kepada dunia tentang arti sejati dari kebersamaan. Ramadhan di Sudan, melalui iftar jalanan, adalah bukti bahwa bahkan di saat sulit, hati yang terbuka dan tangan yang terulur selalu mampu menciptakan keajaiban.

 

Surau Surau
3 minggu yang lalu

SURAU.CO. Tahun lalu, pas bulan Ramadhan viral tentang war takjil. Hampir semua media sosial membahas war takjil dengan berbagai macam keunikannya. Takjil yang memang tradisi khas bulan puasa kemudian berubah menjadi bagian dari kekayaan kuliner lokal yang khas selama bulan Ramadhan. Selain takjil adalah cermin dari kepedulian sosial.

Secara istilah takjil merujuk pada hidangan ringan yang dikonsumsi untuk berbuka puasa, khususnya selama bulan suci Ramadhan. Hidangan khas ini tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan fisik juga sarat dengan makna budaya dan spiritual dalam Islam. Asal usul kata "takjil" dan praktiknya memiliki akar yang mendalam dalam sejarah dan ajaran agama Islam. Tradisi tersebut hingga kini masih lestari di kalangan umat Muslim di seluruh dunia.

Secara etimologi "takjil" berasal dari bahasa Arab, tepatnya dari kataعجل dalam bentuk mashdar yang menjadi تعجيل yang berarti menyegerakan. Dalam konteks berbuka puasa, kata ini merujuk pada anjuran untuk segera berbuka begitu waktu Maghrib tiba. Hal tersebut sebagaimana ada dalam hadis Nabi Muhammad SAW. Salah satu hadis yang sering dikutip adalah:

"Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadis ini, umat Islam dianjurkan untuk tidak menunda-nunda berbuka puasa setelah matahari terbenam. Oleh karena itu, "takjil" mengacu pada hidangan yang dapat dikonsumsi dengan cepat untuk memenuhi anjuran tersebut. Seiring waktu, istilah "takjil" berkembang menjadi merujuk pada makanan atau minuman ringan yang biasa disajikan saat berbuka puasa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata takjil memiliki arti mempercepat dalam berbuka, sehingga takjil bermakna untuk menyegerakan berbuka puasa yang dilakukan ketika waktunya tiba yaitu saat sudah memasuki waktu magrib. Karena dalam Islam menyegerakan berbuka puasa adalah sebuah anjuran. Namun, seiring berjalannya waktu kata takjil diartikan oleh masyarakat Indonesia sebagai makanan atau minuman untuk mengawali buka puasa.

Dalam banyak budaya Muslim, takjil menjadi simbol dari ketaatan terhadap ajaran agama sekaligus sebagai sarana untuk memulihkan tenaga dengan cepat. Hidangan takjil biasanya berupa makanan atau minuman yang mudah dicerna dan kaya akan gula alami, seperti kurma, jus buah, atau hidangan manis lainnya, yang dapat segera meningkatkan kadar gula darah setelah berpuasa.

Perkembangan Takjil Antara Budaya Kuliner dan Kepedulian

Seiring berjalannya waktu, tradisi takjil berkembang menjadi lebih dari sekadar mengikuti anjuran agama. Di berbagai negara Muslim, takjil menjadi bagian dari kekayaan kuliner lokal yang khas selama bulan Ramadhan. Makanan dan minuman yang disajikan sebagai takjil sering kali mencerminkan identitas budaya dan cita rasa setempat. Beberapa contoh takjil populer di Indonesia seperti kolak, es buah, gorengan dan lain sebagainya

Perkembangan ini menunjukkan bagaimana takjil tidak hanya berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan fisik, tetapi juga sebagai sarana untuk melestarikan dan merayakan keragaman budaya kuliner di dunia Muslim. Lebih dari sekadar makanan atau minuman, takjil juga melambangkan semangat berbagi dan kebersamaan.

Masyarakat Indonesia selalu menyediakan hidangan berbuka puasa secara cuma-cuma di pinggir jalan atau di masjid. Praktik berbagi takjil ini tidak hanya mencerminkan kepedulian sosial, tetapi juga menguatkan ikatan komunitas. Bulan Ramadhan menjadi momentum untuk meningkatkan amal kebaikan, dan berbagi takjil adalah salah satu bentuk nyata dari semangat tersebut.

Dalam Kitab Busyra al-Karim bi Syarhi Masail al-Ta’lim karya Syeikh Said bin Muhammad mengatakan bahwa Allah Swt. menjanjikan ganjaran yang luar biasa bagi mereka yang berbagi takjil.

“Dan disunahkan memberi iftar atau buka puasa kepada orang yang berpuasa meskipun hanya dengan satu biji buah kurma atau seteguk minuman. Dan dengan memberikan makan malam lebih utama, berdasarkan sebuah riwayat hadis Rasulullah “Barangsiapa memberikan iftar kepada orang yang sedang berpuasa maka ia mendapatkan pahala orang yang berpuasa itu tanpa sedikit pun mengambil pahala dari orang yang berpuasa tersebut.”

Surau Surau
3 minggu yang lalu

Masykurudin Hafidz

SURAU.CO.Ibarat cerita pewayangan, bulan Ramadan adalah Candradimuka, sebuah kawah dimana seseorang menempa diri dalam pergulatan spiritual, jika bisa keluar dari kawah tersebut maka dia akan menjadi sakti. Bulan Ramadan adalah bulan istimewa bagi umat Islam, yang didalamnya terdapat ibadah yang tak ternilai harganya misalnya ibadah Puasa, sholat tarawih serta tadarrus Al-qur’an. Oleh sebab itu banyak umat Islam yang selalu merindukan datangnya bulan suci ini.

Ramadan adalah bulan dimana umat Islam diwajibkan berpuasa (al-shaum) dalam arti tidak makan, tidak minum, tidak melakukan hubungan seksual dan lain sebagainya. Akan tetapi, dibalik makna yang ritual-normatif itu sebenarnya ada makna terdalam dari puasa yaitu “imsak” (menahan diri). Orang yang berpuasa secara benar adalah orang yang bisa imsak dalam arti sebenarnya. Dia menahan diri untuk tidak marah, tidak melakukan sesuatu yang dilarang agama, menahan diri untuk tidak menyakiti orang lain, tidak membuat orang lain rugi dan sebagainya.

Ibadah puasa mengandung dua dimensi; pribadi dan sosial. Dimensi pribadi berkaitan langsung dengan tanggung jawab seseorang dengan Tuhannya. Disinilah kejujuran pribadi seseorang yang berpuasa diuji, karena orang yang berpuasa dengan orang yang tidak berpuasa hampir tidak ada bedanya misalnya apakah dia habis minum atau tidak. Tanggung jawab ini berhubungan langsung dengan Tuhan dan tidak ada campur tangan manusia sama sekali.

Sementara dimensi sosial adalah tanggung jawab sosiologis orang yang berpuasa kepada kehidupan masyarakatnya. Disini, puasa tidak hanya dimaknai sebagai ritual belaka, tetapi harus mampu mentransformasikan kepada kehidupan riil masyarakat misalnya perasaan lapar yang bisa memunculkan sensitivitas dan kepekaan sosial yang cukup tinggi. Transformasi puasa seperti ini berarti menciptakan kondisi sosial sedemikian rupa supaya orang bisa terkendali bukan hanya oleh kesadarannya didalam tetapi juga oleh struktur masyarakatnya diluar.

Pentingnya mentransformasi ibadah Ramadan dalam konteks kehidupan kemanusiaan tidak bisa dilepaskan dari realitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang makin menunjukkan gejala pembusukan di sana-sini. Perilaku korupsi, yang dipertontonkan secara telanjang mengindikasikan adanya proses pereduksian agama secara besar-besaran.

Bulan suci ini bisa menjadi momentum bagi kita untuk merenungkan praktik korupsi yang semakin hari kian telanjang saja. Korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya. Korupsi yang sudah berlangsung sangat lama ini menyebabkan persoalan kemiskinan tak kunjung selesai. Negara yang sumber daya alamnya melimpah ruah tak membuat kita beranjak dari tidur lama. Hal ini sangat memalukan, karena praktek pemerintah yang salah urus dengan terus menerus menyalahgunaan kekuasaannya. Para pejabat tidak melaksanakan amanat untuk menyejahterakan rakyat dan bangsa.

Pertanyaannya, bagaimana mempertautkan kehadiran puasa ramadan ini dengan merajalelanya praktik korupsi di negara kita?

Puasa, sebagaimana disebutkan diatas adalah mengendalikan diri terhadap lapar. Seringkali, kelaparan menyebabkan tidak bisa melihat kebenaran sebagai kebenaran dan kebaikan sebagai kebaikan. Oleh karena itu, dengan berpuasa, sesungguhnya kita dilatih untuk mengendalikan dorongan nafsu yang ditimbulkan karena rasa lapar tersebut. Inilah yang dicerminkan dalam larangan makan, minum dan pengendalian nafsu seksual.

Dengan latihan pengendalian rasa lapar, maka diharapkan manusia dapat sekaligus mengendalikan dorongan-dorongan nafsu yang lain yang bersumber kepada simpul hedonisme. Dan praktik korupsi yang merajalela ini adalah disebabkan oleh manusia-manusia yang selalu mengejar kenikmatan duniawi (hedonistik).

Korupsi adalah mengejar kenikmatan duniawi yang menerjang peraturan-peraturan, baik peraturan moralitas, etika maupun peraturan-peraturan yang sudah diresmikan sebagai peraturan hukum. Dengan berpuasa kita dilatih untuk tidak menjadikan rasa lapar ini sebagai justifikasi terhadap pelanggaran-pelanggaran moral dan pelanggaran-pelanggaran hukum yang banyak terjadi dimasyarakat.
Kesadaran untuk tidak melanggar peraturan tersebut tidak hanya dilakukan didalam bulan ramadan saja tetapi juga dalam sebelas bulan selanjutnya. Yang sering muncul dalam keberagamaan kita adalah ketika keluar dari dari bulan ramadan sepertinya kita kembali masuk dalam kenikmatan duniawi dengan mengumbar nafsu saja.

Oleh karena itu, pengendalian diri tersebut memerlukan obyektivikasi dan strukturasi. Bagaimana puasa personal ini ditransformasikan secara sosial. Artinya diciptakan kondisi sedemikian rupa supaya orang bisa terkendali bukan hanya oleh kesadaraannya tetapi juga oleh struktur masyarakatnya diluar. Berpuasa berarti terus menerus meneriakkan gerakan anti korupsi dan menciptakan struktur yang berani bertindak tegas terhadap praktik yang merugikan bangsa dan negara ini.

 

Santo Projo (ARC) Santo Projo (ARC)
1 bulan yang lalu

Wisata religi bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga sebuah perjalanan batin untuk menemukan ketenangan dan kedamaian spiritual. Berbagai destinasi di dunia menawarkan pengalaman religius yang mendalam, baik bagi mereka yang ingin memperkuat keyakinan maupun bagi wisatawan yang ingin merasakan ketenangan dalam suasana sakral. Untuk informasi lebih lanjut tentang wisata religi, kunjungi www.linksdir.org.
Mengapa Wisata Religi Menjadi Pilihan Banyak Orang?

Wisata Religi Destinasi Spiritual

Wisata Religi Destinasi Spiritual


1. Menemukan Kedamaian dan Ketenangan
Banyak orang memilih wisata religi untuk menenangkan pikiran dan menjauh dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari. Tempat-tempat ibadah atau situs suci sering kali berada di lokasi yang tenang dan dikelilingi oleh pemandangan alam yang indah.
2. Memperdalam Keyakinan Spiritual
Bagi mereka yang memiliki keyakinan tertentu, mengunjungi tempat-tempat suci bisa menjadi cara untuk memperdalam hubungan spiritual dan memperkuat nilai-nilai keimanan.
3. Menghargai Warisan Budaya dan Sejarah
Selain memiliki nilai spiritual, destinasi religi juga menyimpan sejarah dan budaya yang kaya. Arsitektur tempat ibadah, ritual keagamaan, dan tradisi masyarakat setempat menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan.
Destinasi Wisata Religi yang Menenangkan
1. Mekkah dan Madinah, Arab Saudi
Bagi umat Islam, Mekkah dan Madinah adalah destinasi utama dalam perjalanan spiritual. Mekkah merupakan tempat kelahiran Nabi Muhammad dan lokasi Ka’bah, sementara Madinah menjadi tempat bersejarah dengan Masjid Nabawi yang megah.
2. Vatikan, Italia
Sebagai pusat Katolik Roma, Vatikan menawarkan pengalaman spiritual yang luar biasa. Basilika Santo Petrus, Kapel Sistina dengan lukisan Michelangelo, serta audiensi Paus menjadi daya tarik utama bagi para peziarah dan wisatawan.
3. Varanasi, India
Dikenal sebagai salah satu kota tertua di dunia, Varanasi adalah pusat spiritual bagi umat Hindu. Sungai Gangga yang sakral menjadi tempat ritual keagamaan dan upacara pembakaran jenazah yang dipercaya membawa ketenangan bagi jiwa yang telah berpulang.
4. Borobudur, Indonesia
Candi Borobudur adalah situs Buddha terbesar di dunia yang menjadi tempat ziarah bagi umat Buddha dari berbagai negara. Keindahan relief dan suasana tenang di sekitar candi membuatnya menjadi tempat yang cocok untuk meditasi dan refleksi diri.
5. Kuil Shwedagon, Myanmar
Kuil emas yang berdiri megah di Yangon ini merupakan situs suci bagi umat Buddha di Myanmar. Dengan arsitektur yang megah dan suasana yang sakral, tempat ini menjadi destinasi yang penuh ketenangan.
Tips Menjalani Wisata Religi dengan Khusyuk
Wisata Religi - Indonesia

Wisata Religi - Indonesia


1. Hormati Adat dan Tradisi Setempat
Setiap tempat ibadah memiliki aturan dan tradisi yang harus dihormati. Kenakan pakaian yang sopan, hindari suara berisik, dan ikuti tata cara yang berlaku di tempat tersebut.
2. Siapkan Mental dan Fisik
Wisata religi sering kali melibatkan perjalanan jauh dan aktivitas fisik seperti berjalan kaki atau beribadah dalam waktu yang lama. Pastikan tubuh dalam kondisi fit agar perjalanan tetap nyaman.
3. Nikmati Momen dengan Kesadaran Penuh
Selain mengambil foto, luangkan waktu untuk merasakan suasana sekitar dengan penuh kesadaran. Biarkan diri larut dalam ketenangan dan ambil pelajaran dari perjalanan spiritual yang dilakukan.
4. Pilih Waktu yang Tepat
Beberapa destinasi religi memiliki puncak kunjungan pada waktu-waktu tertentu, seperti musim haji di Mekkah atau perayaan keagamaan besar di kota-kota suci. Jika ingin pengalaman yang lebih tenang, hindari periode puncak tersebut.
Wisata Religi dan Romantisme
Meski wisata religi sering dikaitkan dengan pencarian kedamaian spiritual, beberapa destinasi juga memiliki suasana yang romantis. Beberapa tempat ibadah dan situs suci memiliki arsitektur megah serta pemandangan indah yang menjadikannya Destinasi Wisata Paling Romantis bagi pasangan yang ingin menikmati perjalanan dengan nuansa sakral.
Kesimpulan
Wisata religi menawarkan lebih dari sekadar perjalanan fisik, tetapi juga pengalaman spiritual yang mendalam. Dengan mengunjungi destinasi suci di berbagai belahan dunia, seseorang bisa mendapatkan ketenangan batin, memperdalam keyakinan, serta menghargai kekayaan budaya dan sejarah. Apakah Anda siap untuk memulai perjalanan spiritual yang membawa kedamaian dalam hati?

 

Nurul Hidayat S.Ag Nurul Hidayat S.Ag
1 bulan yang lalu

Surau.co - Sekira empat bulan setelah perang Uhud, di awal-awal tahun ke empat hijriyyah, Rasulullah SAW mengutus satu pasukan kecil yang terdiri dari 70 sahabat pilihan. Seluruhnya adalah sahabat qurra’ yang ahli dalam Al Quran. Rasulullah SAW menjadikan Al Mundzir sebagai pemimpin pasukan kecil ini.

Peristiwa ini bermula saat Abu Bara’, Amir bin Malik bin Ja’far, datang menemui Rasulullah SAW di Madinah. Rasulullah SAW mengajaknya masuk Islam dan mendakwahinya. Saat itu ia menolak namun ia mengatakan, “Wahai Muhammad, bagaimana kalau engkau mengirimkan beberapa orang sahabatmu kepada penduduk Nejed untuk mengajak mereka kepada agamamu. Aku berharap mereka memenuhi ajakanmu. Rasulullah SAW bersabda, “Aku khawatir penduduk Nejed akan mencelakakan sahabat-sahabatku.”

Abu Bara’ berkata, “Aku yang akan menjadi pelindung mereka, silakan engkau kirim mereka untuk mengajak manusia kepada agamamu.”
Rasulullah SAW mengirim Al Mundzir bin Amr
Kemudian Rasulullah SAW mengirim Al Mundzir bin Amr bersama sahabat-sahabatnya yang merupakan orang-orang pilihan kaum muslimin. Di antara yang diutus Al Harits bin Ash-Shimmah, Haram bin Milhan, ‘Urwah bin Asma’, Nafi’ bin Budail bin Warqa’, Amir bin Fuhairah seorang bekas budak Abu Bakar ash-Shiddiq dan sahabat-sahabat pilihan lainnya.

Mereka dikenal sebagai para sahabat yang ahli membaca Al-Qur’an, rajin salat tahajjud serta suka bekerja keras lalu hasilnya diinfakkan untuk para sahabat Rasulullah SAW yang bertempat tinggal di shuffah (serambi Masjid Nabawi). Al Mundzir pun ditugasi menjadi pemimpin rombongan mulia tersebut.

Para utusan lalu berjalan hingga tiba di Bi’r Ma’unah yang terletak di antara wilayah Bani Amir dan wilayah Bani Sulaim. Sesampainya di Bi’r Ma’unah, mereka mengutus Haram bin Milhan untuk mengantar surat Rasulullah SAW kepada Amir bin Ath-Thufail, sepupu dari Al Bara’. Ketika Haram tiba di tempat Amir bin Ath-Thufail, ia tidak membaca surat Rasulullah SAW, justru memerintah para pengikutnya untuk menikam Haram bin Milhan dari arah belakang.

Amir bin ath-Thufail lalu mengajak kaumnya (Bani ‘Amir) menyerang para utusan Rasululla SAW tersebut. Mereka menolak memenuhi seruan Rasulullah SAW. Mereka berkata, “Kami tidak akan melanggar perjanjian Abu Bara’!” Amir bin ath-Thufail tidak menyerah begitu saja. Ia menyeru dan mengajak kabilah-kabilah Bani Sulaim untuk menyerang utusan itu. Seruan ini pun disambut oleh kabilah ‘Ushaiyyah, Ri’lan, dan Dzakwan. Terbunuhlah seluruh pasukan kecuali Ka’ab bin Zaid dan Amr bin Umayyah.

Adapun Ka’ab, maka kabilah-kabilah tersebut membiarkannya hidup dalam keadaan terluka parah. Namun ia masih bertahan hidup dan gugur sebagai syahid dalam perang Khandaq. Sedangkan Amr, mereka tawan. Kemudian mereka bebaskan setelah meminta tebusan

Nurul Hidayat S.Ag Nurul Hidayat S.Ag
1 bulan yang lalu

Surau.co - Di dalam kesyahduan yang menceritakan kisah kejahilan Nuaiman, terhampar keamanahan Suwaibith yang mulia ketika menjaga makanan.

Wahyu cerita ini turun dari lisan Ibnu Majah. Pada suatu masa yang lalu, Abu Bakar Ash-Shiddiq mengajak Nuaiman serta sahabat terpilih untuk berdagang. Di antara sahabat yang ikut adalah Suwaibith bin Harmalah.

Menuju ke Syam, wilayah yang kala itu tumbuh maju, tiga sahabat tersebut berangkat. Seiring hari yang merambat siang, tugas menjaga makanan dititipkan pada Suwaibith.

Namun Nuaiman, yang terasa lapar, mendekati Suwaibith dan memohon sepotong roti untuknya. Sayang, amanah menjaga makanan telah tersemat kuat di hati Suwaibith, ia menolak permintaan Nuaiman. Lalu Nuaiman berkata, "Jika demikian, maka setuju pulalah aku untuk berbuat nakal."

Nuaiman pun mengembara merencanakan aksi dengan hati jahatnya. Dalam pasar yang rame, di tempat tempat hamba sahaya berdatangan, ia berkeliling.

Dengan lihai, ia mengumbar kabar bahwa dirinya memiliki seorang hamba sahaya yang dijualnya dengan harga sangat murah.

Tapi ia menambahkan satu catatan, bahwa sang hamba selalu mengaku sebagai orang merdeka, bukan hamba sahaya. Mendengar tawaran yang terlalu menggoda, orang-orang pun berkerumun ingin melihat hamba sahaya itu.

"Tuan-tuan, itulah hamba sahaya saya yang menjaga makanan," seru Nuaiman pada mereka. Uang pun bertukar tangan dan mereka pun berduyun-duyun menghampiri Suwaibith untuk dibawa pergi.

Tentu saja Suwaibith, yang kaget bukan main, menyangkal keras-keras bahwa ia adalah hamba sahaya. Namun karena ucapan Nuaiman sebelumnya, orang-orang yang membeli hanya menertawakannya, menganggapnya sebagai gurauan semata, dan terus membawa Suwaibith.

Abu Bakar Akhirnya Menyelamatkan Suwaibith dari Penjualan

Beberapa waktu setelah kejadian itu, Abu Bakar Ash Shiddiq kembali mencari Suwaibith yang tak terlihat. Lantas, Nuaiman berkata, "Sudah kusampaikan, wahai Abu Bakar, bahwa dia sudah kubeli."

Nuaiman menceritakan semua kejadian itu dengan tulus dan jujur pada Abu Bakar. Hatinya bergetar ketika menceritakan kejadian tragis itu.

Tidak tahan melihat sahabatnya berada dalam penderitaan, Abu Bakar pun membebaskan Suwaibith dari belenggu penjualan orang-orang di Syam.

Ironisnya, cerita kejadian lucu ini sampai juga di telinga Rasulullah. Beliau tertawa sampai terlihat gigi gerahamnya, ceria di hadapan para sahabat.

Hingga satu tahun berlalu, Rasulullah masih mengenang cerita kocak Nuaiman dan Suwaibith ini dan cerita itu terus diceritakannya kepada tamu-tamu yang datang mengunjunginya. (Wallahu a'lam)

Nurul Hidayat S.Ag Nurul Hidayat S.Ag
3 minggu yang lalu

Surau.co - Loker Jogja adalah term yang digunakan masyarakat Yogyakarta untuk menggambarkan sebuah portal informasi lowongan kerja di jogja. Loker Jogja menjelma menjadi tumpuan para pencari kerja di Yogyakarta, dan yang terbesar adalah Loker Jogja Jobnas.

Portal lowongan kerja online menjadi alternatif solusi bagi para pencari kerja di era digital. Orang tidak perlu lagi repot melihat iklan baris di lampiran koran cetak.

Jobnas.com sebagai portal lowongan kerja terbesar menawarkan juga banyak informasi lowongan kerja yang bagus dan mudah untuk didapatkan. Layanan online Jobnas juga sangat selektif dalam memilah informasi loker.

Aktif Merekrut Media Partner

Loker Jogja Jobnas sangat aktif merekrut media partnerguna menyabarluaskan informasi lowonganya di media sosial.

Sebagaimana yang kita tau, informasi sangat mudah tersebar di media sosial. Jobnas memanfaatkan momentum tersebut guna menjaring pengguna sosial.

Tips memilih Informasi Lowongan Kerja

Berikut adalah beberapa tips yang dapat membantu Anda memilih informasi lowongan kerja yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan Anda:

  1. Pastikan informasi lowongan kerja yang Anda temukan benar-benar valid. Sebaiknya, carilah informasi lowongan kerja melalui situs-situs resmi perusahaan atau situs lowongan kerja terpercaya. Hindari mempercayai informasi lowongan kerja yang tidak jelas sumbernya atau yang terlihat seperti meragukan.
  2. Baca dengan seksama deskripsi pekerjaan yang ditawarkan. Pastikan Anda memahami sepenuhnya tanggung jawab, kewajiban, dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk posisi tersebut. Ini akan membantu Anda memutuskan apakah lowongan kerja tersebut sesuai dengan minat dan kemampuan Anda.
  3. Carilah informasi tentang perusahaan yang menawarkan lowongan kerja tersebut. Pastikan perusahaan tersebut memiliki reputasi yang baik dan sesuai dengan bidang yang Anda minati.
  4. Perhatikan syarat dan ketentuan yang diberikan dalam lowongan kerja. Pastikan Anda memahami dengan baik apa yang diharapkan dari Anda sebagai kandidat, termasuk prosedur pendaftaran, jadwal tes, dan waktu yang dibutuhkan untuk proses seleksi.
  5. Jangan terlalu terpaku pada gaji yang ditawarkan. Sebagai pemula, Anda mungkin harus bersedia untuk mulai dengan gaji yang lebih rendah dari yang Anda harapkan. Namun, pastikan bahwa gaji yang ditawarkan masih sesuai dengan standar industri dan tidak mengeksploitasi tenaga kerja.
  6. Jangan terlalu banyak mencari lowongan kerja dalam waktu yang bersamaan. Fokuslah pada satu atau dua lowongan kerja yang sesuai dengan minat dan kemampuan Anda, dan berikan yang terbaik dalam proses seleksi tersebut. Jangan lupa untuk terus belajar dan meningkatkan kemampuan Anda agar lebih siap dalam menghadapi proses seleksi lowongan kerja di masa yang akan datang.
Hal yang Perlu Disiapkan Sebelum Melamar Kerja

Berikut adalah beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam persiapan melamar kerja:

  1. Buat daftar kemampuan dan pengalaman Anda. Ini akan membantu Anda menentukan posisi yang sesuai dengan kemampuan dan pengalaman Anda, serta menyusun resume yang efektif.
  2. Buat resume yang menarik dan fokus pada kemampuan dan pengalaman yang sesuai dengan posisi yang dilamar. Sertakan informasi yang relevan tentang pendidikan, pengalaman kerja, kemampuan komputer, bahasa asing, dan kemampuan lain yang Anda miliki.
  3. Periksa kembali resume Anda untuk memastikan tidak ada kesalahan pengetikan atau kesalahan informasi lainnya. Jika perlu, mintalah bantuan teman atau keluarga untuk memeriksa kembali resume Anda.
  4. Buat surat lamaran yang menarik dan sesuai dengan posisi yang dilamar. Sertakan alasan mengapa Anda tertarik dengan posisi tersebut dan mengapa Anda merasa cocok dengan posisi tersebut.
  5. Siapkan dokumen pendukung yang diperlukan, seperti surat keterangan lulus, transkrip nilai, sertifikat kemampuan, dan dokumen lain yang diperlukan. Pastikan dokumen-dokumen tersebut sudah terkopi dan tersusun dengan rapi.
  6. Persiapkan diri Anda untuk wawancara kerja. Ini termasuk mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diajukan, serta mempersiapkan pertanyaan yang ingin Anda tanyakan pada perusahaan.
  7. Pastikan Anda mengetahui lokasi dan jadwal wawancara kerja, serta mempersiapkan alat-alat yang diperlukan untuk wawancara, seperti pena, kertas, dan dokumen-dokumen pendukung lainnya.
  8. Datanglah tepat waktu untuk wawancara kerja, dan gunakan pakaian yang sopan dan sesuai dengan perusahaan yang dilamar.
  9. Berikan jawaban yang jujur dan sopan saat wawancara kerja, serta tunjukkan antusiasme dan keinginan Anda untuk bekerja di perusahaan tersebut. Jangan lupa untuk meminta kontak dan informasi tentang proses seleksi berikutnya setelah wawancara selesai.

Baca juga: Contoh Info Lowongan Kerja dan Cara Membuatnya