Surau.co – Shuhaib bin Sinan ar-Rumi atau juga dikenal dengan nama populernya sebagai Shuhaib ar-Rumi lahir 587 M, adalah mantan budak dari Kerajaan Byzantium yang menjadi sahabat nabi dan sekaligus menjadi salah satu dari pemeluk Islam pertama.
Ayahnya, beranama Sinan yang berasal dari Bani Tamim, ia merupakan seorang hakim di Ubullah, Persia. Dia mendapat nisbat “ar-Rumi” karena lama menetap di negeri Romawi. Kunyah-nya adalah Abu Yahya.
Shuhaib bin Sinan adalah veteran Perang Badr yang mengahiri masa hidupnya di Madinah pada bulan Syawal 38 H.
Riwayat Hidup Shuhaib bin Sinan
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata bahwa orang-orang yang paling pertama dan utama masuk Islam ada empat. Pertama, Rasullulah sendiri, sebagai tokoh dari Arab. Kedua, Shuhaib bin Sinan sebagai tokoh dari Romawi. Ketiga, Bilal sebagai tokoh dari Abyssina. Dan keempat, Salman al-Farisi sebagai tokoh dari Farsi.
Shuhaib bin Sinan berasal dari Romawi dalam beberapa riwaya disebutkan, nama al-Rumi yang kerap disematkan kepada namanya berasal dari kata Romawi. Namun, catatan sejarah menunjukkan, nenek moyang Shuhaib bin Sinan sebetulnya berasal dari Arab, dan merupakan keluarga terhormat.
Nenek moyang Shuhaib bin Sinan telah pindah ke Irak jauh sebelum kedatangan Islam, dan di sana ayah Shuhaib diangkat menjadi hakim dan walikota oleh Kisra, Raja Persia. Shuhaib dan orang tuanya tinggal di sebuah istana di tepi Sungai Efrat di bagian hilir semenanjung dan Mosul.
Mereka hidup dalam suka cita dan kebahagiaan. Sekali waktu, orang Romawi datang dan menangkap beberapa penduduk setempat, termasuk Shuhaib bin Sinan. Setelah penangkapannya, Shuhaib diperdagangkan sebagai budak dari satu pedagang ke pedagang lainnya.
Dia menghabiskan masa kecil dan remajanya di Roma sebagai budak. Akibatnya, dialeknya lebih mirip dengan orang Romawi. Perjalanan panjangnya sebagai budak akhirnya berakhir di Mekah.
Tuannya yang terakhir membebaskan Shuhaib bin Sinan karena dia melihat kecerdasan, keterampilan, dan kejujuran Shuhaib. Bahkan, majikan memberinya kesempatan untuk berbisnis dengannya.
Perihal keislaman Shuhaib bin Sinan, diceritakan oleh sahabatnya, Ammar bin Yasir. Suatu ketika, Ammar berjumpa Shuhaib di muka pintu rumah Arqam bin Abu Arqam. Saat itu Rasulullah masih berdakwah secara sembunyi-sembunyi di rumah tersebut. “Kamu mau kemana?” tanya `Amnar.
Shuhaib bin Sinan kembali bertanya, “Dan kamu hendak kemana?” “Aku mau menjumpai Rasulullah untuk mendengarkan ucapannya,” jawab ‘Ammar.
“Aku juga mau menjumpainya,” ujar Shuhaib bin Sinan.
Lalu mereka masuk ke dalam rumah Arqam menemui Rasulullah SAW, keduanya mendengar secara khidmat penjelasan tentang aqidah Islam hingga larut malam.
Belakangan, keduanya mendeklarasikan diri sebagai Islam. Diam-diam, mereka kemudian meninggalkan rumah, ketika Nabi hendak hijrah ke Madinah, Shuhaib bin Sinan ikut bersama rombongan Nabi untuk hijrah.
Beberapa orang mencatat bahwa Shuhaib bin Sinan menyembunyikan semua emas, perak, dan harta bendanya selama bertahun-tahun berdagang di Mekah sebelum berangkat hijrah.
Pada riwayat yang lain dijelaskan bahwa Shuhaib bin Sinan ingin membawa harta itu ke Madinah dan akan disumbagkan untuk perjuangan islam bersama dengan Rasul.
Menurut rencana, Shuhaib akan menjadi orang ketiga yang berangkat ke Madinah setelah Nabi dan Abu Bakar. Namun, pihak Quraisy sudah mengetahui rencana tersebut, akhirnya mereka menggunakan segala cara untuk mencegahnya.
Saat hijrah akan dilakukan, tentara Quraisy menyerbu. Semoga sukses Shuhaib. Dia jatuh ke dalam perangkap dan ditangkap. Akibatnya, perjalanan Shuhaib ke Madinah tertunda, sementara para sahabat lainnya berhasil melarikan diri.
Ketika orang Quraisy lengah, Shuhaib segera menaiki unta dan menungganginya secepat mungkin melalui padang pasir yang luas. Orang Quraisy segera mengejarnya dan hampir menyusulnya.
Tiba-tiba Shuhaib berhenti dan berteriak: “Orang-orang Quraisy, kalian tahu bahwa saya adalah ahli panah yang paling berbakat. Demi Allah, Anda tidak akan bisa mendekati saya sampai saya telah menembakkan semua anak panah di tas ini. Dan kemudian, saya akan memotong Anda dengan pedang saya sampai saya kehabisan senjata di tangan saya.
Nah, datang ke sini jika Anda berani! Tetapi jika Anda setuju, saya akan menunjukkan kepada Anda di mana harta saya disimpan selama Anda membiarkan saya pergi. “Ibn Mardaweh melaporkan dari Utsman an-Nahdiy dari Shuhaib bahwa tentara Quraisy pada waktu itu berkata: ‘Wahai Shuhaib, Anda telah datang kepada kami tanpa kekayaan. Sekarang Anda ingin bermigrasi dengan harta Anda? Itu tidak bisa terjadi. “Apakah kamu menerima tawaranku?”
Kaum Quraisy akhirnya tertarik dan setuju untuk melepaskan Shuhaib dan menerima hadiahnya. Reputasi Shuhaib sebagai orang yang jujur membuat tentara Quraisy percaya bahwa Shuhaib tidak akan berbohong.
Setelah berbalik, kaum Quraisy melanjutkan perjalanan sendirian sampai mereka melewati Rasulullah yang berada di Quba’. Saat itu Rasulullah sedang duduk dikelilingi para sahabatnya. Mendengar salam Shuhaib, nabi langsung berseru dengan gembira: “Selamat atas perdaganganmu, wahai Abu Yahya!” Dia mengulangi pidatonya dua kali.
Beberapa waktu kemudian Surah Al-Baqarah ayat 207 diturunkan Ibnu Abbas, Anas bin Musayyab, Abu Utsman an-Nahdiy, Ikrimah dan lain-lain yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan oleh Allah subhanahu wa Ta’ala tentang hal-hal yang terjadi pada Shuhaib.
Sementara kebanyakan ulama berpendapat, ayat ini umum untuk setiap mujahid yang berperang di jalan Allah, seperti halnya fiman Allah dalam Surat at-Taubah ayat 111: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka.
Baca Juga: Riwayat Hidup Bilal bin Rabah (580 M), Sahabat yang Menjadi Muadzin Pertama
Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji benar Allah dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur`an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain Allah)? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.”
Sebuah catatan menunjukkan, Shuhaib baru mengetahui turunnya ayat mengenai dirinya setelah bertemu Umar bin Khattab dan kawan-kawannya di Tharf al-Hurrah. Mereka berkata pada Shuhaib, “Perniagaanmu beruntung.” “Kalian sendiri bagaimana? Saya tidak merugikan perniagaanmu di jalan Allah. Apa yang kalian maksud dengan perniagaanku beruntung?” tanya Shuhaib. Para sahabat kemudian memberitahu bahwa Allah telah menurunkan ayat yang berkaitan dengan dia.
Setelah Shuhaib bin Sinan hijrah, ia menjadi sahabat setia Nabi. Ia dikenal pemberani dan handal dalam menggunakan tombak dan anak panah. Shuhaib pernah berkata, “Tidak ada perang yang dilakukan Rasulullah dengan pihak lain mana pun di mana saya tidak berada di pihaknya.
Tidak pernah ada kesepakatan yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, dan Shuhaib bin Sinan selalu mendampinginya, tidak pernah ada pasukan yang disiapkan oleh Rasulullah untuk berperang di mana saya bukan bagiannya.
Tidak ada perang tanpa kehadiranku di hadapan rajamu. Tidak pernah ada yang siap untuk mengirim bantuan karena saya tidak ada di sana. Singkatnya, akulah yang berdiri di antara musuh dan Rasulullah SAW.
Setelah Wafatnya Nabi, Shuhaib bin Sinan menawarkan jasanya kepada Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar bin Khaththab ketika keduanya menjadi khalifah.
Ketika Umar ditikam dari belakang saat memimpin shalat Subuh, Shuhaib bin Sinan segera ditunjuk sebagai pengganti Imam. Umar berkata, “Berdoalah kepada Shuhaib.” Meski saat itu umat Islam belum memutuskan siapa yang akan menggantikan Umar sebagai khalifah.
Selanjutnya Umar berkata: “Jangan takut pada Shuhaib bin Sinan, karena dia adalah seorang maula (budak yang dibebaskan). Dia tidak akan memperebutkan posisi jabatan kekhalifahan ini.
Kedudukan Shuhaib
Salah satu peristiwa paling terkenal dan menakjubkan dalam hidup Shuhaib bin Sinan adalah kisah hijrahnya yang meminta Tuhan untuk memberkatinya dan memberinya kedamaian.
Seperti disebutkan, Shuhaib bin Sinan adalah seorang pria yang tidak memiliki apa-apa, kemudian dia pergi ke Mekah dan menjadi salah satu saudagar kaya. Kemudian datang panggilan untuk hijrah, dan ia pun menerima panggilan itu.
Dalam perjalanannya dari Mekah ke Madinah, Shuhaib dihentikan oleh orang-orang Mekah. “Wahai Shuhaib, engkau datang kepada kami dalam keadaan miskin dan rendah hati, kemudian kekayaanmu menjadi berlimpah setelah tinggal di wilayah kami.
Kemudian sesuatu terjadi di antara kami (perselisihan tentang Islam). Anda bisa sampai di sana, tetapi tidak dengan semua harta Anda. “Shuhaib juga meninggalkan hartanya tanpa peduli sedikit pun.
Kemudian sampailah Shuhaib di Madinah, lau ia berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang langsung mengucapkan,
“Perdagangan yang amat menguntungkan wahai Abu Yahya, perdagangan yang amat menguntungkan wahai Abu Yahya.”
Shuhaib berkata, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang pun yang melihat apa yang kualami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jibril yang memberi tahuku.”
Lalu turunlah ayat,
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 207)
Shuhaib bin Sinan dikenal sebagai sahabat yang sangat dermawan dan suka memberi makan orang miskin. Shuhaib begitu rajin memberi, sehingga Umar bin Khattab menganggapnya sebagai mubadzir (pemberian tanpa tujuan).
Kata Umar, “Wahai Shuhaib, aku tidak melihat kekurangan pada dirimu kecuali dalam tiga hal: (1) Engkau menisbatkan diri sebagai orang Arab, padahal logatmu logat Romawi, (2) engkau berkun-yah dengan nama Nabi, (3) dan engkau orang yang mubadzir.”
Shuhaib menanggapi, “Aku seorang yang mubadzir? Tidaklah aku berinfak kecuali dalam kebenaran. Adapun kun-yahku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang memberinya. Dan logatku logat Romawi, karena sejak kecil aku ditawan orang-orang Romawi. Sehingga logat mereka sangat berpengaruh padaku”.
Ia juga selalu turut serta dalam peperangan yang diikuti oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Shuhaib bin Sinan Wafat
Shuhaib meninggal di kota Madinah pada bulan Syawal tahun 38 H. Saat itu usianya 70 tahun. Semoga Allah Ta’ala meridhoinya dan menempatkannya di surga yang penuh dengan kebahagiaan.
Kesimpulan
Kisah awal kehidupan Shuhaib radhiallahu ‘anhu mirip dengan apa yang terjadi pada Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Dia pertama orang bebas, kemudian dia diperbudak dan dijual ke salah satu pejabat tanah Mesir sampai dia menjadi penguasa negeri itu.
Dari sini kita dapat mengambil pelajaran, terkadang Tuhan memang mendatangkan malapetaka pada kita, namun musibah ini adalah jalan yang harus kita tempuh untuk menjadi lebih baik atau bahkan hebat. Nabi Yusuf tidak akan menjadi penguasa tanah Mesir jika dia tidak menghabiskan hidupnya sebagai orang yang dibuang oleh saudara-saudaranya.
Shuhaib tidak akan mendapat kehormatan menjadi seorang Muslim dan sahabat Rasulullah, seandainya dia tidak menjalani perjalanan hidup sebagai seorang budak yang membawanya ke Mekah sampai dia bertemu dengan Rasulullah, semoga Tuhan memberkati dia dan beri dia kedamaian.
Oleh karena itu, janganlah kita berprasangka buruk terhadap Tuhan karena kemalangan yang menimpa kita. Bisa jadi Tuhan sedang menyimpan hikmat yang agung atau Tuhan sedang mempersiapkan sesuatu yang istimewa di balik musibah yang sedang kita alami. Wallahua’lam!