Biografi Lengkap Rasuna Said (1910), Perempuan Pejaung Kemerdekaan Indonesia
Surau.co – Rasuna Said lahir pada tanggal 14 September 1910, di Panyinggahan, sebuah desa tidak jauh dari Maninjau, lahirlah seorang perempuan yang beranam Rasuna Said, putri dari H. Mahmud Said.
Sedangkan “Rangkayo” adalah gelar bangsawan yang diberikan setelah pernikahan Rasuna Said.
Diketahui bersama, bahwa keluarga besar Haji Said adalah keluarga yang cukup terkenal di masyarakat, dikenal beragama Islam yang kuat dan sangat menyayangi anak-anaknya (Kamajaya, 1984:75).
Pendidikan Rasuna Said
Pada umumnya anak-anak dari keluarga Haji Said semuanya bersekolah di sekolah umum yang didirikan oleh Belanda. Namun demikian, berbeda dengan Rasuna Said, ia lebih memilih sekolah agama di dekat rumahnya.
Ayah Rasuna Said adalah seorang pengusaha yang sibuk, yang membuatnya tidak punya waktu untuk mengurus putrinya, jadi sejak kecil, Rasuna Said dibesarkan oleh keluarga kakak laki-laki ayahnya, yang bernama Bachtaruddin (Esti, 2017:6).
Rasuna mengenyam pendidikan dasar di sekolah agama, sepulang sekolah ia bersekolah di Pesantren Ar-Rasyidiyah yang dikelola oleh Syekh Abdul Rasyid. Dan di pesantren inilah, Rasuna Said adalah satu-satunya siswi, ia mempelajari berbagai ilmu keislaman seperti tauhid, fiqh, hadits dan bahasa Arab sampai mahir.
Sayangnya, belum puas menimba ilmu dari sang guru, Syekh Abdul Rasyid telah berpulang. Rasuna Said kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Diniyah Putri Padang Panjang yang dikelola oleh Zainuddin Labai El-Yunusi.
Rasuna Said dididik sebentar oleh Zainuddin, setelah kematian Zainuddin sekolah Diniyah Putri dijalankan oleh saudara perempuan Zainuddin, Rahmah.
Di sekolah inilah Rasuna Said dan Rahmah pertama kali bertemu, kedua wanita ini adalah orang paling terkenal di Minangkabau. Rasuna dapat menyelesaikan studinya dengan lancar, ketika di kelas 5 dan 6, Rasuna ditugaskan untuk mengajar kelas bawah (Jahroni, 2002: 71).
Pada tanggal 28 Juni 1926, terjadi bencana alam di Padang Panjang yang memulangkan para siswa ke kampung halamannya. Rasuna Said juga sempat bersekolah di sekolah yang dikelola Haji Abdul Majid.
Setelah itu, Rasuna melanjutkan pendidikannya di sekolah putri (Meisjessschool) untuk belajar keterampilan memasak, menjahit dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Perjalanan pendidikan Rasuna cukup panjang dan pengalaman bagi kaum perempuan saat itu.
Bakat dan kecerdasan Rasuna Said membantunya masuk ke dalam gerakan kerakyatan, Rasuna memiliki sifat yang jujur sehingga memenuhi syarat sebagai pemimpin gerakan kerakyatan. Pada tahun 1926, Rasuna bergabung dengan perkumpulan “Sarikat Rakyat” (SR) dan kemudian berubah menjadi (Partai Persatuan Islam Indonesia).
Rasuna Said juga menjadi anggota PERMI (Persatuan Muslim Indonesia), tetapi Rasuna lebih memilih PERMI karena PERMI berhasil memperluas pengaruhnya di Sumatera Barat, karena PERMI memiliki pejuang perintis di Sumatera Barat.
Perjuangan Politik Hj. Rangkayo Rasuna Said
Setelah Rasuna Said keluar dari Diniyah Putri, dia sibuk belajar agama dari para pembaharu di Minangkabau. Dengan bimbingan Haji Rasul, pikiran Rasuna menjadi lebih terbuka.
Hingga setelah beberapa tahun belajar dengan Haji Rasul dan menghadiri Sekolah Meijes pada tahun 1926, terjadi bencana alam di Padang Panjang, memaksa Rasuna harus kembali ke kampung halamannya di Maninjau.
Setelah kembali ke kampung halamannya, Rasuna Said bersekolah di sekolah yang dikelola oleh H. Abdul Majid dari kelompok “Orang Tua”, tetapi di sana Rasuna merasa tidak betah dan merasa kurang cocok. Rasuna kemudian bergabung dengan sekolah Thawalib yang didirikan oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya Kaum Muda.
Di sekolah inilah kepribadian dan karakter Rasuna Said dibentuk sebagai calon pejuang. Rasuna yang belajar menjadi orator ulung untuk menyampaikan aspirasinya dalam pidato-pidatonya (Martamine, 1977: 139).
Rasuna Said bergabung dengan Persatuan Rakyat sebagai pengurus, penulis dan juga sekretaris. Organisasi ini memobilisasi kekuatan masyarakat untuk melawan penjajahan Belanda di Hindia Timur. Namun, Datuk Ibrahim Tan Malaka, yang saat itu seorang propagandis komunis dari Payakumbuh, menggunakan Sarikat Rakyat untuk kepentingan politik.
Maka pada tahun 1927 terjadilah pemberontakan komunis di Siluggkang, karena peristiwa ini hanya sedikit orang yang menjadi korban. Akhirnya pada tahun 1930, Persatuan Rakyat secara resmi menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII).
Pada saat yang sama Perhimpunan Thawalib Sumatera, dalam konferensinya pada tanggal 22-27 Mei 1930, mengumumkan bahwa mereka telah mendirikan sebuah partai politik yang disebut Persatuan Muslim Indonesia (PERMI).
Karena PERMI telah menjadi partai politik dan PSII juga merupakan partai politik di mana Rasuna Said juga menjadi anggota kedua partai dan tunduk pada disiplin yang ditentukan oleh PSII yang ditetapkan dalam kongres tahunan 1921, yang menyatakan bahwa setiap anggota partai politik dilarang merangkap jabatan.
Rasuna Said mau tidak mau harus mematuhi peraturan tersebut, dan pada akhirnya, Rasuna memantapkan pilhannya untuk memilih PERMI sebagai tempat ia berproses, sehingga Rasuna keluar dari PSII dan tetap menjadi anggota PERMI.
Pada tahun 1932, PERMI resmi menjadi partai politik yang tidak terpisahkan dari tiga anak Minang, Haji Ilyas Yakub, Haji Mukhtar Lutfhi dan Haji Jalaluddin Thaib.
Partai PERMI yang berlandaskan Islam dan kebangsaan dengan cepat merebut hati masyarakat, yang tidak hanya berasal dari Sumatera Barat, tetapi pengaruhnya sampai ke wilayah Tapanuli, Bengkulu, Palembang, dan Lampung.
Peran Rasuna Said sangat penting di dalam tubuh PERMI, begitu juga dengan kelincahannya yang sudah teruji. Memang Rasuna pernah mengajar mata kuliah yang memuat pelajaran alokasi dan debat sebagai latihan mengasah pikiran para pengurus PERMI, dimana ia pernah mengajar kepada anggota PERMI dengan memberikan pidato publik yang menjelaskan prinsip dan tujuan partainya nasionalisme dengan semangat Islam dan condong ke arah non-koperasi untuk mewujudkan Indonesia merdeka (Putra, 2019:41).
Rasuna Said, sebagai pembicara ahli dari partai PERMI, belajar banyak dari dua pemimpin besar saat itu, Bung Karno dan Bung Hatta, melalui surat menyurat. Saat itu, Rasuna Said merasa mendapat nasehat langsung dari kedua pimpinan untuk melanjutkan perjuangannya.
Rasuna Menunjukkan kemampuan berbicara yang diperolehnya dari gurunya H. Udin Rahmani, saat belajar di Sumatera Thawalib, dan hal itu terbukti sangat berguna dalam kegiatan propaganda partai politiknya.
Kemampuan Rasuna Said dalam berpidato mampu menarik simpati dari orang-orang yang memadati kuliah politiknya, bahkan agen PID tetap mengincar dan melacak gerak-geriknya, bahkan di tengah-tengah pidatonya, Rasuna sempat diiberhentikan dan dipaksa turun dari podium.
Karena keberaniannya mengkritik pemerintah Hindia Belanda, banyak orang menjulukinya sebagai “singa betina”. Setelah Rasuna Said memberikan pidato yang sangat kuat mengkritik pemerintah Hindia Belanda di Payakumbuh, sehari setelah itu, ia ditangkap dan diasingkan oleh penjajah.
Selama menjalani hukumannya, Rasuna Said terkena Delik Spreek oleh otoritas Hindia Belanda. (Sally 2013: 108). Setelah Rasuna Said ditangkap, pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan pengawasan yang sangat ketat terhadap segala bentuk publikasi, pidato dan ceramah di masjid-masjid, serta mengawasi para aktivis PERMI.
Dan pada gilirannya, para tokoh PERMI bernasib sama dengan Rasuna Rasimah Ismail, seorang propagandis PERMI, dan siswa Rasuna yang juga dianiaya oleh Spreek di Sungai Puar Bukittinggi, kemudian guru Rasuna di Sumatera Thawalib, yaitu Zainal Abidin Ahmad dan Duski Samad dihukum berhenti mengajar di Sumatera Thawalib.
Sementara trio PERMI 1934 juga ditangkap, Muchtar Luthfi diasingkan ke Makassar sementara Ilyas Yakub dan Jalaludin Thaib diasingkan ke Digul (Sally, 2013:111).
Pada tahun 1935, setelah masa tahanannya selesai, Rasuna Said kembali ke kampung halamannya, di Kota Padang. Kemudian Rasuna Said melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Agama Islam yang dipimpin oleh K.H. Mochtar Jahja dan Dr. Kusuma Atmaja menjalankan, di lembaga pendidikan ini ia mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan.
Pada tahun yang sama, nama Rasuna Said juga selalu nongol di koran, bahkan ia sempat menjadi pimpinan redaksi di salah satu korang yang bernama “Raya” koran yang sangat nasionalis dan radikal.
Dan dari koran ini lah, perjuangan dan juga perlawanan terus mengalir dan berkobar bagi kebangkitan pergerakan nasionalis rakyat di Sumatera Barat. Hingga akhirnya, PID atau polisi pemerintah Hindia Belanda mempersempit ruang gerak media koran tersebut.
Namun perjuangn yang dilakukan oleh Rasuna Said lewat PERMI, terpaksa harus terhenti setelah 18 Oktober 1937, PERMI membubarkan diri dari medan perjuangan.
Bubarnya PERMI merupakan pukulan keras bagi Rasuna Said, ia tidak setuju atas pembubaran partainya. Dengan bubarnya PERMI Rasuna Said pergi meninggalkan tanah kelahirannya.
Kemudian ia pindah ke Kota Medan, Sumatera Utara dan di kota itulah Rasuna Said meneruskan perjuangannya dengan cara yang lain tetapi tujuan tetap sama yaitu Kemerdekaan Indonesia.
Di Kota Medan, pergerakan yang Rasuna Said lakukan berjalan pada dua aspek, pertama dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan khusus untuk kaum wanita dan yang kedua, ia menerbitkan sebuah majalah (Kamajaya, 1984:80).
Baca Juga: Biografi Abdul Muis (1886), Tokoh Pahlawan Nasional Pertama Indonesia
H.J. Rangkayo Rasuna dalam kemerdekaan Indonesia
Berkat kecerdasannya dan sifatnya yang jujur dan tulus, ia memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin gerakan massa dengan sikap radikal dan tanpa kompromi berdasarkan sifat konsesi, hak komersial, baik dengan saingan maupun teman, yang membawanya untuk memimpinnya ke dalam masyarakat sipil.
Rasuna Said bergabung dengan Sarikat Rakyat pada tahun 1926 tidak hanya sebagai anggota tetapi juga sebagai sekretaris, tetapi sekaligus menjadi anggota PERMI partai politik yang dibentuk oleh Perhimpunan Thawalib Sumatera.
Rasuna yang mahir orator, membuatnya disebut sebagai orator ulung membuat namanya semakin tersohor dengan semakin menjamurnya partai PERMI di pelosok Sumatera Barat.
Tidak berhenti sampai di situ, Rasuna Said yang mendirikan pendidikan populer sebagai kelas literasi dengan nama sekolah “Penyesalan”, sekolah Thawalib Putri dan kelas putri dimana sekolah tersebut juga dididik oleh kader pihak PERMI.
Atas jasanya dalam pendirian sekolah umum, masyarakat pedesaan mengenal pihak PERMI dengan Rasuna Said-nya. Sekolah dibangun di Bukittinggi yang kemudian menyebar ke Sumatera Barat, bahkan sampai Tapanuli, Bengkulu dan Lampung.
Pengaruh Rasuna Said beserta kecerdasan dan aktivitasnya membuat pengaruh Rasuna Said semakin besar di kalangan penduduk. Ini menjadikannya target untuk operasi PID. Pada puncaknya, ia ditangkap dan dipenjarakan di Bulu, Semarang, Jawa Tengah.
Setelah bertahun-tahun di penjara pada tahun 1935 dan belajar di Perguruan Tinggi Islam dan menjabat sebagai editor majalah “Raya”. Akhirnya, pada tahun 1938, Rasuna meninggalkan tanah kelahirannya, ia tiba di kota Medan di Sumatera Utara, berharap untuk melanjutkan perjuangannya.
Di kota Medan, Rasuna kembali melanjutkan perjuangannya dengan cara yang berbeda namun dengan tujuan yang sama, yaitu kemerdekaan Indonesia. Rasuna Said memulai jalannya sendiri dengan mendirikan Perguruan Wanita dan majalah Menara Putri.
Pada bulan Februari 1942, Jepang mulai menginvasi Sumatera dengan pasukannya di Palembang untuk menggagalkan rencana Belanda menghancurkan fasilitas minyak.
Kedatangan Jepang di Indonesia diendus oleh pemerintah Belanda. Tentara Jepang memasuki kota Padang pada tanggal 17 Maret 1942 (Kahin, 2008: 135). Belanda merasa akan ada persaingan yang hebat jika Jepang benar-benar pergi ke Indonesia, untuk mempersiapkan hal tersebut Belanda melakukan latihan militer dimana-mana.
Belanda membentuk pasukan khusus seperti Garda Negara (Stadswacht), Angkatan Pertahanan Udara (Luchtbechermings Dients). Namun, ketika Jepang tiba di Indonesia, Belanda tidak melawan.
Sebelum mendarat, tentara Jepang menghancurkan kota Padang dan pelabuhan Teluk Bayur. Hal ini membuat seluruh tentara Belanda lumpuh total. Sebelum meninggalkan Sumatera Barat, Belanda mengambil taktik dengan menghancurkan jalan, jembatan dan bangunan penting lainnya, dan di beberapa kota seperti Payakumbuh dan Batusangkar terjadi kebakaran hebat (Jahroni, 2002).
Tak lama setelah Jepang datang, Rasuna Said kembali ke Minang untuk mengambil tindakan. Bersama Chotib Sulaiman, Rasuna mendirikan “Pemuda Nippon Raya” untuk mempersatukan pemuda Sumatera Barat.
Pembentukan organisasi ini, mereka bekerja sama dengan pemerintah Jepang, tetapi terutama untuk melatih kader-kader perjuangan kemerdekaan. Sebuah aspirasi terkadang tidak disembunyikan oleh para tokoh pemuda, khususnya Rasuna Said. Setelah mengetahui aspirasi sebenarnya dari “Pemuda Nippon Raya”, organisasi tersebut dibubarkan oleh Jepang.
Menyusul berdirinya Heiho dan PETA (Pembela Tanah Air) di Pulau Jawa, para pemimpin gerakan di Sumatera Barat juga mengusulkan kepada pemerintah Jepang pembentukan Gyu Gun.
Gyu Gun dilatih oleh Kepala Seksi Chotib Sulaeman, sedangkan Rasuna Said diangkat sebagai Kepala Departemen Wanita sebagai “Ibu Pusat Laskar Rakyat”.
Rasuna Said bertanggung jawab atas propaganda organisasi. Rasuna berperan penting dalam menyebarkan Sayap Gyu Gun ke setiap pelosok Sumatera Barat seperti Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh, Sijunjung, Batusangkar, Maninjau, Pariaman, Kerinci dan Panian untuk memperkenalkan organisasi rekrutmen multi-person mungkin.
Dalam kegiatan dakwahnya, Rasuna Said melatih kader-kader perjuangan bangsa, dan kader-kader yang dilatih tersebut kemudian menjadi tokoh-tokoh Badan Keamanan Rakyat (BKR), setelah kemudian berganti nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan menjadi Tentara Nasional Indonesia. Tentara Republik (TRI) dan akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Penutup
Rasuna Said lahir pada 14 September 1910, putri dari H. Mahmud Said. Keluarga H. Mahmud Said adalah keluarga yang sangat dihormati saat itu karena menganut ajaran Islam.
H. Mahmud Said adalah seorang ayah yang sangat peduli terhadap pendidikan semua anaknya, yang semuanya bersekolah di sekolah umum yang didirikan oleh Belanda, kecuali Rasuna Said.
Organisasi politik pertama yang diikuti Rasuna Said adalah Sarikat Rakyat dan Sumatera Thawalib, yang keduanya kemudian menjadi partai politik.
Sarikat Rakyat diubah menjadi PSII (Persatuan Islam Indonesia) dan PERMI (Persatuan Muslim Indonesia). Rasuna terlibat dalam perjuangan partai PERMI, salah satunya sebagai alat propaganda antar partai, ketua partai, dan dengan membuka sekolah-sekolah seperti “Pengakuan”, “Thawalib Putri” dan “Putri Kursus”.
Rasuna yang dipenjara karena terkena Spreek Delic menjadi kontributor majalah Raya setelah dibebaskan, dan setelah mengetahui pembubaran PERMI, Rasuna Said terus berjuang di Kota Medan, Sumatera Utara.
Di Kota Medan, ia mendirikan pendidikan “Perguuan Putri” dan majalah “Menara Putri” yang melaluinya ia melanjutkan perjuangannya.