Surau.co – Ibnu Batutah merupakan salah satu tokoh muslim yang terkenal karena petualangannya ke berbagai macam Kota-kota di suatu negara di seluruh Dunia, termasuk di Nusantara.
Namun dibalik itu semua, Ibnu Batutah dekenal karena setiap kali berkunjug ke berbagai Negara, Ibnu Batutah selalu mengabadikan moment itu yang dikemas dengan bahasa-bahasa sastrawi dan tertuang dalam buku Rihlah.
Atas dorongan Sultan Maroko, Ibnu Batutah mendiktekan beberapa perjalanan pentingnya kepada seorang sarjana bernama Ibnu Juzay, yang ditemuinya ketika sedang berada di Iberia. Meskipun mengandung beberapa kisah fiksi, Rihlah merupakan catatan perjalanan dunia terlengkap yang berasal dari abad ke-14.
Hampir semua yang diketahui tentang kehidupan Ibnu Batutah datang dari dirinya sendiri. Meskipun dia mengklaim bahwa hal-hal yang diceritakannya adalah apa yang dia lihat atau dia alami, kita tak bisa tahu kebenaran dari cerita tersebut.
Riwayat Hidup Ibnu Batutah
Ibnu Batutah atau dengan nama akrabnya Abu Abdullah Muhammad bin Battutah lahir di Tangier, Maroko sekitar tahun 1304 dan 1307 M.
Menurut catatan Dunn Ross E dalam tulisanya The Adventures of Ibn Battuta, University of California Press, bahwa Ibnu Batutah adalah seorang keturunan Berber, terlahir sebagai putra keluarga Ulama Fikih di Tanjah (Tangier), Maroko, pada 24 Februari 1304 (703 Hijriah), yang pada saat itu Maroko diperintah oleh sultan-sultan dari Bani Marin.
Bahkan sebagaimana penelitian Defrémery, C.; Sanguinetti, B.R. trans. and eds. (1855), bahwa Ibnu Batutah masih terhitung sebagai keturunan dari salah satu suku Berber, yakni suku Lawata.
Sedari Muda, Ibnu Batutah mendalami ilmu fikih di sebuah madrasah Suni bermazhab Maliki, yakni bentuk pendidikan yang paling banyak terdapat di Afrika Utara kala itu. Umat Muslim dari mazhab Maliki meminta Ibnu Batutah menjadi kadi (hakim syariat) mereka, karena ia berasal dari negeri yang mengamalkan Mazhab Maliki.
Pada usianya yang ke 21 tahun, Ibnu Batutah menunaikan rukun iman kelima, dan sejak perjalananya menuju ke Baitullah, rupanya telah membawanya berpetualang dan menjelajahi dunia.
Ia mengarungi samudera dan menjelajah daratan demi sebuah tujuan mulia yang bernama “ilmu”. Sampai kemudian Ia melanjutkan perjalanannya hingga melintasi sekitar 44 negara selama 30 tahun.
lebih detail tentang kehidupan Ibnu Batutah tercatat secara lengkpa dalam tulisannya yang berjudul Rihlah, dan catatan itu menjadi salah satu buku legendaris yang mengisahkan perjalanan seorang petualang agung itu pada 1325 hingga 1354 M.
Sejatinya, Rihlah bukanlah judul buku, tetapi hanya menggambarkan sebuah genre (gaya sastra). Judul asli dari buku yang ditulis Ibnu Batutah itu adalah Tuhfat al-Nuzzhar fi Ghara’ib al-Amshar wa ’Aja’ib al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan) ditulis oleh Ibnu Juzay, juru tulis Sultan Maroko, Abu ‘Inan. Karya ini telah menjadi perhatian berbagai kalangan di Eropa sejak diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Perancis, Inggris dan Jerman.
Buku itu disusun menjadi sebuah perjalanan dunia yang mengagumkan dengan mengaitkan berbagai peristiwa, waktu pengembaraan serta catatan-catatan penting yang berisi berita dan peristiwa yang dialami Ibnu Batutah selama pengembaraanya.
Dalam karyanya tersebut, Ibnu Batutah tidak mengumpulkan rujukan atau bahan-bahan dalam menunjang tulisannya hanya mengisahkan pengalaman atau sejarah empiris negara atau kota-kota yang pernah disinggahinya terutama yang menyangkut kultur setempat. Namun pencapaian Ibnu Batutah yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika, termasuk Maroko.
Kisah Petualangan Ibnu Batutah
Ibnu Batutah terisnpirasi dari salah satu hadis Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Carilah ilmu sampai ke negeri Cina”. Dari hadist tersebutlah, Ibnu Batutah pun melakukan perjalanan untuk mencari pengalaman dan ilmu, sehingga membentuk konsep Al-Rihlah fi talab al-‘ilmi (Perjalanan Menuntut Ilmu).
Ibnu Batutah menghabiskan hidupnya hingga 30 tahun dalam petualangan dari satu negara ke negara lain. Hampir seluruh penjuru dunia telah ia jelajahi, mulai dari Afrika Utara hingga Timur Tengah, dari Persia hingga India dan hingga ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan India. Kemudian berlanjut ke timur laut ke daratan Cina dan barat ke Spanyol.
Dia melakukan petualangan antara musim haji dan musim berikutnya. Ia menjadikan Makkah Al Mukaromah sebagai titik awal pelayaran dan tempat kembalinya berlabuh. Sungguh petualangan yang penuh dengan peristiwa sejarah penting, penuh makna dan kebijaksanaan.
Petualangan pertamanya dimulai ketika ia melakukan ziarah pertamanya, tepatnya pada tanggal 14 Juni 1325. Dengan sidang-sidang lain dari Tangier, ia melakukan perjalanan melalui atmosfer Laut Mediterania yang gersang menuju panas teriknya tanah berpasir di Afrika Utara. Semuanya dilakukan hanya dengan berjalan kaki.
Dalam pergaulannya dengan banyak orang, Ibnu Batutah selalu berusaha meningkatkan kualitas silaturahim dengan cara mendekati orang-orang yang bisa diajak bermudzakarah dan berbagi ilmu dan pengalamannya.
Ia sangat terinspirasi dengan hadits Nabi Saw.,“Perumpamaan teman yang saleh dan teman yang jahat adalah seperti orang yang membawa minyak misik (harum) dan orang yang meniup bara api pandai besi. Orang yang membawa minyak misik mungkin akan memberikannya kepadamu, atau engkau akan membelinya atau engkau merasakan bau harum daripadanya. Adapun peniup bara api pandai besi, mungkin akan membakar pakaianmu, atau engkau akan merasakan bau yang busuk daripadanya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Tempat-tempat yang dikunjunginya dikisahkan secara lengkap dengan bahasa yang indah, sehingga siapapun yang membaca atau mendengarkan karya Ibnu Batutah memiliki keinginan untuk mengunjunginya. Keinginannya yang kuat untuk mengunjungi daerah-daerah Muslim pada saat itu membawanya merantau.
Perjalanannya ke Mekah melalui jalan darat, menyusuri pantai Afrika Utara hingga mencapai Kairo. Saat ini, dia masih berada di wilayah Mamluk yang relatif aman.
Ada tiga rute yang umum digunakan ke Mekah, dan Ibnu Batutah memilih rute yang jarang dilalui: pelayaran ke Sungai Nil, diikuti dengan rute jalan kaki ke timur ke dermaga Laut Merah di ‘Aydhad. Namun, saat dia mendekati kota, dia terpaksa kembali dengan dalih perselisihan lokal.
Sekembalinya ke Kairo, ia mengambil jalur kedua, menuju Damaskus (saat itu dikuasai oleh Mamluk), dengan mengutip informasi/rekomendasi dari seseorang yang ia temui pada perjalanan pertamanya, bahwa ia hanya akan ke Mekah ia pergi melalui Suriah.
Keuntungan lain menggunakan rute komuter adalah bahwa situs-situs suci terletak di sepanjang rute- seperti Hebron, Yerusalem, dan Betlehem – dan penguasa Mamluk memberikan perhatian khusus pada keselamatan ziarah rakyatnya.
Setelah menghabiskan bulan Ramadhan di Damaskus, Ibnu Batutah bergabung dengan kelompok yang melakukan perjalanan 800 mil dari Damaskus ke Madinah, di mana Muhammad dimakamkan. Empat hari kemudian, ia melanjutkan perjalanannya ke Makkah.
Setelah melakukan serangkaian ritual haji, menurut perenungannya, ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya, tujuan selanjutnya adalah Il-Khanate (sekarang Irak dan Iran).
Bergabung dengan salah satu rombongan, membuat Ibnu Batutah bisa melintasi perbatasan ke Mesopotamia dan mengunjungi Najaf, di mana Khalifah keempat Ali dimakamkan. Dari sana, ia melanjutkan ke Basra, lalu Isfahan, di mana ia hanya tinggal beberapa dekade lagi untuk dihancurkan oleh Timur. Lalu ada Shiraz dan Bagdad (Baghdad baru-baru ini diserang berat oleh Hulagu Khan).
Di sana ia bertemu Abu Sa’id, pemimpin terakhir Il-Khanate. Ibnu Batutah mengembara dengan partai yang berkuasa untuk sementara waktu, lalu menuju utara ke Tabriz di Jalur Sutra. Kota ini merupakan pintu gerbang ke bangsa Mongol dan merupakan pusat komersial yang penting.
Setelah perjalanan ini, Ibnu Batutah kembali ke Mekah untuk ziarah kedua, dan tinggal di sana selama setahun sebelum memulai petualangan kedua melintasi Laut Merah dan pantai Afrika Timur. Pelabuhan panggilan pertamanya adalah Aden, untuk tujuan perdagangan dengan Jazirah Arab dari Samudera Indonesia. Tapi sebelum itu, dia memutuskan untuk memulai satu petualangan terakhir dan bersiap untuk perjalanan di sepanjang pantai Afrika.
Menghabiskan sekitar satu minggu di masing-masing tujuannya, Ibnu Batutah mengunjungi Ethiopia, Mogadishu, Mombasa, Zanzibar, Kilwa dan beberapa lainnya. Setelah perubahan arah mata angin, dia dan kapalnya kembali ke Arabia selatan. Setelah menyelesaikan petualangannya, sebelum menetap, ia mengunjungi Oman dan Selat Hormuz. Kemudian dia menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
Setelah setahun di sana, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di Kesultanan Delhi. Untuk alasan linguistik, ia mencari seorang penerjemah di Anatolia. Kemudian, di bawah kendali Turki Seljuk, ia bergabung dengan tentara di India.Sebuah perjalanan laut dari Damaskus membawanya ke Alanya, di pantai selatan Turki saat ini.
Dari sana, Ibnu Batutah berkelana ke Konya dan Sinope di pantai Laut Hitam. Setelah menyeberangi Laut Hitam, ia mencapai Kaffa, Krimea dan memasuki tanah Gerombolan Emas. Dari sana, ia membeli kereta dan bergabung dengan kelompok Ozbeg, Khan dari Golden Horde, dalam perjalanan ke Astrakhan di Sungai Volga.
Baca Juga: Biografi Abu Musa Jabir Ibnu Hayyan 721-815 M, Tokoh Kimia Islam Klasik
Ibnu Batutah di Samudera Pasai (Aceh)
Petualangan dan perjalanan panjang Ibnu Batutah membuatnya terdampar di Samudra Pasay (sekarang Aceh). Antara abad ke-13 dan ke-15 M, yang merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara dan terleetak di pantai utara Aceh memiliki raja pertamanya, Sultan Sultan Malikussalih(W 1297) dan sultan (pemimpin) pertama di negara itu. Ia menginjakkan kaki di Aceh pada tahun 1345. Pelancong itu diketahui tinggal di serambi Mekah selama 15 hari.
Ibnu Batutah mengatakan dalam catatan perjalanan lautnya di Cina bahwa ia pernah singgah di daerah Pasay. Ibnu Batutah menggambarkan Laut Pasay dengan begitu indah dalam catatan perjalanannya. “Ruang hijau dengan kota pelabuhan besar yang indah,” ucap sang pengembara bergumam kagum. Kedatangan penjelajah terkenal Maroko itu disambut hangat oleh para ulama dan pejabat di Samudra Pasai.
Kedatangan Ibnu Batutah atas perintah Amir (panglima) Daulasa, Qadi Syarif Amir Sayyir Al-Syirazi, Tajuddin Al-Asbahani dan Sultan Mahmoud Malik Zahir (1326-1345) Selamat datang di beberapa ahli Fiqih. Menurut pengamatan Ibnu Batutah, Sultan Mahmood adalah pengikut sekte Syafi’i, dan dia aktif menyelenggarakan pengajian tentang Islam.
Penjelajah terkenal dari Maghreb (nama Maroko dalam bahasa Arab) sangat mengagumi Sultan Mahmoud Malik Zahir, penguasa Samudra Pasay saat itu. ”Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya sangat rendah hati dan sederhana. Bahkan ketika Ia berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,” kisah Ibnu Batutah.
Ia juga melihat Samudera Pasai saat itu menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Menurut Ibnu Batutah, penguasa Samudera Pasai itu memiliki ghirah (semangat) belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama.
Dia juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun di lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan. Selama berpetualang mengelilingi dunia dan menjejakkan kakinya di 44 negara, dalam kitabnya yang berjudul Tuhfat al-Nazhar itu, Ibnu Batutah menuturkan telah bertemu dengan tujuh raja yang memiliki kelebihan yang luar biasa.
Ketujuh raja yang dikagumi Ibnu Batutah itu antara lain; raja Iraq yang dinilainya berbudi bahasa, raja Hindustani yang disebutnya sangat ramah, raja Yaman yang dianggapnya berakhlak mulia, raja Turki dikaguminya karena gagah perkasa, raja Romawi yang sangat pemaaf, raja Melayu Malik Al-Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, serta raja Turkistan.
Ibnu Batutah mengakui pedalaman Sumatra yang kala itu masih dihuni masyarakat non-Muslim. Di situ juga Ia menyaksikan beberapa perilaku masyarakat yang mengerikan, seperti bunuh diri massal yang dilakukan hamba ketika pemimpinnya mati.
Setelah dua minggu merantau di Pasayyang, akhirnya Ibnu Batutah melanjutkan perjalanannya ke Negeri Tirai Bambu China. Catatan perjalanan Ibnu Batutah menggambarkan peradaban yang tumbuh dan berkembang di Nusantara selama Abad Pertengahan.
Berkat petualangan singkat Ibnu Batutah, masyarakat Indonesia kini dikenal masyarakat Maroko sebagai masyarakat yang ramah, santun, toleran yang mencintai Islam sebagai agama moderat. Cendekiawan Maroko juga mengakui bahwa “moralitas umat Islam Indonesia sangat terpuji dan mereka memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap agama,” kata Dr Idris Hanafi, dosen ahli hadis, dalam pidato tentang studi Islam beberapa waktu lalu. Universitas. Imam Nafi, Tangier – Maroko.
Begitu pula orang Maroko yang dikenal dengan sikapnya yang sangat ramah, menghormati tamunya, secara kodrat mereka menganggap dirinya benar-benar seperti raja. Hal ini tentunya menjadi ciri khas Maroko dan merupakan aplikasi dari hadits Nabi Muhammad SAW. yang berisi tentang berikut;
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tamunya, yaitu jaizahnya.” Para sahabat bertanya: “Apakah jaizahnya tamu itu, ya Rasulullah?” Beliau SAW. bersabda: “Yaitu pada siang hari dan malamnya. Menjamu tamu yang disunnahkan secara muakkad atau sungguh-sungguh ialah selama tiga hari. Apabila lebih dari waktu sekian lamanya itu, maka hal itu adalah sebagai sedekah padanya.” (Muttafaqun ‘Alaih).