Surau.co – Berbicara sejarah dan pemikiran Hamzah Fansuri, maka kita tidak bisa lepas dari tumbuh kembangnya Islam di Nusantara, salah satu tokoh yang diperkirakan hidup sekitat abad ke-16 awal sampai abad ke-17, atau sekitar tahun 1600-an.
Pada abad ke-16 itu, corak corak pemikiran Islam yang berbau tasawuf itu dilatar belakangi oleh aliran falsafi yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri.
Begitu juga pada abad ke-17, ada Syamsuddin Sumatrani (1575-1630) yang juga menjadi bagian dari tumbuh kembangnya peradaban keislaman Nusantara yang berbau tasawuf falsafi. Berdasarkan catatan sejarah, keduanya hidup dalam satu zaman yang kemudian diperintah oleh Sultan Alauddin Ri’ayat (1588-1604).
Namun artikel ini tidak kan membahas kedua tokoh tersebut, melainkan akan lebih fokus pada Hamzah Fansuri yang hidupnya lebih awal dari Syamsuddin.
Riwayat Hidup Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri atau Syekh Hamzah al-Fansuri adalah seorang ulama terkemuka, selain itu ia juga disebut sebagai ulama tasawuf dan budayawan yang hidup antara abad 16 dan awal abad 17.
Gelar atau takhallus yang tertulis di belakang nama depannya menunjukkan bahwa pendekar puisi dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur, adalah sebutan bagi nama Arab untuk Barus, saat ini merupakan kota kecil di pesisir barat Sumatera, terletak di antara kota Sibolga dan Singkel.
Sampai abad ke-16, kota ini merupakan pelabuhan perdagangan penting yang dikunjungi oleh para pedagang dan pelancong dari negeri-negeri yang jauh.
Sayangnya, hingga saat ini, belum ditemukan bukti tertulis mengenai tanggal pasti kelahiran dan kematian Syekh Hamzah al-Fansuri, tempat lahir dan tempat pemakaman jenazahnya.
Tapi dari syair dan dari namanya sendiri, sepertinya dia sudah lama hdiup di Fansur, dekat Singkel, sehingga mereka dan keturunannya layak disebut Fansur.
Para ahli cenderung memahami dari puisi-puisinya bahwa Hamzah Fansuri lahir di tanah Syahmawi, tetapi tidak ada kesepakatan di antara mereka untuk mendefinisikan negeri Syahmawi, ada indikasi negerinya sendiri, Aceh, ada yang menyebut negeri Siam, dan bahkan ada ulama yang menyebut tanah Persia sebagai tanah Aceh Syamawi.
Dalam buku, “Hamzah Fansuri Penyair Aceh”, Prof. A. Hasymi menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri hidup pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Ri’ayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045H-1607-1636 M).
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Hamzah Fansuri mempelajari berbagai ilmu, meliputi ilmu Fiqih, Tasawuf, Filsafat, Mantiq, Sejarah, Sastra dan lain sebagainya, sehingga memakan waktu cukup lama.
Selain belajar di Aceh, ia melakukan perjalanan ke berbagai tempat termasuk Banten (Jawa Barat), bahkan sumber lain menyebutkan bahwa ia melakukan perjalanan ke seluruh Jawa, Semenanjung Malaysia, India, Persia dan di Arab.
Alhasil, Hamzah Fansuri dikatakan sangat mahir dalam berbagai ilmu yang ia pelajari, bahkan dalam bidang bahasa, ia fasih dalam seluruh bidang keilmuan bahasa Arab, dapat berbahasa Urdu, Persia, Melayu, dan Jawa.
Pemikiran & Pengaruh Hamzah Fansuri
Banyak cendekiawan Islam di Indonesia yang terkenal dengan karya-karyanya yang telah menyebar ke berbagai belahan dunia Islam. Ulama Indonesia yang disebut sebagai penulis antara lain Nuruddin Ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdurrauf Singkel dan Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari.
Di bidang ilmu pengetahuan, Syekh Hamzah al-Fansuri mempelajari penulisan tasawuf atau risalah keagamaan yang sistematis dan ilmiah. Sebelum menerbitkan karya-karyanya Hamzah Fansuri terlebih dulu mendiskusikan dengan komunitas Muslim Melayu mempelajari masalah agama, tasawuf dan sastra melalui buku-buku yang ditulis dalam bahasa Arab atau Persia.
Di bidang sastra, Hamzah Fansuri juga mempelopori penciptaan puisi filosofis dan mistis dengan pengaruh Islam, kedalaman konten dalam puisinya sulit untuk dibandingkan dengan penyair kontemporer atau yang setelahnya.
Para penulis Melayu abad ke-17 dan ke-18 sebagian besar berada di bawah bayang-bayang kejeniusan dan keunggulan Hamzah Fansuri. Di bidang sastra, Syeikh Hamzah al-Fansuri adalah orang pertama yang memperkenalkan syair, puisi empat baris dengan rima akhir a-a-a-a-syair sebagai bentuk ekspresi sastra seperti pantun yang populer dan dicintai pengarangnya hingga abad-ke-20.
Dalam bidang linguistik, kontribusi Hamzah Fansuri sulit disangkal. Pertama, sebagai penulis pertama buku-buku ilmiah berbahasa Melayu, Syeikh Hamzah al-Fansuri berhasil mengangkat harkat dan martabat bahasa Melayu dari sekedar bahasa menjadi bahasa intelektual, kearifan dan ekspresi ilmiah yang canggih dan modern.
Dengan demikian kedudukan bahasa Melayu dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra menjadi sangat penting dan telah mengungguli bahasa-bahasa nusantara lainnya, termasuk bahasa Jawa yang sebelumnya jauh lebih berkembang.
Kedua, jika kita membaca puisi dan risalah tasawuf karya Hamzah Fansuri, kita akan melihat jasa-jasa Syeikh Hamzah al-Fansuri dalam Islamisasi bahasa Melayu dan juga Islamisasi bahasa, sebagaiman pemikiran dan budaya yang berkembang pada saat itu.
Dalam bidang filsafat, ilmu hermeneutika, dan kajian sastra, Hamzah Fansuri juga mempelopori penerapan ilmu tenung atau hermeneutika spiritual, keahlian Syekh Hamzah al- Fansuri dalam bidang hermeneutika, (rahasia pencerahan), sebuah risalah klasik tasawuf dengan bobot terbesar yang pernah diberikan oleh para sufi nusantara.
Dalam hal ini, Hamzah Fansuri mengeluarkan interpretasi puitis dan ramalannya sendiri, dengan analisis yang tajam dan dengan dasar yang luas, pengetahuan meliputi metafisika, teologi, logika, epistemologi, dan estetika.
Asrar bukan hanya salah satu risalah tasawuf paling orisinal yang pernah ditulis oleh Hamzah Fansuri dalam bahasa Melayu, tetapi juga merupakan kitab agama klasik dengan bahasa yang paling jelas dan paling baik dalam memasukkan takwil ke dalam puisinya sendiri. Syekh Hamzah al-Fansuri telah berhasil menyusun risalah tasawuf yang memuat dan mendefinisikan cakrawala masalah.
Simaklah syair Hamzah Fansuri yang ditulis beliau berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 1:
“Sidang Faqir empunya kata,
Tuhanmu Zahir terlalu nyata.
Jika sungguh engkau bermata,
lihatlah dirimu rata-rata”.
Bagi Hamzah Fansuri, kehadiran Tuhan itu sangat nyata (Zahir). Jadi, seorang sufi, juga dikenal sebagai Faqir, adalah orang yang telah melepaskan keterikatannya pada segala sesuatu di luar dirinya dan memulai perjalanan spiritualnya dengan “melihat” atau mengenal dirinya sendiri setiap saat.
Selanjutnya, Syekh Hamzah Fansuri menunjukkan bahwa untuk mengetahui diri sejati, seorang Sufi harus memulai dengan metode perenungan tertentu, praktik tertentu.
Suatu metode atau praktik yang sebenarnya juga banyak digunakan oleh aliran-aliran mistik atau spiritual di berbagai belahan dunia, yang lebih dikenal dengan meditasi.
Sampai saat ini, konsep meditasi atau kontemplasi sering disalahartikan sebagai latihan pernapasan sederhana, atau dzikir, atau pengucapan mantra.
Tetapi Syeikh Hamzah Fansuri menjelaskan dengan tepat esensi dari tafakur atau meditasi atau latihan sufi di dalam syair berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 9:
“Hapuskan akal dan rasamu,
lenyapkan badan dan nyawamu.
Pejamkan hendak kedua matamu,
di sana kaulihat permai rupamu”.
Baca Juga: Biografi Fariduddin Attar 1119 M / 523 H, Dan Musyawarah Burung-Burung
Hamzah Fansuri mengatakan dengan sangat jelas bahwa setiap perenungan atau metode dari setiap praktik Sufi harus dimulai dengan “melepaskan pikiran dan emosi Anda”, yang berarti cara untuk mencapai keadaan “Tanpa Pikiran”, keadaan berada dalam Kesadaran Murni atau Kesadaran.
Untuk mencapai keadaan “Mindless”, seorang sufi harus “melepaskan tubuh dan jiwanya”, yang berarti melepaskan keterikatan pada tubuh dan berbagai pikiran atau keinginan (hidup).
Kemudian Sufi menutup kedua indranya, untuk mengaktifkan “mata spiritualnya”, untuk melihat Diri Sejatinya muncul, selalu dalam keadaan indah, keadaan “kebahagiaan abadi”. Menurut Hamzah Fansuri, inilah hakikat kontemplasi atau meditasi.
Pada dasarnya, menurut Hamzah, memahami Tuhan itu mudah, hanya butuh kepasrahan dan keberanian karena “Zahir sayang begitu cerah / Di kedua alam dunia nyata terbuka”. Jadi puncak pemahaman Hamzah tentang tasawuf adalah bahwa sifat Tuhan itu dekat dan menyatu, hanya saja manusia tidak menyadarinya.
Dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan abad ke-17 dan 18, Azumardi Azra menyebutkan bahwa Hamzah al-Fansuri memahami Wujudiyah, berbeda dengan Ar-Raniri yang menekankan Syariah dan dianggap sebagai pelopor gerakan Islam atau neo-Sufisme.
Pemahamannya ditentang oleh Syekh Nuruddin ar-Raniri. Dan untuk menghapus pemahaman wujudiyah ini, buku-buku yang memuat pemahaman wujudiyah, seperti karya Hamzah Fansuri, bahkan dibakar di depan Masjid Baiturrahman di Aceh.
Baca Juga:
Karya-karya Hamzah Fansuri
Syair-syair Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku yang terkenal, dalam kesusasteraan Melayu / Indonesia antara lain:
a. Syair burung pingai
b. Syair dagang
c. Syair pungguk
d. Syair sidang faqir
e. Syair ikan tongkol
f. Syair perahu
Karangan-karangan Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah antara lain :
a. Asfarul ‘arifin fi bayaani ‘ilmis suluki wa tauhid
b. Syarbul ‘asyiqiin
c. Al-Muhtadi
d. Ruba’i Hamzah al-Fansuri
Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri baik dalam bentuk puisi maupun prosa telah menarik perhatian banyak para cendekiawan muslim, baik dari Barat dan Orientalis Barat maupun cendekiawan pribumi.
Yang banyak bicara tentang Hamzah Fansuri termasuk GS. Syed Muhammad Naquib dengan beberapa bukunya tentang tokoh sufi ini, tak lepas dari selera GS. A. Teeuw juga r.O Winstedt, yang mengakui bahwa Syekh Hamzah Fansuri memiliki semangat luar biasa yang tidak dimiliki orang lain.
Dua orang, J. Doorenbos dan Syed Muhammad Naquib al-Attas, mendalami biografi Sheikh Hamzah Fansuri masing-masing untuk memperoleh gelar doktor dari Leiden University dan University College London. Karya Profesor Muhammad Naquib tentang sang ulama sufi itu di antaranya:
- The Misticim of Hamzah Fansuri (disertat 1966), Universitas of Malaya Press 1970
- Raniri and The Wujudiyah, IMBRAS, 1966
- New Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967
- The Origin of Malay Shair, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968
Menurut beberapa pengamat sastra sufi, sajak-sajak Syaikh Hamzah al-Fansuri tergolong dalam Syi’r al- Kasyaf wa al-Ilham, yaitu puisi yang berdasarkan ilham dan ketersingkapan (kasyafi yang umumnya membicarakan masalah cinta Ilahi).
Beberapa Karaya Hamzah Fansuri tentang panteisme terinspirasi oleh para ulama sebelumnya, yang ditengarai oleh para ulama abad pertengahan.
Dalam hal ini, Ia dipengaruhi oleh ajaran Ibnu Arabi tentang Wahdat al-Wujud yang pada waktu itu populer di Persia dan India pada abad 16.
Diketahui bahwa dalam kitab tersebut ingin menunjukkan bahwa Fansuri menganggap Tuhan sebagai iman dalam segala hal. Pandangan ini juga disebarkan oleh seorang teolog Aceh, Syamsuddin al-Sumatrani.
Namun demikian, pandangan Fansuri itu dianggap keliru oleh Nuruddin ar-Raniri, yang merupakan seorang ulama dari Kesultanan Aceh.
Sebab bagi Raniri, pandangan Fansuri tidak sesuai dengan keyakinan Islam. Raniri kemudian melakukan perjalanan ke Aceh. Ia berusaha menghapus karya dan nama Fansuri dari daftar nama ulama yang berpengaruh di sana.
Raniri pun kemudian membakar semua karya Hamzah Fansuri, hal itu terjadi setelah Fansuri wafat yang diperkirakan meninggal sebelum atau pada 1016/1017.
Kematian Hamzah Fansuri
Berabad-abad lamanya, Hamzah Fansuri tiada, tetapi namanya masih melekat hingga hari ini. Selain disebut sebagai pujangga pertama Indonesia oleh A. Teeuw, Hamzah Fansuri juga meninggalkan ajaran tasawuf dan menyebarkannya ke berbagai daerah. Karena ajaran tasawufnya terhadap tarekat wahdatul wujud, kehidupan Fansuri juga agak berliku-liku.
Jadi, seperti kisah hidupnya yang “kontroversial”, kematiannya dibumbui dengan argumen yang sama menariknya. Karena itu, ketika ditanya di mana makam Hamzah Fansuri berada, sejumlah komentar menyertainya.
Perjanjian Lama menyatakan bahwa makamnya terletak di desa Oboh, kecamatan Runding, kota Subulussalam, sekitar 14 km dari kota Subulussalam, Aceh Selatan, yang berbatasan langsung dengan Bupati Sidikalang, di Sumatera Utara, sekitar tujuh kilometer dari Medan jam perjalanan .
Makam itu berada di Desa Ujung Pancu, Kecamatan Pekan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Namun, menurut cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi, Syekh Hamzah Al Fansuri tinggal di kedua tempat itu dan kematiannya juga terjadi di kedua tempat tersebut.
Kuburan lain, diyakini berada di Langkawi, Malaysia. Pengumuman terbaru menyebutkan makam Hamzah Fansuri terletak di Makkah. Namun, dari berbagai pendapat mengenai lokasi makam Syekh yang terkenal itu, diyakini berada di Desa Oboh yang juga dikenal sebagai makam Mbah Oboh.
Sebab, meski tidak ada satupun yang memiliki bukti kuat berupa dokumen sejarah, dari sejarah para “sesepuh”, makam desa Oboh akan lebih diakui oleh pemerintah, dengan ijazah.
Penyair dan pakar tasawuf Aceh abad ke-17 Selasa lalu (13 Agustus 2013) menerima bintang budaya Parama Dharma yang diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada upacara penobatan, bintang Maha Putera, dan penghargaan atas jasa di Istana Negara.
Selanjutnya, menurut penjaga makam sebelumnya, Abdullah (66 tahun), nenek moyangnya yang juga penjaga makam tidak mengetahui banyak tentang sejarah Mbah Oboh.
Selain dikenal sebagai ahli fiqh dan suluk Barus dan pernah bekerja di Keraton Aceh, Abdullah dan orang-orang di sekitar makam hanya tahu satu legenda tentang Mbah Oboh. “Kenapa dia memilih untuk dimakamkan di sini, karena ketika dia menanam kotak makan, dia juga memanen kotak makan.
Ketika dia di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), ketika” Dia menanam kotak makan siang, kotak makan siang, dia menuai ratusan kotak . Ini tanah kejujuran, tutupnya,” ujarnya.
Makamnya di desa Obama hanya berupa gundukan tanah yang dilapisi kerikil dan ditutupi kain putih, beberapa di antaranya tampak kusam dari bumi.
Kain putih dipadukan dengan kain biru yang berisi kaligrafi nama Allah. Gundukan tersebut merupakan makam Syekh Hamzah Fansuri, salah satu ulama legendaris Aceh.
Makam terpelihara dengan baik di sebuah bangunan kecil, sebuah sungai mengalir tidak jauh di sebelah kiri makam. Di tempat ini tidak hanya Syekh Hamzah Fansuri yang dimakamkan.
Di sekelilingnya ada tiga kuburan lainnya, kuburan teman Fansuri dan ayah mertuanya. Ada suasana yang tenang di tempat ini. Dari waktu ke waktu, angin bertiup di antara pohon-pohon palem di sekitar makam. “Saya tidak tahu makam Syekh Hamzah Fansuri juga ada di sini. Soalnya waktu saya ke Langkawi, Malaysia ada di sana,” Ujarnya.
Itu dia sekilas biografi Hamzah Fansuri yang merupakan ulama sufi asal Aceh, yang karya dan pemikirannya sedikit banyak telah mewarnai perkembangan ilmu pengetahun khusunya dalam dunia Islam.
Hamzah Fansuri seringkali disebut sebagai ulama sufi terkemuka di Nusantara ini, karena pemikiran tasawufnya yang termuat di berbagai karyanya sedikit banyak telah menginspirasi dan mampu mempengaruhi para pemikir berikutnya.
Karya-karyanya tidak hanya diakui oleh penduduk peribumi saja, melainkan juga di dunia barat maupun di Timur. Semoga kita bisa menujadi pribadi penerus keilmuan dan semangatnya untuk selalu memperjuankan keilmuan.