Surau.co – Ashim bin Tsabit bin Aqlah adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang tidak absen dalam peristiwa Badar dan Uhud. Dalam setiap peperangan yang dilakukan di jalan Allah, ‘Ashim bin Tsabit selalu berhasil menebas kepala setiap kaum musyrik yang memusuhi Islam saat itu. Keberanian dan kegagahannya di medan perang pun didengar oleh banyak musuh. Tidak terkecuali dalam pertempuran perang Uhud. Rasululullah SAW pernah memujinya, menyeru para sahabat untuk mengikuti cara berperang ‘Ashim.
Rasulullah SAW berkata, “Bagaimana caramu berperang Wahai ‘Ashim?” ‘Ashim memeragakan busur anak panah yang ada di tangannya.” Jika musuh di hadapanku 100 hasta kupanah dia, jika musuh mendekat dalam jarak tikaman lembing, aku bertanding hingga lembingku sampai patah, jika lembingku patah, kuhunus pedangku lalu aku pakai pedang” ia ahli dalam panah dan bermain pedang.
Pada bulan Syawal tahun ke-3 Hijriyah, terjadi perang Uhud. Ia berhasil membunuh tiga laki-laki sekaligus (Musafi’, Kilab, Jallas). Ketiganya adalah putra salah seorang pemuka Quraisy, Thalhah bin Abi Thalhah dan Sulafah binti Sa’ad bin Suhaid, keluarga tersebut dalam bagian pasukan Quraisy di perang Uhud.
Perang Uhud tersebut berakhir dengan kemenangan di tangan orang kafir Quraisy. Mereka berlompatan kegirangan berhasil menuntut balas terhadap Kaum Muslimin pada peristiwa satu tahun sebelumnya (Perang Badar) dimana banyak tokoh-tokoh mereka yang terbunuh. Dalam peristiwa Uhud tak sedikit kaum muslimin yang gugur, orang-orang kafir Quraisy beramai-ramai menendang, mencincang, merusak mayat-mayat kaum muslimin. Ada yang dibelah perutnya, dipotong hidung dan telinganya dijadikan kalung.
Sulafah binti Sa’d berdiri di tepian medan Uhud dengan harap cemas. Ia menunggu anak-anak dan suaminya yang tidak kunjung nampak. Meski perang telah usai dan kemenangan pun telah diraih, dengan gundah hati ia masuk ke medan pertempuran dan mengamati satu per satu mayat yang bergelimpangan.
Sulafah histeris tatkala memandang mayat pertama yang dilihatnya adalah suaminya. Tak jauh dari situ, jasad dua anaknya pun dilihatnya terbujur kaku dipenuhi luka. Sulafah kembali melihat sekeliling, didapatinya suara rintihan anaknya yang lain. Dengan segera ia mendekat dan membaringkan kepala anaknya yang sekarat di pahanya.
Dengan dada bergemuruh penuh rasa dendam, ia bertanya, “Siapakah yang membunuh ayah dan saudara-saudaramu, Nak?”
“’Ashim bin Tsabit, wahai Ibu…” jawab si anak sebelum nafasnya berakhir.
Air mata Sulafah berlinang, dadanya dipenuhi dengan dendam dan kebencian. Ia bersumpah tidak akan menghapus air matanya sebelum para pemimpin Quraisy membantunya mendapatkan kepala ‘Ashim bin Tsabit. Untuk mewujudkan dendamnya ia membuat sayembara menjanjiakan 100 ekor unta kepada siapapun yang berhasil membawakan batok kepala ‘Ashim bin Tsabit kepadanya.
Sufyan bin Khalid, salah seorang lelaki Quraisy tergiur dengan iming-iming yang ditawarkan tersebut, ia pun akhirnya mengatur strategi dan rencana, kemudian ditemuilah beberapa orang dari suku Adhal dan Qarah, agar pura-pura masuk islam pergi ke Madinah untuk menemui Rasulullah.
Benar saja, di tahun 4 H beberapa orang yang berasal dari suku Adhal dan Qarah datang ke Madinah guna untuk menemui Rasulullah, meminta kepada beliau agar mengirim beberapa sahabat untuk mengajarkan Islam kekampung mereka, salah seorang yang diminta adalah Ashim bin Tsabit.
Rasulullah tak menaruh curiga, beliau mengabulkan permintaan mereka, dikirimlah 6 orang sahabat. Kemudian ‘Ashim bin Tsabit memimpin rombongan yang diutus Rasulullah SAW atas permintaan kabilah Adal dan Al Qarah untuk menjadi guru agama yang mengajarkan tentang Islam di dua kabilah ini. Berangkatlah Ashim bersama lima sahabat lainnya. Di tengah perjalanan sebelum sampai di kabilah yang dimaksud mereka dihadang seratus pasukan siap tempur. Ternyata mereka bukan diminta untuk jadi guru agama tapi untuk dibunuh secara kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Para utusan yang datang menjemput hanya bersandiwara meminta dikirimkan guru agama. Mereka menipu Rasulullah SAW, mereka sebenarnya menginginkan kedudukan dan harta ditengah-tengah kaum kafir Quraisy di Makkah. Melihat pengkhianatan dan kondisi yang tidak seimbang, ‘Ashim dan para sahabat berlari ke bukit untuk berlindung. Pemimpin pasukan yang menghadang menawarkan kepada mereka untuk mengalah dan tunduk serta akan diberikan jaminan keselamatan, tapi ‘Ashim tidak mau tunduk kepada mereka. Dia tidak mau mengalah kepada pengkhianatan. Lebih baik mati daripada membiarkan diri terhina di bawah bayang-bayang orang-orang kafir pengkhianat.
“Menyerahlah! Kami tidak akan menyakiti kalian jika kalian menyerahkan diri!” kata mereka.
“Sungguh kami tidak percaya pada kata-kata kaum musyrik!” jawab ‘Ashim dengan tegas.
‘Ashim bin Tsabit bersikukuh tidak akan mengalah dan berucap kata yang abadi. ‘Ashim mengucapkan kata-kata yang menembus langit dan semua makhluk Allah SWT bergetar mendengarnya. Kata-kata yang mesti dihafal dan dirapal setiap hari oleh mereka yang sangat cinta kepada kekafiran dan lebih memilih berbaur, bergabung berkongsi dan berbangga dengan kaum kafir yang memusuhi Islam.
“Demi Allah saya tidak mau menyentuh dan tidak ingin disentuh oleh orang-orang kafir sedikitpun, selama hayat masih dikandung badan.” Inilah kalimatnya, inilah ucapannya dan Allah mendengarnya dan Allah perkenankan kata-kata ini.
Pertarungan pun tidak dapat dielakkan. ‘Ashim terus melawan hingga busur panahnya habis. Dia bertahan hingga tombaknya pun patah dan akhirnya tidak tersisa senjata melainkan pedang di tangan lalu dia pun berdoa.
“Ya Allah, aku menjaga agama-Mu dan berperang karena-Mu. Maka lindungilah tulang dan dagingku, jangan biarkan seorang musuh pun dapat menjamahnya.”
Akhirnya utusan Rasulullah SAW yang ketika itu hanya berjumlah 10 orang tidak mampu menghalau bani Hudzail yang hampir 100 orang jumlahnya. Hanya tiga orang yang tersisa dan menjadi tawanan. Selebihnya tewas, termasuk ‘Ashim bin Tsabit.
Berita kematian ‘Ashim pun menyebar cepat. Para pemimpin kaum Quraisy di kota Makkah segera mengirim utusan kepada bani Hudzail agar menyerahkan mayat ‘Ashim untuk kemudian mereka bisa memenggalnya. Mereka membawa uang dalam jumlah yang banyak sebagai imbalan dari Sulafah yang bermimpi segera menjadikan batok kepala ‘Ashim sebagai tempat minum khamr.
Bersama pasukannya, mereka pun kembali ke tempat terbunuhnya para utusan Rasulullah SAW. Mereka mendekati mayat ‘Ashim dengan pedang terhunus. Namun, mereka mendadak terjengkang melihat ratusan lebah tiba-tiba mendengung-dengung di sekitar jenazah ‘Ashim. Serangga-serangga itu menyengat , menggigit wajah, tangan, kaki dan bagian tubuh mereka.
“Kita mundur dulu, tunggu sampai malam hari. Lebah-lebah itu pasti sudah pergi,” kata pemimpin bani Hudzail.
Pasukan bani Hudzail pun menunggu hingga hari gelap. Ketika mereka hendak mendekati jenazah ‘Ashim, mendadak langit pun menggelap. Petir dan kilat silih berganti, lalu turun hujan yang sangat deras. Air mengalir dari bukit-bukit hingga memenuhi lembah.
Tatkala hujan berhenti dan langit pun kembali cerah, pasukan bani Hudzail bersorak girang. Mereka ingin segera mencari dan menemukan mayat ‘Ashim, dengan terbayang-bayang harta yang akan ia peroleh dari dibawanya kepala ‘Ashim.
Semua orang dari pasukan bani Hudzail dengan cermat menyisir pohon dan semak-semak tempat terbunuhnya ‘Ashim, namun tidak kunjung ditemukannya mayat ‘Ashim.
Dengan rasa kesal dan marah, bani Hudzail pun pulang tanpa membawa hasil.
Doa ‘Ashim telah dikabulkan oleh Allah SWT, jenazahnya tidak dapat disentuh sedikitpun oleh orang-orang kafir.