
Abbas bin Abdul Muthalib: Kisah Paman yang Disayang Rasulullah SAW
Surau.co - Paman sekaligus sahabat Nabi Muhammad SAW yang patut untuk dijadikan teladan adalah Abbas bin Abdul Muthalib. Abbas bin Abdul Muthalib lahir dari ayah bernama Abdul Muthalib bin Hasyim dan ibu bernama Nutailah binti Janib. Beliau lahir pada 566 masehi dan wafat pada 653 masehi, dimakamkan di Pemakaman al-Baqi, Madinah. Beliau lahir beberapa tahun sebelum Nabi Muhammad SAW lahir dan menjadi saudara termuda dari ayah Nabi Muhammad.
Saat kecil Abbas diasuh langsung oleh paman Rasulullah, Abu Thalib. Sebab usia antara Abbas dan Rasulullah tak terlalu jauh, kedua orang sholeh ini menjadi kawan sepermainan. Mereka tumbuh bersama, bahkan bersahabat karib sejak kecil, memasuki remaja, sampai mereka dewasa. Ada riwayat yang mengatakan pula ketika ingin mencari Nabi Muhammad SAW, orang bisa menanyakannya pada Abbas.
Dikisahkan ketika Abbas masih kecil, dirinya pernah hilang. Si ibu pun bernazar, jika Abbas ditemukan akan dikenakannya kelambu sutra pada Baitullah. Tak selang berapa lama, si anak kecil itu pun ditemukan. Ibu Abbas kemudian menepati nazar tersebut.
Istri Abbas bernama Ummu al-Fadhl Lubbab. Ummu Fadl ini disebut merupakan perempuan kedua setelah Khadijah yang memeluk Islam. Sebab Ummu al-Fadhl mengucapkan syahadat pada hari yang sama ketika Khadijah juga bersyahadat. Abbas dan Ummu al-Fadhl memiliki lima orang putra: Abdullah bin Abbas (mantan gubernur Basrah), Ubaidillah bin Abbas (mantan gubernur Yaman), Al-Fadhl bin Abbas, Qutsam bin Abbas (mantan gubernur Bahrain), dan Mu'bad bin Abbas (mantan gubernur Mekkah).
Nabi Muhammad SAW sangat menyayangi pamannya ini, sangat akrab hingga beliau pernah berkata siapa saja yang menyakiti Abbas bin Abdul Muthalib berarti telah menyakitiku juga. Sebagaimana hati Abbas akrab dengan Rasulullah, hati Rasulullah pun juga akrab dengan Abbas. Abbas pernah menjadi penasihat utama dalam prosesi Baiat Aqabah, proses masuk Islam untuk kaum Anshar di Madinah.
Pada awal-awal perjuangan Nabi Muhammad SAW berdakwah, Abbas sebenarnya belum masuk Islam. Namun Abbas menjadi sosok yang melindungi baginda Rasul dari masyarakat Quraisy yang kafir dan hendak mencelakakan Rasulullah. Namun kemudiah hatinya terketut untuk masuk Islam dan mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Ketika zaman Jahiliyah, Abbas bertugas mengurusi kemakmuran Masjidil Haram. Beliau juga melayani kebutuhan minum para jamaah haji yang beribadah.
Abbas setia mengikuti Rasulullah SAW melakukan hijrah ke Yatsrib bersama Naufal ibn al-Harits. Menurut ahli sejarah, pada suatu hari lelaki yang kerap disapa pula dengan panggilan Abu Fadhl menghadap ke Rasulullah. Dia memohon dengan penuh harap agar dirinya diangkat menjadi sosok yang bisa duduk di pemerintahan.
"Ya Rasulullah SAW, seandainya aku menjadi pejabat pemerintahan bagaimana? Apakah engkau suka?" tanya Abu Fadhl. Permintaan ini cukup beralasan karena dia dikenal sebagai orang yang memiliki pengetahuan luas, berpikiran cerdik, dan kenal dengan lika-liku jiwa orang. Sayangnya, Rasulullah SAW tak ingin menjadikan paman tercintanya itu untuk menjabat sebagai kepala pemerintahan dan membebani pamannya dengan tugas-tugas pemerintahan. Sebab bagi Rasulullah SAW tugas sejati pamannya tersebut lebih mulia.
"Menyelamatkan sebuah jiwa lebih baik wahai pamanku, dibandingkan dengan menghitung-hitung jabatan pemerintahan," sabda Rasulullah. Abu Fadhl pun menerimanya dengan sepenuh hati. Di sisi lain, Ali bin Abi Thalib pun memberikan saran dan berkata pada paman Rasulullah itu saat keinginannya menjadi pejabat pemerintahan ditolak.
"Jika kau tak menjadi pejabat pemerintahan, mintalah menjadi pejabat pemungut sedekah," kata Ali.
Abu Fadhl lalu kembali pada Rasulullah menyampaikan keinginan sebagaimana yang dinasihatkan oleh Ali. Sayang sekali lagi sayang, Rasulullah juga menolak keinginan itu. Rasul tidak ingin pamannya mengurusi "cucian (kotoran) dosa orang". Bahkan Rasul juga tidak memberi kesempatan Abu Fadhl untuk mengurusi hal-hal yang bersifat dunia, tapi lebih menekankan agar pamannya menekuin perkara-perkara ukhrawi. Rasulullah mengetahui yang terbaik untuk pamannya itu.
Baca juga: Mengobarkan Semangat Membela Islam