Surau.co – Sa’id Bin Zaid bin Amru bin Nufail Bin Zaid bin Amru bin Nufail Al Adawi atau biasa dikenal dengan Abu Al-A’war adalah sahabat Quraisy yang lahir di Makkah 22 tahun sebelum Hijriah.
Sejak masa mudanya di masa Jahiliyyah, dia tidak pernah mengikuti kebiasaan orang Quraisy seperti menyembah berhala, berjudi, minum minuman keras, menggoda wanita dan perbuatan tercela lainnya.
Sikap dan pandangan hidup ini jelas diwarisi dari ayahnya, Zaid bin Amru bin Nufail. “Wahai Allah, jika Engkau mengharamkanku dari agama yang lurus ini, janganlah anakku Sa’id diharamkan puladaripadanya.” (Doa Zaid untuk anaknya Sa’id).
Ayah Sa’id Bin Zaid bin Amru bin Nufail, tidak suka dan tidak pernah mau mengikuti ajaran jahiliyah. Dia, yang menerima gelar Hanif, adalah penyelamat seorang gadis kecil yang ingin dibunuh ayahnya saat itu dan mengadopsinya.
Dia juga tidak pernah menyekutukan Allah dan tidak pernah menggunakan apapun untuk menengahi dengan Allah. Dia belajar Yudaisme dan Kristen, tetapi tetap tidak puas, sampai dia bertemu dengan seorang biarawan yang mengatakan kepadanya bahwa Allah akan mengirim seorang nabi di antara orang-orang Arab.
Jadi dia memutuskan untuk kembali ke Mekah. Di tengah jalan, dia dibunuh oleh gerombolan pencuri sehingga dia tidak bisa kembali ke Makkah. Namun doanya agar Tuhan tidak mencegah putranya masuk Islam sebagaimana ia dilarang melakukannya, dikabulkan.
Tuhan menjawab doa Zaid. Ketika Rasulullah SAW mengajak banyak orang untuk masuk Islam, Sa’id bin Zaid langsung merespon seruan Islam tersebut. Sa’id bin Zaid telah menjadi pelopor bagi orang-orang yang beriman kepada Tuhan dan mendukung kerasulan Nabi Muhammad SAW.
Sa’id bin Zaid masuk Islam tidak hanya sendirian tetapi juga bersama istrinya, Fatimah binti Khattab, yang merupakan saudara perempuan dari Umar bin Khattab.
Sifat-sifat Sa’id bin Zaid
Perjalanan hidup Sa’id bin Zaid diwarnai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mendampinginya selama kurang lebih dua puluh tiga tahun.
Keterlibatan yang panjang dan indah ini memiliki efek yang sangat baik pada kehidupan Sa’id. Bentuklah kepribadiannya, berilah dia sifat dan akhlak yang terpuji, dan inilah beberapa sifat dan akhlak terpuji Sa’id bin Zaid:
Rasa takutnya hanya Kepada Allah
Ketika Nabi menerima tugas kenabian dari Allah, Sa’id bin Zaid siap menerima dan memeluk Islam. Dan dia adalah salah satu dari sepuluh orang yang telah diyakinkan oleh Rasulullah untuk masuk surga.
Namun, kesedihannya tidak pernah pudar mengingat ayahnya, Zaid bin Amr, yang tidak sempat memeluk Islam karena ayahnya meninggal sebelum Muhammad diutus sebagai nabi.
Temannya berkata, “Kenapa engkau menangis, wahai Said bin Zaid?”
said pun menjawab, “Aku menangisi ayahku, Zaid bin Amr. Dia menolak untuk menyembah berhala yang dilakukan oleh kaum Quraisy dan qurban yang mereka persembahkan, lalu dia mengembara karena dizalimi. Dia keluar untuk mencari agama yang diridhai oleh Allah. Itulah sebabnya aku menangis. Jika Allah berkenan untuk memperpanjangkan umurnya hingga saat ini, niscaya ia akan mengakui kenabianmu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah menghibur Said dengan bersabda, “Ayahmu adalah salah seorang penghuni surga. Ayahmu adalah orang yang kelak akan dibangkitkan sebagai satu umat.”
Dia pun mengajak istrinya, Fatimah binti Al-Khattab untuk memeluk Islam. Dia membacakan ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun.
Istrinya pun mengatakan kepada suaminya dengan rasa yang kagum, “Betapa bermakna dan indahnya kalimat ini. Kalimat apakah itu, wahai Said?”
said pun menjawab, “itu adalah kalimat Allah yang diturunkan kepada utusannya, Muhammad bin Abdullah. ”
“Apakah engkau telah beriman kepadanya, wahai Said?” Tanya sang istri.
Said pun menjawab, “Ya. Ikutilah aku, wahai istriku. Ikutilah aku. Ini adalah agama yang sebenarnya.”
Istrinya pun kembali bertanya, “Apa yang seharusnya aku katakan, wahai Said?”
said pun menjawab, “Katakanlah, saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.”
Sang istri pun mengucapkan kalimat syahadat sebagai syarat agar masuk Islam.
Begitulah, Sa’id bin Zaid membimbing sang istri, Fatimah binti Al-Khattab yang merupakan saudari Umar bin Al-Khattab untuk memeluk Islam.
Sa’id bin Zaid juga giat mempelajari Islam yang telah menjadi kepercayaan barunya.
Saat dakwah dilakukan secara terang-terangan, Said bersama rekan-rekannya selalu berada di garda terdepan dalam menghadapi tekanan dari kaum Quraisy. Said bin Zaid pun berkata kepada para pemuka Quraisy,
“Ayahku dan Waraqah bin Naufal harus menunggu lama untuk menunggu masa diutusnya nabi, bahkan mereka rela mengembara demi mendapatkan informasi.
Namun, ayahku terlanjur wafat setelah mendapat informasi dari pendeta bahwa masa kenabian hampir tiba dan akan muncul di Mekkah. Kalian semua tentu sudah tahu cerita dari pendeta itu karena sebagian dari kalian ada yang bersama dengan pendeta itu. Bahkan jin dan orang bijaksana yang tahu pun beriman kepadanya, sedangkan kamu yang mengetahuinya sama seperti kami dan kenapa kalian mengingkarinya?”
Salah satu dari pemuka Quraisy itu pun menjawabnya, “Kami ke sini bukan untuk mendengarkan ocehanmu!”
Upaya dakwah dari Rasulullah selalu dihalang-halangi termasuk oleh Umar bin Al-Khattab. Dia sangat membenci Islam.
Di saat salah satu pemuka Quraisy berkata, “Demi Latta dan Uzza, kami akan menghalangi kalian untuk memeluk agama ini.”
Umar bin Al-Khattab pun menyahutnya, “Benar, itu sebabnya aku datang. Aku tidak akan membiarkan kalian memurtadkan pemuda Mekkah dari agama nenek moyang kami, wahai penolong Muhammad!”
“Wahai Ibnu Al-Khattab,tinggalkan mereka yang bangga dengan kemusyrikan dan kekayaan.” kata Said.“Sudah cukup bagi kami untuk berurusan denganmu.”
Umar pun menyahut perkataan tadi, ”Aku akan membuat kalian menyesal!”
Penyangkalan Umar bin Al-Khattab terhadap Islam menjadi sangat menyedihkan bagi Sa’id bin Zaid dan Fatimah bin Al-Khattab. Hari demi hari, penolakan Umar semakin menjadi.
Umar bin Al-Khattab bertekad untuk membunuh Nabi. Namun usaha Umar bin Al-Khattab itu digagalkan karena saudaranya sendiri telah masuk Islam. Umar sangat marah dan segera berbalik menuju rumah adiknya, Fatimah binti Khattab.
Pada saat yang sama, Khabbab bin Al-Arat sedang membacakan ayat-ayat Alquran yang mulia di depan Fatimah dan Said. Umar mengetuk pintu dan berkata:
“Buka pintunya, wahai orang yang tersesat!” Fatimah langsung terkejut dan berkata kepada Khabbab, “Dia saudaraku, Umar. Itu pasti datang dengan nasib buruk. Sembunyikan dirimu, wahai Khabbab. Dan Said mengatakan hal yang sama.
Dalam suasana tegang ini, perang besar pecah. Umar akhirnya melukai saudaranya sendiri hingga mulutnya berdarah. Melihat hal tersebut, Umar langsung menyesali perbuatannya. Pada pandangan pertama, ia melihat salinan Al-Qur’an.
Dia juga penasaran ingin melihatnya, tetapi Said menyuruhnya mandi: “Kalau begitu, mandilah. Al-Qur’an hanya bisa disentuh oleh orang yang suci dan kamu kotor dengan kemusyrikan, maka mandilah! “Baiklan, aku sedang mandi”, jawab Umar bin Al-Khattab.
Umar Ibnu Al-Khattab juga mandi dan membaca ayat-ayat Alquran yang mulia. Namun, ayat-ayat Alquran yang didengarnya meluluhkan hatinya. Hingga akhirnya Umar bin Al-Khattab berkata: “Betapa indah dan mulianya kalimat ini”.
Rencana membunuh Utusan Allah justru berubah menjadi pengikut setia Utusan Allah. Dan Umar berkata: “Tunjukkan padaku jalan untuk bertemu Rasulullah.” Saya akan mengikuti Islam. “Suara takbir dan tahlil mengguncang seluruh rumah seperti bumi berguncang.
Inilah kehebatan Sa’id bin Zaid dan istrinya. Rasulullah pernah bersabda: “Barang siapa yang memberi petunjuk dengan baik, maka ia akan mendapat pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya, dan ini tidak mengurangi pahala orang yang melakukannya”.
Artinya semua kebaikan Umar, semua ketakwaannya dan semua kebesarannya, ketika dia melakukan kebaikan ini, Said bin Zaid didahului, dibalas, semua kebesarannya. sekalipun orang yang melakukannya adalah Umar bin Al-Khattab.
Baca Juga: Riwayat Hidup Abdurrahman bin Auf 581 M, Sahabat Nabi yang Dijamin Masuk Surga
Pemberani
Sa’id Bin Zaid bin Amru bin Nufail telah mencurahkan seluruh energi dan masa mudanya untuk melayani Islam. Ketika dia masuk Islam, dia berusia tidak lebih dari dua puluh tahun. Dia juga berperang dengan Rasulullah dalam setiap pertempuran kecuali Perang Badar.
Pada saat ini dia sedang dalam tugas penting lainnya dengan Talhah bin Ubaidillah, yang telah ditugaskan oleh Rasulullah untuk mengawasi kafilah Quraisy kembali dari bisnis, dan ketika keduanya melakukan misinya, Perang Badar terjadi, dan berakhir dengan kemenangan bagi umat Islam.
Kemudian keduanya pulang dan Nabi SAW membagi di antara mereka sebagian dari rampasan perang. Dia juga bergabung dengan umat Islam untuk mencabut tahta Kisra Persia dan menggulingkannya untuk Kaisar Rum.
Dalam semua perang yang dihadapi umat Islam, dia selalu tampil dengan reputasi yang terpuji. Mungkin yang paling mengejutkan adalah ketenarannya yang tercatat selama Pertempuran Yarmuk.
Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail berkata, “Ketika Perang Yarmuk pecah, tentara kami berjumlah 24.000 tentara. Sementara tentara Rum yang menghadapi kami adalah 120.000 tentara. Musuh bergerak ke arah kami seperti bukit yang digerakkan oleh tangan tersembunyi.
Di barisan depan, para imam, perwira/komandan senior dan imam membawa salib sambil berdoa dengan suara keras. Doa itu diulangi oleh para prajurit yang berbaris di belakang mereka dengan gemuruh guntur.
Ketika tentara Muslim melihat musuh mereka, kebanyakan dari mereka terkejut dan ketakutan muncul di hati mereka. Abu ‘Ubaidah berdiri dan menyulut semangat jihad dalam diri mereka. Abu ‘Ubaidah dalam sambutannya antara lain berkata, “Hamba Allah! Raihlah agama Allah! Sesungguhnya Allah akan menolong dan memberimu kekuatan!
“Wahai hamba-hamba Allah! Tabahkan hati kalian! Karena ketabahan adalah jalan lepas dari kekafiran; jalan mencapai keridhaan Allah, dan menolak kehinaan.
“Siapkan lembing dan perisai! Tetaplah tenang dan diam! Kecuali dzikrullah (mengingat Allah) dalam hati kalian masing-masing.
“Tunggu perintah saya selanjutnya! Insya Allah!”
Kemudian Sa’id bin Zaid melanjutkan ceritanya. Tiba-tiba seorang prajurit muslim keluar dari barisan dan berkata kepada Abu ‘Ubaidah, “Saya ingin syahid sekarang. Adakah pesan-pesan Anda kepada Rasulullah?”
Jawab Abu ‘Ubaidah, “Ya, ada! Sampaikan salam saya dan salam kaum muslimin kepada beliau. Katakan kepada beliau, sesungguhnya kami telah mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhan kami benar-benar terbukti!”.
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, mereka dengan serentak kengangkat pedang kemudian menyerang musuh-musuh tersebut. Tanpa terasa, perasaan takut lenyap dengan sendirinya di hati saya. Tentara muslimin bangkit menyerbu tentara Rum. Perang berkecamuk segera berkobar dengan hebat. Akhirnya Allah memenangkan kaum muslimin.
Rendah Hati
Sa’id bin Zaid telah mengenal masa keemasan Islam, ketika wilayah kekuasaan Islam semakin luas, tentu kesempatan dia menjadi wali sangat terbuka lebar. Memang, dia pantas mengambil salah satu dari posisi ini, tetapi dia memilih untuk menghindarinya. Bahkan dalam banyak pertempuran yang dia ikuti, dia lebih suka menjadi prajurit biasa.
Dalam pasukan besar yang dipimpin oleh sa’d bin abi waqqash, setelah merebut Damaskus, menetapkan dirinya di sana sebagai walikota/gubernur. Namun sa’id bin zaid mendesak komandannya untuk memilih orang lain untuk mengisi posisi itu, dan mengizinkannya menjadi prajurit biasa di bawah kepemimpinannya.
Dia ingin terus berjuang untuk membela firman Tuhan dan standar kebenaran, situasi yang tidak bisa dia lakukan jika dia memegang posisi penjaga negara.
Memang benar bahwa seorang Sa’id Bin Zaid memang layak diangkat menjadi wali Damaskus, tetapi ia tetap memberikan kesempatan kepada orang lain, meskipun ia akhirnya diangkat menjadi gubernur Damaskus.
Dermawan dan Bersahaja
Sama seperti posisi yang dia hindari, begitu pula kekayaan dan kemewahan dunia. Namun sejak masa Khalifah Umar, kekayaan melimpah untuk mengisi baitul mal (perbendaharaan Islam), jadi mau tidak mau, jodoh pertama seperti Sa’id bin Zaid akan dibagi-bagi.
Raja Umar bahkan memberikan jatah (porsi) lebih banyak dari para sahabatnya yang kemudian masuk Islam, yaitu setelah mekkah fathul. Namun, setiap kali dia menerima sepotong kekayaan atau uang, dia segera mengembalikannya, kecuali itu hanya sedikit. Namun dengan gaya hidup zuhudnya, masih saja ada orang yang menjelekkannya sebagai duniawi.
Meskipun dia kerabat Khalifah Umar, dia rajin memberikan hartanya di jalan Allah dan hidup seperti warga negara biasa. sedikit yang dia gunakan untuk hidupnya.
Penyabar
‘Urwah bin Zubair berkata bahwa Said bin Zaid r.a. Urwa binti Uwais pernah mengadu kepada Marwan bin Hakam. Urwa menuduh Sa’id bin Zaid mengambil bagian dari tanahnya.
Kemudian katakan: “Haruskah saya merebut tanah setelah mendengar kata-kata Rasulullah, damai dan berkah atasnya?” Marwan bin Hakam kemudian bertanya, “Apa yang kamu dengar dari Rasulullah SAW?”
Berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah, damai dan berkah besertanya, mengatakan: Barang siapa mengambil jalan tanah secara tidak adil, itu akan dililitkan di lehernya dalam tujuh lapisan bumi.”
Marwan berkomentar: ‘Saya tidak akan meminta Anda untuk memberikan bukti lagi setelah mendengar hadits. Kemudian Sa’id berdoa, “Ya Tuhan, jika Urwa berbohong, maka buta dia dan bunuh dia ke tanah.” Urwa meninggal setelah menjadi buta, dan saat berjalan di tanahnya, dia jatuh ke dalam lubang dan mati. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dalam dokumen lain, dikatakan bahwa Urwa binti Uwais buta, kemudian memukulinya dan berkata, “Saya menderita karena shalat Sa’id. Dia ditenggelamkan dan dikuburkan di sumur ini (Menurut sebuah Laporan Muslim dari Muhammad bin Zaid bin `Abdullah bin Amr).
Dengan ketekunan dan kesabaran, dia dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah dalam masalah yang dia hadapi, dan dia dapat mengendalikan diri dari amarah dan dendam.
Setia kepada Nabi Muhammad SAW
Sa’id juga bergabung dengan Rasulullah, semoga Allah memberkati dia dan memberinya kedamaian, dalam perjanjian Hudaibiyah, dan bersumpah setia di bawah pohon, dan Allah memuji mereka dalam kitab-Nya. , Allah berfirman:, Allah menyenangkan orang-orang yang beriman.
Ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada di hati mereka, maka Dia memberi mereka kedamaian dan memberi mereka kemenangan dengan kemenangan. (QS. Al-Fath [48]: 18)”.
Jujur
Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Humaidi, ulama hadits, pemilik kitab As-Sunan, Ibnu Hibban, dan masih banyak jalan lainnya, serta Riyah bin Al-Harits An-Nakha’i, “Itu Sa’id bin Zaid berkata: Saya bersaksi kepada Rasulullah, semoga Tuhan memberkati dia dan memberinya kedamaian, untuk ini apa yang saya dengar dengan telinga saya sendiri dan mengerti hati saya dari Rasulullah, semoga Tuhan memberkati dan memberkati dia. beri dia kedamaian.
Aku benar-benar tidak berbohong jika dia bertanya kapan aku akan bertemu dengannya nanti. Sesungguhnya dia berkata: “Abu Bakar di surga, Umar di surga, Ali di surga, Utsman di surga, Thalhah di surga, Zubair di surga, Abdurrahman di surga, Saad di surga.”
Dan orang percaya kesembilan, jika saya mau, saya akan menyebutkan namanya! Kemudian orang-orang yang hadir di masjid menjadi ribut dan bertanya kepadanya: “Wahai para sahabat Rasulullah, Shallallahu ‘alayhi wa sallam, siapakah yang kesembilan? Dia menjawab: “Anda bertanya kepada saya dengan menyebut nama Allah SWT, saya adalah orang yang beriman kesembilan. Dan kesepuluh nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan dalam kisah nabi yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Auf dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam nabi, dia berkata: “Sepuluh berada di surga (teks lengkap kisah hadits telah diberikan) disebutkan sebelumnya) dan disebutkan Sa ‘id bin Zaid di antara mereka. “
Keistimewaan dari Said bin Zaid
Tidak diragukan lagi bahwa Sa’id bin Zaid adalah seorang shahabat yang mempunyai banyak keutamaan, di antara adalah:
1. Dia adalah salah seorang yang pertama masuk Islam, dan Islamnya mendahului Islam Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhuma.
2. Dia termasuk di antara sepuluh orang yang diberitakan kabar baik tentang kenaikan ke surga. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Abdurrahman bin ‘Auf berkata: “Rasulullah SAW bersabda: Abu Bakar ada di surga, Umar di surga, Ustman di surga, di surga, Ali di surga, Talha di surga, Zubair di surga, Abdurrahman bin Auf di surga. , Sa’ad bin Abi Waqas di surga, Sa’id bin Zaid di surga dan Abu Ubaidah di surga (Surat Manaqib Abdurrahman bin Auf az-Zahiri radhiyallahu ‘anhu).
3. Dia memiliki doa yang diterima Allah Ta’ala, dikatakan bahwa Arwa binti Uwais pergi ke Marwan bin Hakam (saat itu gubernur Madinah), dan mengeluh tentang masalah dengan Sa’ id bin Zaid, dan berkata:
“Dia (Sa’id) telah menganiaya saya, dan dia telah mengambil hak saya, (Sa’id bin Zaid adalah tetangga Urwah di wilayah al-‘Aqiq),
kemudian Sa’id bin Zaid berkata, “Apa?!, saya telah mengirim Arwa melawan haknya!, demi Allah saya telah memberinya enam ratus perintah tanah saya, dan saya telah melakukannya karena saya mendengar sebuah hadits dari Nabi (sallallahu ‘alayhi wa sallam) mengatakan: “Siapa pun yang menempati satu inci tanah (yang merupakan milik ke yang lain) secara tidak adil, maka Allah akan membuatnya menderita tujuh lantai di bumi di hari kiamat.”
Wahai Arwa, jadilah berani dan ambillah (tanah) yang kamu klaim sebagai milikmu. Kemudian Arwapun berdiri, dan dia masih menyembunyikan kebenaran tentang haknya, maka Sa’id bin Zaid berkata: “Ya Allah, jika dia orang jahat, tutup matanya dan bunuh dia. kuburan sumur.”
Segera setelah hari itu, Urwah menjadi buta, berjalan di tanah yang tidak rata, dan jatuh ke dalam sumur, di mana dia meninggal, sumur yang digunakan sebagai tempat berlindung menguburnya.
4. Dia adalah pendamping selama perang dengan Rasulullah, semoga Tuhan memberkati dia dan memberinya kedamaian.
Sa’id bin Zaid Wafat
Para ahli sejarah berkata bahwa Sa’id bin Zaid wafat di daerah al-‘Aqiq, ia dimandikan oleh Sa’ad bin Abi Waqas, dan di shalatkan oleh Abdullah bin Umar r.a.
Amr bin Ali berkata: “Bahwa Sa’id bin Zaid wafat pada tahun 51 H, yang mana umur beliau ketika itu tujuh puluh tahunan lebih, beliau di kebumikan di Madinah, (pada saat akan di kuburkan) Sa’ad bin Abi Waqas dan Abdullah bin Umar masuk kedalam kuburnya”.
Itu dia riwayat hidup dan perjuangan Sa’id bin Zaid semasa hidupnya, terutama dalam membela agama Allah dan para utusannya. Wallahua’lam!