Surau.co – Masjid Azhar di Vientiane, merupakan salah satu dari dua masjid yang ada di Republik Demokratik Rakyat Laos, setelah Masjid Jami Vientiane. Masjid ini lebih dikenal dengan nama masjid Kamboja, karena memang dibangun oleh muslim etnis Champa dari Kamboja yang hijrah ke Laos meninggalkan kampung halaman mereka di Kamboja pada era tahun 1975-1979 untuk menyelamatkan diri dari kekejaman rezim Khmer Merah pimpinan Pol Pot.
Berdiri di distrik Chantabouly, yang merupakan jantung kawasan indah dan bersejarah kota Vientiane, ibukota Laos. Masjid ini menjadi tumpuan bagi komunitas muslim di distrik tersebut yang memang mayoritas adalah muslim Champa, mereka terdiri dari sekitar 300 jemaah dari 70 keluarga muslim. Saat ini masjid Azhar bersama masjid Jami Vientiane menjadi salah satu tujuan wisata Rohani bagi muslim mancanegara yang berkunjung ke Laos.
Tidak banyak banyak yang berubah dari Masjid Azahar di Vientiane, Ibu Kota Laos dibanding tujuh tahun lalu, saat negara itu menjadi tuan rumah SEA Games 2009. Mesjid dengan kubah berwarna kuning keemasan tersebut dan dinding warna krem, masih tetap mempertahankan gapura dengan tulisan beraksara Laos, bukan Arab.
Halaman depan yang cukup luas masih berupa tanah liat dan bercampur kerikil dan tidak ada tanaman penghias sama sekali. Meski di gapura depan tertulis dengan jelas nama Masjid Azahar, tapi pada bagian lain juga ditulis Alazhar, atau Al Azhar.
Di ruang belakang yang juga berfungsi sebagai ruang mengaji, masih tergantung dua kipas angin berwarna putih, dengan lantai keramik berwarna kuning. Disamping ruang serba guna, terdapat tempat berwudhu dan sebuah keranda besi yang ditempatkan di bagian belakangnya. Karena sebagian besar dari jamaah Masjid Azahar tersebut adalah keturunan Kamboja, maka masjid tersebut juga lebih dikenal dengan nama Masjid Kamboja.
Saat berlangsungnya SEA Games 2009, Masjid Azahar menjadi saksi bisu ketika seorang wartawan Harian Republika, Lukman Hakim yang meninggal akibat serangan jantung saat bertugas dan disholatkan di mesjid yang berlokasi di Phonsawattay Village, Distrik Sihkottabong, Kota Vientiane itu.
Saat berkunjung pada waktu Ashar, terlihat hanya sekitar 20 orang yang shalat berjamaah dengan membentuk dua baris (shaf), dan hampir semuanya berpeci putih. Sama sekali tidak terdengar suara azan berkumandang atau suara lainnya. Juga tidak dijumpai kaum perempuan di komplek mesjid yang berada di atas tanah seluas 700 meter persegi itu.
Menurut Keobandit yang saat ditemui mengenakan baju gamis warna putih dan peci hitam, penganut Islam sangat sedikit di Laos, hanya sekitar 700 orang dari total tujuh juta penduduk.Keadaan tersebut menempatkan Laos sebagai negara dengan penduduk Muslim terkecil diantara negara anggota ASEAN lainnya.
Meski pemerintah Laos menganut paham komunis, sama sekali tidak ada bentuk diskriminasi oleh pemerintah terhadap penganut Islam, atau pun agama lain. Sepanjang tidak berpolitik, sama sekali tidak ada larangan dari pemerintah bagi umat Islam untuk menjalankan ibadah. Karena itu kehidupan masyarakat Muslim disini terasa cukup nyaman, meski sangat minoritas.
Dari sekitar 700 orang Muslim di Laos, 200 di antaranya adalah warga keturunan Kamboja dan mereka umumnya adalah yang melarikan diri dari kekejaman rejim Pol Pot saat terjadi pertumbahan darah di negara bekas jajahan Perancis itu.
Pada 1970-an, jumlah Muslim Kamboja yang datang ke Laos semakin banyak ketika rezim Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot menyerukan gerakan pembersihan massal etnis Muslim Cham dari tanah Kamboja.
Menurut Keobandit yang juga didampingi pengurus mesjid lainnya Ahmadokhan Ungkary, sebagai negara berideologi komunis, konstitusi Laos memberi kebebasan kepada rakyat untuk menganut atau tidak menganut agama. Kita bebas melakukan ibadah apa saja, ataupun melakukan dakwah. Tapi, kita harus membangun sendiri rumah ibadah karena tidak ada bantuan dari pemerintah.
Hari keagamaan Islam seperti Idul Fitri atau Idul Adha, atau pun Hari Natal tidak dinyatakan sebagai hari libur, bahkan hari keagamaan Budha, kecuali tahun baru yang dinyatakan sebagai hari libur.
Selain Masjid Azhar, ada satu lagi masjid di Vientiane, yaitu Masjid Jami dan yang merupakan masjid pertama dan tertua di Laos dengan imam Haji Moulavi Kamarudeen Noori dari Madras, Inda. Berbeda dengan Mesjid Azahar yang didirikan keturunan Kamboja, Masjid Jami dibangun oleh pendatang asal Pakistan dan Bangladesh. Jamaah masjid tersebut umumnya berasal dari staf kedutaan yang bertugas di Vientiane, termasuk Indonesia dan Malaysia.
Sejarah Masjid Azhar
Masjid yang diberi nama “Azhar” terletak di Banphone Sawattay, Distrik Chantabouly, Vientiane, People Democratic Republic of Laos. Masjid yang berada di Vientiane, Republik Laos tersebut merupakan salah satu dari hanya dua masjid yang dimiliki oleh Negara Republik Laos. Masjid lain yang dimiliki negara ini adalah Masjid Jami’ Vientiane.
Masjid Azhar biasa dikenal dengan “Masjid Kamboja” karena memang dibangun oleh orang-orang muslim yang berasal dari etnis Champa, Kamboja, yang berpindah dan menetap ke Laos pada sekitar tahun 1975 – 1979. Pada masa itu merupakan masa-masa keji yang terjadi dikamboja, banyak pembantaian yang dilakukan oleh rezim Khmer Merah yang dipimping oleh Pol Pot, pembunuhan etnis muslim terjadi dimana-mana, sehingga beberapa orang terpaksa pindah ke negara lain untuk menyelamatkan dirinya.
Masjid Azhar berlokasi di sebuah distrik yang menjadi jantung kota viantiane dan memiliki pemandangan yang indah tiada duanya, Distrik Chantabouly. Masjid Azhar atau Masjid Kamboja tersebut sampai saat ini masih difungsikan dan digunakan sebagai pusat peribadatan umat muslim Champa Kamboja, karena memang umat muslim yang berada di Negara Republik Laos kebanyakan berasal dari Kamboja saja. ada lebih dari 300 jamaah atau sekitar 70 keluarga yang tinggal dan menetap di Republik Laos. Masjid ini pun juga menjadi salah satu tujuan wisata religi bagi beberapa wisatawan muslim yang mengunjungi daerah wisata Laos
Perjalanan sejarah berdirinya masjid ini sangat panjang, dimulai dari Etnis Champa yang berpindah ke Laos seiring runtuhnya kerajaan Champa yang berkuasa sebelumnya di daerah Vietnam. Lalu pada abat ke 17 sampai pada ke 19 sebagian besar muslim Champa mengungsi ke beberapa negara tetangga yaitu Kamboja, Malaysia, Thailand, bahkan sampai Pulau Hainan.
Kerajaan Champa dulunya berdiri negara Vietnam yang kita kenal sekarang sejak tahun 192 Masehi dan menjadi sebuah kerajaan Hindu yang besar, sebelum Islam masuk dan menyebar di kerajaan tersebut sekitar abad ke 9 hingga ke 10 Masehi. Kerajaan Champa yang menguasai daerah tersebut kemudian mulai diserang pada abad ke 15 Masehi oleh Dai Viet.
Kemudian pada tahun 1471 M Kerajaan Dai Viet yang berlokasi di Hanoi pada saat itu menyerbu besar-besaran ke wilayah utara kerajaan Champa dan berhasil merebut kekuasaan ibukota negara di Vijaya. Lalu di susul dengan Invasi pada tahun 1697 saat wilayah Champa di Panduranga kembali di rebut oleh Dai Viet. Perebutan wilayah kekuasaan tersebut terus dilakukan sampai negara Champa tidak memiliki wilayah lagi pada tahun 1832.
Kemudian, secara terpaksa umat muslim Champa yang sudah kehilangan tanah kekuasaannya berpindah mengungsi ke beberapa negara tetangganya. Pada saat itu arus pengungsian sudah tidak terbentung lagi, dan yang paling besar adalah negara Kamboja sebagai negara yang paling dekat dengan Vietnam. Di Negara Kamboja mereka diterima dengan sangat baik, dan mendapatkan tempat yang cukup layak. Sampai akhirnya pada saat Rezim Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol Pol melakukan aksi pembantaian massal terhadap rakyat Kamboja tanpa peduli itu umat islam ataupun bukan, karena Rezim tersebut berpaham komunis. Insiden kelam tersebut berlangsung dari tahun 1975 hingga tahun 1979. Karena takut ikut dibantai oleh Rezim Kejam tersebut, akhirnya Muslim Kamboja / Muslim Champa akhirnya berpindah tempat untuk kedua kalinya, dan sebagian mengungsi ke Negara Republik Laos.
Pada tahun 1976, atau kira-kira setahun setelah umat muslim Kamboja / Champa berpindah ke Laos, mereka bersepakat untuk mendirikan sebuah masjid kecil bernama Masjid Azhar, atau lebih dikenal dengan Masjid Kamboja. Kemudian Renovasi besar-besaran baru bisa dilakukan dan selesai pada tanggal 10 Oktober 1982.
Baca juga: Masjid Dimaukom, Filipina: Masjid Pink Lambang Persatuan & Persaudaraan