
Shuhaib bin Sinan, Menggadaikan Seluruh Hartanya untuk Mengikuti Rasulullah
Surau.co - Nama lengkapnya adalah Shuhaib bin Sinan Abu Yahya an-Namiri. Ia berasal dari keluarga terhormat yang biasa mengembara dari satu negeri ke negeri lain. Ayah dan pamannya pernah bekerja pada Raja Persia, Kisra. Mereka tinggal di Ninawa, yang saat itu masih dikuasai Persia.
Namun, Ninawa akhirnya ditaklukkan orang-orang Arab. Meskipun masih berbangsa Arab, Shuhaib ikut terkena dampak dari penaklukan itu. Satu sumber mengatakan, ia menjadi tawanan dan dijual sebagai budak kepada seorang saudagar Makkah, Abdullah bin Jud'an al-Quraisy. Namun, sumber lain menyebutkan, Shuhaib masih sebagai orang merdeka ketika datang ke Makkah dan bersumpah setia kepada Abdullah bin Jud'an.
Bagaimanapun, kehidupan Shuhaib bin Sinan mulai kembali normal semasa di Makkah. Ia bahkan berhasil mendapatkan kedudukan yang terhormat di antara warga Makkah. Sebagai seorang saudagar sukses, Shuhaib pernah tinggal lama di Romawi.
Bahkan, ia sampai digelari ar-Rumi, lantaran kepiawaiannya mengenal negeri tersebut. Salah seorang sahabat terdekatnya adalah Umar bin Khattab. Umar cukup berpengaruh baik dalam masa sebelum Islam maupun sesudahnya. Shuhaib dianugerahi delapan orang anak laki-laki.
Agaknya, kharisma Shuhaib bin Sinan juga terpancar dari fisiknya. Kulitnya putih kemerahan. Badannya tidak terlalu tinggi, tetapi tegap. Rambutnya tebal. Paras wajahnya menandakan sosok yang tenang, tapi juga memiliki selera humor yang baik. Di antara para tokoh Makkah, Shuhaib termasuk kalangan yang mapan. Namun, hal itu tidak menghalangi hatinya dari hidayah Allah SWT.
Berbagai Cobaan yang Datang, Tak Menghalangi Shuhaib Memeluk Islam
Di masa permulaan Islam, kaum muslim Makkah bernasib sangat sengsara. Mayoritas pengikut risalah Rasulullah SAW saat itu adalah kalangan miskin atau budak belian. Penyiksaan terhadap mereka merupakan pemandangan yang sering disaksikan. Kaum musyrik Quraisy bagaikan pemburu yang memangsa orang-orang Islam agar kembali murtad.
Saat dakwah Rasulullah SAW tidak lagi sembunyi-sembunyi, jumlah kaum muslim di Makkah kian membesar. Adapun Shuhaib bin Sinan sudah mengenal sosok Muhammad sejak awal. Ia termasuk yang mengagumi sifat al-Amin, baik sebelum maupun sesudah kenabian. Tidak membutuhkan waktu lama, Shuhaib pun menyatakan dirinya masuk Islam di hadapan Rasulullah SAW.
Karena itu, bayang-bayang penyiksaan juga menyasar Shuhaib bin Sinan. Buku Para Sahabat Nabi SAW karangan Dr Abdul Hamid as-Suhaibani menjelaskan bagaimana Shuhaib harus menanggung siksaan tak terhitung. Mujahid bin Jabr meriwayatkan, sekelompok musyrikin Quraisy memakaikan baju besi kepada sejumlah muslim, termasuk Shuhaib bin Sinan. Kemudian, mereka memanggang Shuaib dan rekan-rekan muslimnya di bawah terik matahari gurun pasir yang menyengat. Namun, Shuhaib dan para pemeluk Islam itu tetap bersabar. Allah SWT menganugerahi mereka dengan kekuatan dan ketabahan, sehingga berhasil melewati penyiksaan itu.
Akhirnya, Allah SWT mewahyukan kepada Rasul-Nya agar berhijrah dari Makkah. Sejumlah kaum muslim telah lebih dahulu pergi ke Yatsrib (Madinah) atas arahan Rasulullah SAW. Di sinilah timbul keinginan Shuhaib bin Sinan untuk menyertai Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Shuhaib bertekad ikut hijrah ke Madinah bagaimanapun caranya. Namun, orang-orang Quraisy tidak membiarkan Shuhaib lolos.
Beberapa pemuda Quraisy dengan menenteng senjata tajam berusaha menghalangi Shuhaib bin Sinan. Shuhaib terpaksa menunggu hingga malam tiba. Saat pengawasan mulai melonggar, dia berusaha meloloskan diri dengan berjalan cepat tetapi penuh kewaspadaan. Namun, mendekati perbatasan Makkah, para pemuda Quraisy mulai dapat mengejar dan menangkap Shuhaib.
“Dahulu, engkau datang ke Makkah dalam keadaan miskin dan hina. Lalu, setelah itu engkau berubah (menjadi terhormat).” kata salah seorang pemuda yang membekap Shuhaib bin Sinan. Nada bicaranya merendahkan Shuhaib.
“Bagaimana menurut kalian bila saya menyerahkan seluruh harta milik saya kepada kalian? “ujar Shuhaib bin Sinan dengan tenang. Ia tahu, tawaran negosiasi ini amat menggiurkan bagi mereka yang tanpa cahaya iman dalam dadanya.
“Apakah dengan demikian kalian mau membiarkan saya pergi?” tanya Shuhaib lagi.
“Ya.” jawab para pemuda Quraisy itu hampir serempak.
Maka pergilah Shuhaib bin Sinan mengikuti Rasulullah SAW dan umat Islam lainnya hijrah ke Madinah. Alih-alih berat, Shuhaib justru bergembira meskipun telah kehilangan semua harta yang diperolehnya dari hasil niaga di Makkah. Baginya, perjuangan di sisi Rasulullah SAW dan hidup dalam jalan Allah SWT adalah yang lebih utama.
Shuhaib melanjutkan lagi perjalanan hijrahnya seorang diri tetapi berbahagia, hingga akhimya berhasil menyusul Rasulullah SAW di Quba. Waktu itu Rasulullah SAW sedang duduk dikelilingi oleh beberapa orang sahabat, ketika dengan tidak diduga Shuhaib mengucapkan salamnya.
Rasulullah SAW yang melihatnya berseru dengan gembira, Rasulullah SAW pun bersabda, "Beruntung perdaganganmu, hai Abu Yahya. Beruntung perdaganganmu, hai Abu Yahya!”
Dan ketika itu juga turunlah ayat, "Dan di antara manusia ada yang sedia menebus dirinya demi mengharapkan keridhaan Allah, dan Allah Maha penyantun terhadap hamba-hambanya.” (QS. Al-Baqarah: 207).
Memang, Shuhaib telah menebus dirinya yang beriman itu dengan segala harta kekayaan. Ia mengumpulkan harta kekayaan itu dengan menghabiskan masa mudanya. Seluruh usia mudanya, dan sedikit pun ia tidak merasa dirinya rugi.
Ia amat disayangi oleh Rasulullah SAW. Di samping kesalehan dan ketakwaannya, Shuhaib adalah seorang periang dan jenaka. Pada suatu hari, Rasulullah SAW melihat Shuhaib sedang makan kurma dan salah satu matanya bengkak.
Rasulullah SAW bertanya kepadanya sambil tertawa, "Mengapa kamu makan kurma sedang sebelah matamu bengkak?"
“Apa salahnya?” timpal Shuhaib. "Saya memakannya dengan mata yang sebelah lagi."
Shuhaib adalah Sahabat yang Pemurah & Dermawan
Shuhaib juga seorang pemurah dan dermawan. Tunjangan yang diperolehnya dari Baitul Mal dibelanjakan semuanya di jalan Allah SWT, yakni untuk membantu orang yang kemalangan dan menolong fakir miskin dalam kesengsaraan.
Hal itu dilakukannya untuk memenuhi firman Allah SWT, “Dan diberikannya makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang tawanan,” (QS. Al-Insan: 8).
Sampai-sampai kemurahannya itu mengundang peringatan dari Umar bin Khattab. Umar bin Khattab pernah berkata kepada Shuhaib, “Aku lihat kamu banyak sekali mendermakan makanan hingga melewati batas.”
Shuhaib menjawab, “Sebab, saya pernah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Sebaik-baik kalian ialah yang suka memberi makanan.”
Setelah diketahui kehidupan Shuhaib berlimpah ruah dengan keutamaan dan kebesaran, maka ketika kepemimpinan Umar bin Khattab, Shuhaib dipilih Umar bin Khathab untuk menjadi imam bagi kaum muslimin dalam shalat .
Tatkala itu, Amirul Mukminin diserang orang sewaktu melakukan shalat subuh bersama kaum Muslimin. Maka disampaikannyalah pesan dan kata-kata akhirnya kepada para sahabat, “Hendaklah Shuhaib menjadi imam kaum Muslimin dalam shalat!”
Ketika itu, Umar telah memilih enam orang sahabat yang diberi tugas untuk mengurus pemilihan khalifah baru. Dan khalifah kaum musliminlah yang biasanya menjadi imam dalam shalat-shalat mereka. Maka siapakah yang akan bertindak sebagai imam dalam saat-saat vakum antara wafatnya Amirul Mukminin dan terpilihnya khalifah baru itu? Dan Umar telah memilih Shuhaib, sembari menunggu munculnya khalifah baru yang akan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Baca juga: Abu Sufyan bin Harb, Pemimpin Utama Quraisy yang Masuk Islam