
Kenangan Bertamu pada Rumah-rumah Tuhan di Jalanan
Surau.co - Andai muslim benar-benar tanpa masjid, lantas di mana Tuhan berumah?
Masjid kembali menjadi polemik saat pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan aktivitas terkait adanya pandemi Covid-19. Namun, bukan maksud saya terlibat pro-kontra terkait hal itu. Catatan ini hanya rekaman atas pengalaman saya berkaitan dengan masjid-masjid, khususnya ketika dalam perjalanan pulang kampung atau balik ke perantauan, sebelum dan sesudah ada pandemi.
Saya memang lebih banyak naik motor sebab berbagai alasanan yang tidak perlu saya sebutkan. Yang pasti hal itu membuat saya memiliki cukup banyak persentuhan dengan masjid sepanjang perjalanan, khususnya rute segitiga Jogja-Tuban-Pati, sebab di rumah-rumah Tuhan itulah yang saya cari ketika mau berhenti istirahat, shalat, atau ketika mau buang hajat. Maka saya menemui beragam masjid dengan karakter yang berlainan, baik bentuk maupun isinya.
Namun di luar soal itu, hal yang paling menarik adalah banyak sekali saya temui masjid-masjid khususnya pinggir jalan, yang yang dalam fase pembangunannya melakukan penggalangan dana dari pengguna jalan dengan berbagai variasi strateginya. Misalnya dengan menaruh kotak amal tepat di tengah jalan dengan petugas khusus yang menyodorkan wadah sumbangan untuk pengguna jalan. Di sisi kanan kiri jalan ada penjaga berperalatan megaphon, atau toa, bahkan ada beberapa yang memakai sound system, yang dengan selingan lagu-lagu qasidah atau kadang juga campur sari, sang petugas menyeru-nyeru pengguna jalan agar beramal jariyah. Tak lupa, ucapan selamat jalan dan iringan doa keselamatan.
Amal jariyah adalah amal yang pahalanya terus mengalir, tidak putus setelah pengamal meninggal. Artinya, itu termasuk amal yang utama. Ibarat dalam dunia bisnis, pengamal akan punya passive income, yang sekali menanam akan memanen sepanjang masa. Bukankah itu menggiurkan? Sebab itulah, saya membayangkan bagaimana para aktivis masjid itu, agar banyak umat muslim bisa dengan mudah beramal jariyah, maka mereka melakukan yang di dunia marketing dikenal dengan istilah jemput bola. Bukankah tindakan jemput bola itu bagian dari kemajuan dalam amar makruf?
Di sisi lain, banyak sekali masjid pinggir jalan yang sudah terbagun sempurna dengan bagus atau megah, tetapi dalam kondisi yang lebih sering terkunci kecuali waktu-waktu khusus seperti waktu shalat atau ada acara masjid. Dugaan saya, ini pasti demi keamanan atas property masjid itu sendiri sebab banyak beredar maling kotak amal, bahkan sempat viral maling sound sistem milik masjid yang pencurinya kemudian ditangkap dan dibakar massa.
Kata orang pintar, kejahatan itu, selain sebab ada niat juga tersedianya kesempatan. Sebab itulah, mengunci rapat-rapat masjid demi keamanan property masjid dan juga demi mempersempit ruang gerak bagi calon maling, adalah solusi. Bukankah tindakan itu menunjukkan suatu kemajuan dalam aspek nahi munkar?
Namun sebagai musafir, saya tentu saja sebal. Apalagi jika masjidnya itu mewah dan saya tahu dulunya menggalang dana pada pengguna jalan. Masjid kok mau enaknya sendiri, eksklusif, tidak ramah orang miskin dan lemah, tidak ramah musafir, bahkan tidak sesuai dengan semangat Islam sebagaimana masjid zaman Rasulullah! Pasti takmirnya kurang membaca sejarah kebudayaan Islam atau kurang menjiwai ayat-ayat suci Alquran, misalnya surat Qurays. Masjid yang seperti itu, betapapun megahnya dan savety-nya, itu bukan kemajuan, tapi kemunduran! Begitu kira-kira gerundelan hati saya yang tak jarang bablas jadi su’udhon itu.
Akan berbeda ketika saya melihat masjid yang ramah dengan pejalan, dalam arti sangat welcome dengan seperangkat fasilitasnya mulai tempat wudhu, toilet, teras yang adem, dan kalau perlu tersedia air minum atau kopi/teh (ngarep), pendeknya lengkap fasilitas untuk kebutuhan jasmani atau ruhani, saya langsung memuji bahwa pengurus masjid begitu menjiwai ajaran Islam. Masjid itu harusnya itu begini!
Di titik itu, biasanya saya tolah-toleh, siapa tahu bisa melihat salah satu pengurusnya. Ya melihat saja, tidak perlu menyamperi. Kalau saya kebetulan lihat salah satu pengurusnya (atau yang nampak seperti pengurus karena kebetulan kedapatan sedang menyapu), sementara orangnya berkostum katok congklang, berjanggut dan jidat hitam, yang sejauh ini diidentikkan dengan fundamentalis, saya tersenyum dan berkata dalam hati bahwa Islam mereka adalah orang yang benar-benar mewarisi semangat Islam. Begitu pula kalau yang saya lihat adalah orang bersarung dengan kopyah hitam, saya akan merasa bahwa dia adalah kekasih Allah dan rasulNya. Ya begitulah, ternyata penilaian saya sangat tergantung kepentingan saya.
Maka ketika ada model masjid yang rumah musafir seperti itu, akan saya tandai lokasinya. Siapa tahu kapan hari mampir kalau lewat jalan di situ. Saya bahkan sampai hapal beberapa titik masjid yang seperti itu, dari jarak kampung dengan tempat perantauan. Dan saya tahu, ketika ada yang seperti itu, pasti semakin hari akan semakin banyak orang yang mampir. Sehingga, ini sekaligus jadi ajang silaturrahim antar sesama pejalan, saling berbagi cerita-cerita dari yang seru sampai yang mengharu-biru.
Namun pandemi memang mengubah banyak hal. Benar saja, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan aktivitas masjid demi mencegah penularan Covid-19, saya merasa lebih susah mencari masjid yang begitu ramah musafir itu, meski masih ada satu dua. Itu pun tidak bisa sebebas dulu dalam bersilaturrahim sesama pejalan. Tapi ya mau bagaimana lagi kalau hal itu memang yang terbaik?
Maka, perjalanan saya terakhir kemarin, saya lebih jarang mampir di masjid, karena banyak yang masih tutup. Saya jadi teringat buku Kuntowijoyo yang berjudul “Muslim Tanpa Masjid” itu, yang mana saat ini menemukan bentuknya yang bahkan lebih dari Pak Kunto bayangkan, di mana bukan hanya masjid mulai berkurang gaya tariknya sebab selain manusia semakin individualis juga pengetahuan keagamaan sudah menyebar di mana-mana, tapi pandemi memaksa orang semakin mengalihkan cara berkumpulnya di ranah virtual.
Oleh sebab itu, dalam perjalanan saya sangat bersyukur dengan banyaknya SPBU yang semakin melengkapi fasilitasnya, seperti kantin, pedagang jajanan, kantin, musolla atau tempat rehat sejenak, selain tentu saja, toilet. Bahkan beberapa SPBU sudah ada masjidnya, dan sudah pasti ramah musafir, meskipun tentu saja belum menyediakan kopi gratisan.
Jadi, pedagang bensin alias SPBU rupa-rupanya dalam satu sisi bisa dianggap semakin Islami karena mengakomodasi kepentingan musafir nan rentan itu, sementara di sisi lain semakin canggih dalam menggaet pembeli. Suatu kemajuan dua sisi dalam satu tarikan nafas.
Hal itu, dalam bahasa motivator syar’i yang lagi laris masa kini, dikenal dengan ungkapan “dagang membawa berkah.” Dalam SPBU yang mulai mengandung masjid-masjid itu, Tuhan sudah mulai menemukan rumahnya kembali. Allahu Akbar!