
KH. Muhammad Yahya Malang
Surau.co - Dilahirkan tahun 1900 M di Desa Jetis, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur, KH Muhammad Yahya sejak kecil sudah bersentuhan dengan ilmu agama melalui pendidikan khas ala pesantren yang diajarkan langsung oleh ayahnya, Kiai Qoribun dan ibunya, Nyai Ratun.
Hidup di tengah keluarga yang religius, Kiai Yahya juga mengikuti pendidikan dasar agama yang diasuh oleh pamannya, yaitu Kiai Abdullah yang juga salah satu mursyid Thariqah Kholidiyah. Di surau pesantren pamannya inilah Kiai Yahya mengenal dasar-dasar aqidah, bimbingan ibadah dan doktrin etika agama. Penguatan dasar agama di masa kecil ini menjadikannya kuat dan kokoh dalam mempertahankan prinsip.
Kiai Yahya kecil hingga remaja memang terkenal sangat mencintai ilmu. Terbukti, tidak kurang dari enam pesantren menjadi jujugan-nya dalam menuntut ilmu selama kurun waktu 20 tahun. Mulai dari Pesantren Bungkuk Singosari, Pesantren Cempaka Blitar, Pesantren Kuningan Blitar, Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo, Pesantren Kiai Asy’ari Tulungagung hingga Pesantren Jampes Kediri. Keenam pesantren tersebut telah memberi maziyah keilmuan tersendiri bagi Kiai Yahya.
Setelah dirasa cukup, di tahun 1930 atas restu Kiai Ihsan, akhirnya Kiai Yahya boyong ke kota kelahirannya di Malang. Dan di tahun itu pula, Kiai Yahya diambil menantu oleh Kiai Isma’il, dan dinikahkan dengan putri angkat beliau yang bernama Siti Khodijah. Kiai Isma’il mengambil putri angkat dari kemenakannya sendiri, yaitu Kiai Abdul Majid.
Kedua ulama ini merupakan pengasuh generasi kedua Pondok Pesantren Gadingkasri Malang, nama Pondok Pesantren Miftahul Huda saat itu, yang sekarang lebih dikenal dengan Pondok Gading. Namun, baru lima tahun usia pernikahanannya, Kiai Abdul Majid dan Kiai Isma’il wafat. Akhirnya, Kiai Yahya mengemban tugas ganda, baik sebagai pengasuh pesantren maupun sebagai kepala keluarga.
Perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Sejarah perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak terlepas sedikitpun dari mereka "Kaum Bersarung". Mereka tergerak hatinya, karena terbimbing oleh hati-hati yang bersih, hati yang hanya takut kepada Allah.
Hati orang yang telah terpatri kepada Sang khalik, akan tetap taat untuk menjalankan perintahNya, meski nyawa harus dipertaruhkan.
Membela Tanah Air, Menghilangkan kemungkaran, Melawan kedzaliman, Mempertahankan hak kebebasan, mereka jalankan semata-mata hanya demi menjalankan syariat, meskipun nyawa terancam.
Hanya soal kematian yang semua makhluk akan merasakan mati, dan kematian sudah ditentukan, jika memang belum saatnya maka berperang sekalipun tak akan menemui ajal, itu prinsip mereka. Namun jika sudah ajal tiba, memohon ampun pada penjajah pun akan tetap mati.
Sejarah perjuangan kemerdekaan di Indonesia, banyak Kiai yang tidak tinggal diam, doa mereka, pemikiran mereka, sangat memiliki peran utama adanya kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, bukan hanya tentara saja yang berperang, namun seluruh warga, seluruh rakyat, dan hanya para tokoh lah yang bisa menggerakkan semangat rakyat waktu itu.
Sampai saat ini pun rakyat Indonesia tetap hanya bisa digerakkan oleh ulama, tokoh agama. Sehingga jika tokoh agama atau ulama diam, bungkam, dan meminta bungkam, rakyat akan bungkam.
Budi Pekerti yang Luhur KH. Muhammad Yahya Malang
Unggah-ungguh, tata krama dan budi pekerti yang luhur inilah, yang menjadikan mereka para ulama bisa dihargai di Indonesia ini, budi pekerti yang luhur ini yang menjadikan rakyat Indonesia punya empati, gotong royong, dan saling bahu membahu.
Budi pekerti luhur inilah yang membuat bangsa Indonesia mudah disatukan waktu itu. Dan keluhuran budi pekerti hanya bisa dimiliki oleh orang yang BERAGAMA. Orang yang mengakui adanya Tuhan.
Salah satu ulama, tokoh masyarakat, mursyid Thoriqoh yang pada saat perjuangan kemerdekaan ikut berperan menggerakkan hati dan semangat juang rakyat adalah KH. Muhammad Yahya.
Di balik kelembutan sebagai seorang ulama. Sosok Kiai Muhammad Yahya, memiliki jiwa patriot yang tinggi. KH Muhammad Yahya ada di garda depan saat berjuang melawan penjajah Belanda pada 10 November 1945. Nama Kiai generasi ke tiga, Pondok Pesantren Miftahul Gading ini begitu harum.
Kisah patriot dari KH Muhammad Yahya atau yang lebih akrab dipanggil dengan Kiai Yahya ini dibuktikan dengan terjunnya Kiai Yahya dalam perang gerilya sejak sebelum tahun 1945. Catatan kesaksian komandan gerilya pasukan “ Garuda Merah “ Kompi 1 Bataliyon 1 Resimen 38 Untung Suropati Brigadir Jendral (purn) KH. Syulam Syamsun pada sebua pengantar buku biografi Kiai Yahya dalam keterlibatannya pengasuh Pondok Gading generasi tiga ini cukup jelas.
Ada sejumlah pertempuran yang Kiai Yahya ikut turun di garda depan . Misalnya saat pertempuran dengan PGV ( Pront Gubeng Vladek ) bentukan Belanda di Surabaya pada 10 November 1945, selain itu ia pun turut bertempur dalam perang kemerdekaan I dan II sejak Kota Malang jatuh ketangan Belanda tahun 1948. Saat itu markas gerilya pasukan ini terletak di lereng gunung kawi tepatnya di Desa Sumberbedo.
Bahkan di sebutkan. Kiai Yahya menjadi salah satu kunci suksesnya gerilya kala itu. Kiai Yahya begitu cerdas dan kebal . Dalam hal mengelabui musuh , dia selalu sukses . Memang saat itu Pondok Gading di anggap Belanda Zona netral , Nah “ Hadiah “ itu yang di manfaatkan dia untuk melakukan sejumlah penyerangan halus.
Misalnya menjadi inteljen. Penyiapan logistik dan amunisi dari pondok untuk para pejuang. Peranan itulah yang patut di acungin jempol dari ulama tasawuf tersebut. Selama tiga tahun bergerilya di lereng gunung kawi akhirnya Kota Malang berhasil di rebut Pasukan Garuda Merah pada 27 Desember 1949.
Wafatnya KH Muhammad Yahya
Pagi, 4 Syawal 1392 H atau bertepatan pada tanggal 23 November 1971 M sekitar pukul 09.30 WIB, Kiai Yahya mengembuskan nafas terakhir, menghadap Allah SWT pada usia 71 tahun. Ada yang berpendapat ia meninggal pada usia 68 tahun karena Kiai Yahya lahir pada 1903.
Baca Juga : KH. Mahrus Ali Lirboyo
Namun, menurut saksi hidup, KH Abdurrahman Yahya, yang lebih valid adalah Kiai Yahya lahir tahun 1900, sehingga umur beliau 71 tahun. Terlepas dari itu semua, kepergiannya yang mendadak dan begitu mudah, membuat keluarga ndalem, tetangga dan santri setengah tidak percaya, termasuk Nyai Khodijah dan KH Abdurrahman Yahya yang mendampingi hingga detik-detik terakhir.
Namun Allah SWT Maha Kuasa dan Maha Berkehendak untuk menciptakan makhluk sekaligus mengambilnya. Akhirnya, Kiai Yahya wafat meninggalkan ilmu, pesan, teladan dan kenangan tiada terukur bagi siapa pun.